Sebuah sabit mini terbingkai di wajah manis sang
gadis yang saat ini memakukan pandangannya pada cermin besar yang ada
dihadapannya. Ada ekspresi canggung yang sesekali nampak di wajahnya, dan ia
berhasil menaklukan ekspresi canggung itu dengan satu hembusan napas kecil. Satu
hembusan yang bisa membuat dirinya tenang, dan satu hembusan yang membuat
jantungnya kembali berdetak normal. Beberapa kali kepalanya di tolehkan
sedemikian rupa agar dapat melihat jam kecil yang ada di atas meja riasnya.
Masih ada waktu
satu jam lagi, bisiknya dalam hati
dengan riang.
Hari ini adalah hari spesial untuknya. Hari di mana
ia akan kembali mengulang sejarah percintaannya dengan pemuda yang selama empat
tahun terakhir tak pernah bertatap muka secara langsung dengannya, hari di mana
ia akan kembali menghirup aroma maskulin dari tubuh pemuda itu, dan hari di
mana ia akan kembali tersipu dan menunjukkan ekspresi malu-malu sama seperti
enam tahun yang lalu ketika pemuda itu berhasil menancapkan busur panah ke
hatinya. Itulah sebabnya ia rela memakukan pandangannya pada cermin besar itu
selama hampir satu jam hanya untuk memastikan apakah penampilannya sudah cocok
dan pantas untuk bertemu dengan pemuda itu.
Tangan kanannya menyambar kursi kecil yang berada
tak jauh dari tempatnya berpijak dan langsung menumpukan bobot tubuhnya pada
kursi kecil itu. Sambil bertopang dagu, sebuah memori dari buku kenangannya
kembali menguar ke permukaan. Bukan sebuah memori yang indah dan membuatnya
tersenyum kecil saat mengingatnya, melainkan sebuah memori yang berhasil
membuat lubang yang cukup besar pada hatinya.
***
“Oppa[1],
jika aku tak mengambil beasiswa ini... apa kau akan marah padaku?” suaranya
bergetar, begitu pula dengan keduanya tangannya yang tengah menggenggam erat
sebuah surat yang ditulis dalam Bahasa Inggris.
Hening.
“Ba-baiklah Oppa, aku... aku tak akan mengambil
beasiswa ini kalau kau tak setuju. Da-dan a-aku akan masuk universitas yang
sama denganmu saja, supaya kita bisa terus bersama.” si gadis menghela napas panjang setelah berhasil
mengutarakan niatnya.
Masih hening. Entah kenapa pemuda itu tak mau buka
mulut, kurvanya masih mengatup sempurna. Seolah ada lem super lengket tak kasat
mata yang membelenggu kurva itu. Si gadis semakin resah sembari melirik jam
tangan yang melingkar manis di tangan kirinya beberapa kali. Satu jam lagi,
waktunya untuk membatalkan aplikasi beasiswa itu hanya tersisa satu jam lagi. Jika
lewat sedetik saja, itu tandanya ia merestui namanya tercantum dalam daftar
mahasiswa di universitas impiannya tersebut.
“Aku tahu Oppa
masih kesal padaku, tapi setidaknya Oppa
harus menanggapi ucapanku. Tidak baik terus mengabaikan ucapan seseorang yang
sedang terlibat pembicaraan denganmu!” si gadis mulai terlihat kesal, ia mulai
mengumpulkan keberanian. Untuk mempertanyakan keseriusan si pemuda, dan untuk bangkit
dari duduknya dan pergi dari tempat itu.
“Baiklah,” ujarnya sembari bangkit dari duduk,”kalau
Oppa diam itu artinya Oppa tidak merestui undangan beasiswa
ini. Aku sudah hapal dengan sikap dan sifatmu, jadi.. lebih baik aku
mengonfirmasi pada pihak universitas bahwa aku membatalkan beasiswa ini. Annyonghi
Gyeseyo[2].”
“Hani-ya,
tunggu...”
Langkahnya
langsung terhenti begitu mendengar interupsi yang mengomandani dirinya untuk
berhenti melangkah, interupsi yang berasal dari kekasihnya. Namun ia masih
belum berniat memutar tubuhnya dan kembali ke sisi si pemuda, ia lebih memilih
untuk tetap teguh pada pijakannya. Tak bergeser kemana-mana. Berusaha menguji
kesetiaan si pemuda.
