[FF Albus Severus Potter]

Fa // Senin, 20 Januari 2014


 I'm Slytherin and I'm Proud of It 

Disclaimer : Harry Potter dan dunianya beserta karakter-karakternya yang kita cintai bukan punya saya, tapi punya Tante J.K Rowling. Kecuali kalau Tante J.K Rowling mau memberikan Albus Severus Potter pada saya secara cuma-cuma, akan saya terima dengan senang hati. XD #dirajam
ETA : Saya cuma mengobrak-abrik dunia Harry Potter sesuai imajinasi saya aja kok. #dislepet

Genre : Family

Rate : T

Chara : Harry James Potter dan Albus Severus Potter

Warning : Sepertinya Harry OOC pake banget di sini, dan Al.. dimata saya sih juga agak OOC. Nggak pake style ala Tante J.K Rowling.

***

Pemuda sebelas tahun itu duduk di puncak teratas tangga beranda rumahnya. Menyedekapkan kedua lengan mungilnya di atas kedua kaki yang telah ia tekuk sedemikian rupa, menangkup kepalanya dengan malas di atas tangan yang telah ia sedekapkan, dan memandang butir-butir putih yang berjatuhan dari langit malam dengan tatapan hampa. Ada banyak pertanyaan yang menyesaki benaknya, melompat kesana-kemari seperti hendak mencuat dari dalam kepalanya. Berusaha berspekulasi seorang diri tanpa bantuan orang lain pun rasanya percuma, karena sampai detik ini ia masih belum menemukan pasangan dari pertanyaan-pertanyaan yang sering membuat kepalanya berdenyut. Masih belum mengerti dengan semua kejadian yang menimpanya.

Semua kejadian selama hampir empat bulan terakhir kembali bermain di benaknya, layaknya sebuah proyektor film. Namun memiliki alur kilas balik super cepat.

Hari dimana ia merasakan kegugupan dan ketakutan luar biasa yang menyergap ketika Sang Topi Seleksi bertengger manis di atas kepalanya, mulai mempermainkannya dengan tawaran-tawaran yang menggugah hatinya. Namun semua itu hanya tawaran semu belaka, karena kenyataan yang ia terima berbanding terbalik dengan spekulasi awal. Nyaris mendekati sempurna dengan spekulasi sang kakak yang sering meledeknya—bahkan jauh sebelum hari itu tiba, jauh sebelum surat itu sampai ke tangannya. Hari dimana ia merasa menjadi seorang Potter gagal karena ia satu-satunya Potter yang mental dari asrama Singa dan mendarat di  asrama Ular.

Hari-harinya yang mendadak berubah tiga ratus enam puluh derajat di Hogwarts, bahkan intensitas ledekan yang diluncurkan James semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya intensitas pertemuan mereka di Aula Besar saat sarapan, makan siang, dan makan malam. Belum lagi gosip para gadis bermulut kuali bocor yang sering melempar gosip sembunyi tangan mengenai dirinya. Albus beginilah, Albus begitulah, Albus inilah, Albus itulah. Kalau bukan karena sahabat barunya, mungkin ia sudah angkat tongkat dan melayangkan salah satu dari tiga mantra/kutukan tak termaafkan yang paling ampuh untuk langsung membungkam mulut mereka.

“Al,”

Sebuah suara berat namun bernada lembut menyapu indra pendengarannya, mau tak mau membuat kepalanya terangkat ketika tubuh tegap itu telah duduk di sampingnya.

“Oh, kau Dad.”

“Ada apa, nak? Sikapmu terlihat aneh sejak turun dari Hogwarts Express. Kau punya masalah? Kakakmu menjahilimu lagi?Atau—”

“Tidak, aku sedang tidak punya masalah.” potong Albus cepat-cepat sebelum spekulasi sang ayah yang panjangnya seperti Hogwarts Express meluncur dengan lancar.

Harry mendesah, kemudian menghela napas panjang. Sebenarnya ia tahu masalah yang sedang membebani putranya itu, ia juga tahu pertanyaan macam apa yang sekarang sedang melompat kesana-kemari di benak putranya. Asrama. Rupanya jagoan ciliknya yang satu itu masih belum bisa menerima keadaan, padahal ia sama sekali tak mempermasalahkannya. Toh dahulu saat upacara seleksi, Sang Topi Seleksi juga hampir menjebloskannya ke asrama itu. Yeah, hampir. Memang sedikit berbeda dengan masalah anaknya sekarang, tapi ia mengerti bagaimana rasanya.

“Hei, bukankah kita sudah bicara tentang masalah ini sebelumnya? Bahkan jauh sebelum upacara seleksi diadakan.” ucap Harry, Albus langsung menyambut dengan sebelah alis yang dinaikkan beberapa sentimeter.

“Kau tak akan melupakan kejadian saat di Stasiun King Cross, bukan?”

Albus menggeleng pelan,”Tentu tidak. Tapi Dad.. kau tak tahu bagaimana rasanya hidup di bawah bayang-bayang ayahmu yang menyandang status sebagai pahlawan besar.”

“Aku memang tak tahu bagaimana rasanya, tapi aku tahu bagaimana rasanya hidup di bawah tekanan. Jadi, aku bisa memahami perasaanmu. Ayolah Al, kau seharusnya tak merasa terbebani statusku. Jalani saja hidupmu seperti James, dia sama sekali tak terbebani dengan statusku.” Harry melemparkan sebelah tangannya ke pundak Albus, mengusap pundak mungilnya beberapa kali.

