Sebatas Sahabat, Ya?

Fa // Jumat, 10 Oktober 2014

“Reza, tunggu!”

Panggilan pendek yang menggema di lorong kelas dua belas Ips membuat sebuah langkah berhenti seketika, masih berusaha menyempatkan waktu untuk sekedar menunggu seorang gadis berhijab yang tengah berlari kecil kearahnya meski bel masuk akan berbunyi dalam hitungan ke-20.

“Ada apa, Wa?”

“Umm... bisa bicara empat mata?” ada jeda sejenak,”Di taman biasa, sepulang sekolah.”

“Kenap—“

“Kuharap kamu bisa datang, kar—oh, sebentar lagi bel masuk. Aku duluan ya!”
Ia hanya bisa menatap punggung Najwa yang mulai menjauh dengan ekspresi bingung.

***
Najwa mendesah untuk yang kesekian kalinya, terlebih ketika melihat kumulonimbus yang mulai menghiasi langit. Sesekali bola matanya berputar ke seluruh sudut taman, berharap menemukan sosok yang ia nanti. Namun usahanya sia-sia, sosok itu tak kunjung muncul juga meski jarum panjang di jam tangan miliknya mulai bergerak ke angka lima.


Mungkinkah?

Kepalanya langsung digelengkan, nggak mungkin. Reza bukan orang yang suka mengingkari janji. Tapi... kalau selama ini?

“Wa,” ia menoleh ke asal suara dan mendapati sosok Reza berlari kecil kearahnya,”maaf. Kamu pasti udah nunggu lama ya? Tadi ada rapat Rohis dadakan, jadi...”

“Enggak papa kok, Za. Aku akan tetap nunggu sampai kamu datang, meski kumulonimbusnya semakin banyak.” ada garis tipis yang menghiasi wajahnya.

“Ah, kumulonimbus.” Reza menengadah, mendapati kumulonimbus yang mulai bergerumul dan mengusir awan lain. Ia terlalu fokus berlari sejak tadi, sehingga tidak memerhatikan kumulonimbus-kumulonimbus itu.

“Duduk, Za.” Najwa menepuk tempat kosong di sebelahnya, kemudian mengubah raut wajahnya saat melihat Reza menggeleng.”Aku tau kita bukan muhrim, tapi aku nggak akan membiarkan kamu berdiri selama perbincangan kita. Enggak setelah kamu berlari kecil dari Masjid sekolah. Dan kalau kamu nggak mau duduk terlalu dekat denganku, kita bisa menempatkan tas masing-masing sebagai pembatasnya.”

Tidak ingin menambah kekecewaan Najwa, akhirnya Reza mengikuti saran gadis itu. “Oh iya, apa yang mau kamu bicarakan? Apa itu hal yang bersifat pribadi sehingga nggak ada satupun yang boleh mendengarnya?”

“I-itu... se-sebenarnya...” ah, ia tak bisa menetralkan degup jantungnya.

“Apa?”

“Di matamu, aku ini apa?” tanya Najwa yang lebih terdengar seperti gumaman.

"Sahabat."

"Lalu…" Najwa memejamkan kedua matanya,"kamu sayang nggak sama aku?"

Dahi Reza berkerut sesaat saat mendengar pertanyaan Najwa yang lain dari biasanya, namun akhirnya ia menjawab pertanyaan sahabatnya. "Tentu aja."

Mata Najwa berbinar ketika mendengar jawaban Reza, ia sama sekali tak menyangka jika akan mendapatkan pernyataan yang sesuai dengan harapannya.

"Rasa sayangku ke kamu sama seperti rasa sayangku ke Aline, Rijal,  Ghea, dan Fahmi." ternyata kalimat Reza belum selesai. Dan ketika mendengar kalimat selanjutnya, entah mengapa dadanya terasa seperti dijatuhi batu-batu besar yang beratnya bisa mencapai berton-ton.

Jadihanya sebatas sahabat aja ya? Apa nggak lebih dari itu, Za? Lalumaksud dari semua perhatian yang selama ini kamu kasih ke aku itu apa? Apa kamu cuma ingin mempermainkan hatiku aja, Za? Apa kamu sama sekali nggak melihat kalau sahabatmu yang satu ini menyimpan rasa untukmu? Ah…

"Kenapa, Wa? Lagi nggak enak badan ya?" suara bariton yang lembut itu berhasil menariknya dari dunia imajinasi. Najwa hanya bisa menjawabnya dengan gelengan pelan, ia masih belum bisa menyusun kata-kata setelah mendengar kenyataan yang sangat jauh dari harapan.

"Wa, kalo kamu sakit. Kita pulang aja yuk." tangan kiri Reza digunakan untuk menyambar tasnya, sementara tangan kanannya digunakan untuk menarik tangan kiri Najwa yang masih diam seribu bahasa. Bukannya menerima ajakan pujaan hatinya, yang dilakukan Najwa adalah menepis tangan pemuda itu. Kini Reza juga ikut diam seribu bahasa, masih tak mengerti dengan sikap sahabatnya yang satu ini yang begitu aneh sore ini.

"Kenapa, Wa?"

"Berhenti, Za. Aku mohon berhenti…" ujar Najwa yang nyaris tak terdengar oleh Reza.

"Aku nggak mengerti dengan ucapanmu."

Najwa menghela napas berat,"Berhentilah memberi harapan jika rasa sayangmu padaku hanya sebatas rasa sayang sebagai sahabat. Kamu selama ini nggak tau kan kalo aku menyimpan rasa lebih sama kamu, tapi kamu mengacuhkan rasa itu."

Najwa langsung menyambar tasnya dan berlari menjauhi Reza, meski dadanya masih terasa sesak. Ia tak sanggup berlama-lama dengan Reza, karena itu hanya akan semakin menambah sesak di dadanya saja.

"Aku… memang sama sekali nggak tau kalo kamu menyimpan rasa untukku." lirih Reza ketika langkah Najwa tak lagi terdengar di gendang telinganya.

0 Commentary

Review please.. :)