“Ka-kau...”
si pemuda menghela napas sejenak,”kau boleh mengambil beasiswa itu. Pergilah ke
sana, itu adalah universitas impianmu. Aku sadar jika aku sama sekali tak punya
hak untuk membuatmu membatalkan beasiswa yang telah kau dapatkan dengan susah
payah itu, karena aku bukan siapa-siapa. Derajatku dengan derajat kedua
orangtuamu sangat berbanding jauh, sehingga aku tak bisa memaksakan kehendakku
padamu, juga menghempas cita-citamu selama ini.”
“Oppa...” bisik si gadis bernama Hani.
Akhirnya ia memutar tubuhnya dan langsung menghamburkan diri ke dalam pelukan
pemuda berdada bidang itu, mendekapnya dengan erat sembari menggumamkan kata ‘gomawo[3]’
beberapa kali.
Hani terperanjat kaget ketika si pemuda mendorong
tubuhnya dengan kasar, dan ketika kedua iris hazelnya bertatapan dengan iris
coklat tua milik si pemuda ia baru menyadari bahwa aura buruk kembali
menghampiri mereka.
“Pergilah, bukankah lusa adalah hari keberangkatanmu?
Tidakkah kau berpikir bahwa saat ini kau seharusnya mengurus keperluanmu dan
mengemasi barang-barangmu ke dalam koper? Tapi kenapa sekarang kau masih di
sini? Masih berdiri di hadapanku dengan ekspresi seperti itu?”
“Oppa..”
“Pergilah! Aku hanya akan menjadi penghambat jika
kau masih terus berada di sini. Jadi, sebaiknya kau pergi sebelum keputusanku
beberapa menit yang lalu berubah.”
“Tap—“
“PERGI!” si pemuda memberikan tatapan tajam, tatapan
tajam yang belum pernah ia berikan pada gadisnya selama ini.
Gadis tujuh belas tahun itu memutar tubuhnya tiga
ratus enam puluh derajat, membelakangi pemuda yang hampir dua tahun terakhir
menjabat sebagai presiden hatinya. Iris hazelnya yang terbuka langsung mengatup
sempurna, begitu juga dengan kurvanya. Barisan kalimat sederhana bermakna tajam
yang dilontarkan si pemuda masih mengambang dalam benaknya, belum surut, belum
mau beranjak dari benaknya meskipun benaknya sekarang penuh sesak dengan
berbagai macam kalimat. Entah sampai kapan kalimat itu mau beranjak dari
benaknya dan beralih ke benak orang lain, dan entah sampai kapan juga ia akan
bertahan dengan pose seperti itu.
***
“Oppa...”
gumam Hani sembari menggosok lengan kirinya menggunakan lengan kanannya yang
bebas. Udara yang cukup dingin serta butiran-butiran salju yang masih tetap
turun ke bumi tak menghalangi tekadnya untuk tetap menanti sang pujaan hati di
tempat kenangan mereka. Tempat yang telah menggoreskan warna pada lembar
percintaannya sehingga menjadi lebih indah, tempat rahasia di mana hanya ia dan
sang kekasih saja yang tahu.
“Kau di mana? Kenapa belum datang juga?” gumamnya
entah pada siapa, dengan kegelisahan yang menyesaki dadanya.
Hani langsung menoleh ketika mendengar suara langkah
kaki yang mendekat, namun senyumnya luntur ketika mengetahui kenyataan yang ada
di hadapannya. Sosok yang baru saja datang bukanlah sosok maskulin sang pujaan
hati, melainkan sosok feminim yang memiliki kemiripan garis wajah dengan
kekasihnya.
“Seungri-ya..” lirihnya.
“Annyeong[4], Eonni[5]...”
gadis bernama Seungri itu membungkukkan tubuhnya empat puluh lima derajat,
memberi salam pada Hani.
“Mana Oppa-mu?
Mana Seungjo?” tanya Hani dengan nada gelisah, keabsenan kekasihnya pada hari
yang sangat penting ini membuat pikiran negatif mulai menginvasi benaknya.
“Oppa... Eonni, bisakah kita duduk di kursi itu
dahulu?” tangan mulus Seungri menunjuk kursi taman yang berada tak jauh dari
tempat mereka berpijak.
Hani mengangguk setuju, kemudian mengekor Seungri
yang melangkah lebih dulu menuju kursi itu. Ia sudah tak sabar untuk menanyakan
keabsenan Seungjo pada calon adik iparnya itu. Ada kekhawatiran yang mulai
menelusup masuk ke dalam hatinya ketika melihat gurat kebimbangan di wajah
Seungri, namun ia tak bisa megartikan gurat itu sebelum sang pemilik kurva buka
suara.