Albus mendelik,“Jadi maksudnya aku harus membuat keonaran di Hogwarts dan membuat seluruh Profesor geleng-geleng kepala, begitu? Dad pasti bercanda! Kenapa Dad tidak menyuruhku untuk membuat Duo Potter yang selalu membuat keonaran di Hogwarts bersama James sekalian? Seperti yang selalu dilakukan oleh Paman Fred dan Paman George saat mereka masih di Hogwarts dulu.”

Harry terkikik pelan,”Bukan seperti itu, nak. Maksudku.. jadilah dirimu sendiri, tak peduli apakah ayahmu menyandang status pahlawan atau bahkan Menteri Sihir sekalipun.”

“Dengan semua gosip mengenai diriku yang bertebaran di Hogwarts dan kakak super menyebalkan macam James?” Albus mendengus,”Rasanya akan sulit. Ralat, sangat sulit.”

Sempat terjadi keheningan yang terjadi di antara pasangan ayah dan anak itu sebelum akhirnya Albus angkat suara karena tak tahan dengan keheningan itu,”Dad, saat di King Cross.. kau bilang Topi Seleksi akan memperhitungkan pilihan kita juga.”

Harry mengangguk,”Itu benar, dan itulah yang terjadi padaku dulu saat upacara seleksi.”

“Tapi itu tak terjadi padaku, Topi Seleksi bersikeras menjebloskanku ke Slytherin. Padahal aku sudah memohon untuk memasukkanku ke Gryffindor atau asrama manapun selain Slytherin. Kau lihat Dad, Topi Seleksi tak memperhitungkan pilihanku.” balas Albus dengan agak sarkatis.

“Mungkin itu memang yang terbaik untukmu, Topi Seleksi tak akan pernah salah dengan pilihannya, nak.” Harry menghela napas panjang,”Kau tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi padamu di masa depan—kecuali kalau kau adalah seorang cenayang.”

“Lalu, apakah Topi Seleksi itu cenayang?” tanya Albus penasaran,”Mengapa Dad bisa berkata kalau ini adalah yang terbaik untukku? Dan mengapa Dad berkata kalau Topi Seleksi tak akan pernah salah dengan pilihannya?”

”Aku tak tahu, tak ada yang pernah tahu isi kepala Topi Seleksi, nak.” Harry menggeleng pelan,”Mengapa aku bisa berkata begitu? Kau ingat Paman Neville—ah, maksudku Profesor Longbottom?”
Albus mengangguk cepat,”Tentu saja aku ingat, dia selalu ada di depan kelas saat mengajar di rumah kaca. Lagipula, aku sudah sering mendengar namanya dari ceritamu sebelum masuk Hogwarts. Profesor Longbottom yang membunuh Nagini.”

“Kau tahu dia alumni dari asrama mana?”

”Gryffindor. Sama sepertimu, Mom, Paman Ron, Bibi Hermione, dan semua keluarga Weasley.” jawabnya ogah-ogahan,”Lalu, apa hubungannya Profesor Longbottom, Topi Seleksi, dan.. aku?”

“Nak, Profesor Longbottom adalah salah satu contoh bahwa Topi Seleksi tak akan pernah salah dengan pilihannya.” Harry tersenyum samar,”Kau pasti penasaran orang seceroboh dan segugup Profesor Longbottom bisa masuk Gryffindor, benar kan?”

“Ya, sampai sekarang pun Profesor Longbottom masih ceroboh dan sering gugup saat menjelaskan materi di depan kelas.” sahut Albus.

“Sebenarnya sejak awal Topi Seleksi telah melihat keberanian dalam dirinya, namun keberanian itu tertutup oleh kecerobohan dan kegugupannya. Dan seiring waktu, keberanian itu tumbuh semakin kuat. Seorang yang ceroboh dan mudah gugup seperti Profesor Longbottom berubah menjadi seorang pemuda pemberani yang ikut turun tangan dalam Perang Hogwarts, serta membunuh Nagini.” jeda sejenak,”Semua itu tak akan terjadi kalau Profesor Longbottom tetap bersikukuh menolak masuk Gryffindor saat upacara seleksi dulu.”

“Dad, bagaimana kau tahu semua itu? Apa Profesor Longbottom yang menceritakannya padamu?”

Harry mengerling,”Hanya asal tebak, tapi sepertinya tebakanku tepat.”

Albus terdiam sejenak, memikirkan semua perkataan Harry. Mulai meraba-raba pesan rahasia yang disembunyikan sang ayah dalam kalimatnya. Kemudian ada garis tipis yang melengkung di wajahnya saat telah menemukan pesan rahasia itu. Kepalanya yang semula menangkup mulai terangkat, menoleh kearah ayahnya.

“Dad,” panggilnya.

“Ya?”

“Aku.. aku sudah tak peduli lagi dengan status asramaku, juga sudah tak peduli dengan gosip-gosip itu.” Albus menghela napas pendek,”Aku.. aku bangga menjadi Slytherin. Dan.. mungkin menurut Topi Seleksi Slytherinlah yang terbaik untukku. Bukan Gryffindor, bukan Hufflepuff, bukan juga Ravenclaw.”

“Jadi.. apakah perasaanmu sudah lebih baik?”

Albus mengangguk,”Jauh lebih baik. Dad, bisakah kita masuk ke dalam sekarang? Aku kedinginan.”

Harry mengangguk. Sebelah tangannya merengkuh duplikat ciliknya dengan erat, memandunya untuk bangkit dan melangkah masuk ke dalam rumah.

0 Commentary

Review please.. :)