“Eonni..”
Hani tersenyum kecil ketika Seungri memutuskan untuk buka suara,”ada sesuatu
yang perlu Eonni ketahui, ini
tentang.. ini tentang Oppa.”
“Tentang Seungjo?” iris hazelnya mulai berbinar, tak
sabar mendengar berita yang akan ia dapatkan dari calon adik iparnya.
Seungri mengangguk sambil tersenyum lemah, ia
semakin tenggelam dalam kebimbangan. Haruskah ia memberi tahu calon kakak
iparnya sekarang? Dan haruskah ia melihat sungai kecil yang akan mengalir deras
di kedua pipi calon kakak iparnya? Ehm, sebetulnya panggilan calon kakak ipar
sudah tak berlaku lagi setelah ia menyampaikan semuanya. Semua rahasia yang
selama dua tahun terakhir terkubur jauh di dasar hatinya, semua rahasia yang
hampir membuatnya putus asa dan hampir gila, dan semua rahasia yang telah
tersusun apik di halaman belakang lembar kehidupannya.
“Eonni.. Oppa..” Seungri tak mampu melanjutkan
kalimatnya, akhirnya ia memutuskan untuk menyerahkan sepucuk surat yang sedari
tadi ada dalam tasnya pada Hani.
***
Hazel kembar itu menatap nanar gundukan tanah basah
yang ada di hadapannya, masih ditemani dengan dua buah sungai kecil berarus
deras yang membelah kedua pipinya. Tubuhnya yang semula tegak mendadak lemas,
kedua kakinya tak lagi mampu menopang beban tubuhnya ketika melirik sebuah nama
yang terukir di nisan berwarna putih. Kedua tangan Seungri tak henti-hentinya
mengusap pundak Hani, memberi kekuatan pada gadis itu agar sabar menghadapi
berita mendadak ini. Kalimat kecewa Hani masih berdengung di telinganya.
“Kenapa kau—“
“Gomawo, Eonni.
Oppa yang menginginkannya, aku tak bisa menolak amanah Oppa...”
“Tapi
seharusnya...”
Seungri menggeleng cepat, ia tak ingin mengingat
kalimat itu lagi. Mengingat kalimat itu hanya akan membuatnya semakin bersalah
dan semakin ikut terpuruk.
“Eonni..”
Hani mulai menghapus air matanya. Kau jahat, Oppa! Kenapa tak memberitahuku
tentang semuanya sejak dua tahun yang lalu? Kenapa kau menyembunyikannya dariku?
Kau pikir, dengan menyembunyikan hal itu dariku, aku tidak akan merasa sedih,
begitu maksudmu? Kau salah, Oppa! Kau salah!
“Eonni,
sudahlah...” Seungri mendekatkan kurvanya ke telinga Hani,”Oppa benci melihatmu
menitikkan air mata, Oppa benci saat kau menunjukkan ekspresi sedihmu.
Tersenyumlah, untuk Oppa. Kurasa Oppa masih ada di sekitar sini, untuk
melihatmu. Untuk melihat senyummu, bukan untuk melihat air matamu. Jadi
tersenyumlah untuk Oppa, yang terakhir kalinya.”
Hani mematung, membenarkan ucapan Seungri. Seharusnya
ia tak seperti ini, Seungjo pasti sedih jika melihatnya dalam keadaan terpuruk
seperti ini. Jika pemuda itu masih ada, mungkin ia akan langsung diceramahi
habis-habisan. Kurvanya yang semula terkatup, kini mulai ditarik sedikit. Membentuk
sebuah garis lengkung tipis.
Kau terlihat
sangat cantik hari ini, aku suka melihat senyummu.
Sebuah suara bergema lemah di telinga kirinya.
Sebuah suara yang sudah sangat ia kenal, suara Seungjo.
Oppa, kaukah
itu?
Tak ada balasan. Hanya ada desir angin yang
berhembus. Ah, mungkin suara yang baru saja ia dengar hanya fatamorgana belaka.
Tidak mungkin seseorang yang sudah berbeda dunia dengannya dapat melakukan
komunikasi dua arah macam tadi.
Oppa, aku telah
mengikhlaskanmu. Semoga kau bahagia di sana.
0 Commentary
Review please.. :)