I'm Slytherin and I'm Proud of It
Disclaimer : Harry Potter dan dunianya beserta karakter-karakternya yang kita cintai bukan punya saya, tapi punya Tante J.K Rowling. Kecuali kalau Tante J.K Rowling mau memberikan Albus Severus Potter pada saya secara cuma-cuma, akan saya terima dengan senang hati. XD #dirajam
ETA : Saya cuma mengobrak-abrik dunia Harry Potter sesuai imajinasi saya aja kok. #dislepet
Genre : Family
Rate : T
Chara : Harry James Potter dan Albus Severus Potter
Warning : Sepertinya Harry OOC pake banget di sini, dan Al.. dimata saya sih juga agak OOC. Nggak pake style ala Tante J.K Rowling.
***
Pemuda sebelas tahun itu duduk di puncak teratas
tangga beranda rumahnya. Menyedekapkan kedua lengan mungilnya di atas kedua
kaki yang telah ia tekuk sedemikian rupa, menangkup kepalanya dengan malas di
atas tangan yang telah ia sedekapkan, dan memandang butir-butir putih yang
berjatuhan dari langit malam dengan tatapan hampa. Ada banyak pertanyaan yang
menyesaki benaknya, melompat kesana-kemari seperti hendak mencuat dari dalam
kepalanya. Berusaha berspekulasi seorang diri tanpa bantuan orang lain pun
rasanya percuma, karena sampai detik ini ia masih belum menemukan pasangan dari
pertanyaan-pertanyaan yang sering membuat kepalanya berdenyut. Masih belum
mengerti dengan semua kejadian yang menimpanya.
Semua kejadian selama hampir empat bulan terakhir
kembali bermain di benaknya, layaknya sebuah proyektor film. Namun memiliki
alur kilas balik super cepat.
Hari dimana ia merasakan kegugupan dan ketakutan
luar biasa yang menyergap ketika Sang Topi Seleksi bertengger manis di atas
kepalanya, mulai mempermainkannya dengan tawaran-tawaran yang menggugah
hatinya. Namun semua itu hanya tawaran semu belaka, karena kenyataan yang ia
terima berbanding terbalik dengan spekulasi awal. Nyaris mendekati sempurna
dengan spekulasi sang kakak yang sering meledeknya—bahkan jauh sebelum hari itu
tiba, jauh sebelum surat itu sampai ke tangannya. Hari dimana ia merasa menjadi
seorang Potter gagal karena ia satu-satunya Potter yang mental dari asrama Singa
dan mendarat di asrama Ular.
Hari-harinya yang mendadak berubah tiga ratus enam
puluh derajat di Hogwarts, bahkan intensitas ledekan yang diluncurkan James
semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya intensitas pertemuan
mereka di Aula Besar saat sarapan, makan siang, dan makan malam. Belum lagi
gosip para gadis bermulut kuali bocor yang sering melempar gosip sembunyi
tangan mengenai dirinya. Albus beginilah, Albus begitulah, Albus inilah, Albus
itulah. Kalau bukan karena sahabat barunya, mungkin ia sudah angkat tongkat dan
melayangkan salah satu dari tiga mantra/kutukan tak termaafkan yang paling
ampuh untuk langsung membungkam mulut mereka.
“Al,”
Sebuah suara berat namun bernada lembut menyapu
indra pendengarannya, mau tak mau membuat kepalanya terangkat ketika tubuh
tegap itu telah duduk di sampingnya.
“Oh, kau Dad.”
“Ada apa, nak? Sikapmu terlihat aneh sejak turun
dari Hogwarts Express. Kau punya masalah? Kakakmu menjahilimu lagi?Atau—”
“Tidak, aku sedang tidak punya masalah.” potong
Albus cepat-cepat sebelum spekulasi sang ayah yang panjangnya seperti Hogwarts
Express meluncur dengan lancar.
Harry mendesah, kemudian menghela napas panjang. Sebenarnya
ia tahu masalah yang sedang membebani putranya itu, ia juga tahu pertanyaan
macam apa yang sekarang sedang melompat kesana-kemari di benak putranya. Asrama.
Rupanya jagoan ciliknya yang satu itu masih belum bisa menerima keadaan,
padahal ia sama sekali tak mempermasalahkannya. Toh dahulu saat upacara seleksi,
Sang Topi Seleksi juga hampir menjebloskannya ke asrama itu. Yeah, hampir. Memang sedikit berbeda dengan masalah anaknya sekarang,
tapi ia mengerti bagaimana rasanya.
“Hei, bukankah kita sudah bicara tentang masalah ini
sebelumnya? Bahkan jauh sebelum upacara seleksi diadakan.” ucap Harry, Albus
langsung menyambut dengan sebelah alis yang dinaikkan beberapa sentimeter.
“Kau tak akan melupakan kejadian saat di Stasiun
King Cross, bukan?”
Albus menggeleng pelan,”Tentu tidak. Tapi Dad.. kau
tak tahu bagaimana rasanya hidup di bawah bayang-bayang ayahmu yang menyandang
status sebagai pahlawan besar.”
“Aku memang tak tahu bagaimana rasanya, tapi aku
tahu bagaimana rasanya hidup di bawah tekanan. Jadi, aku bisa memahami
perasaanmu. Ayolah Al, kau seharusnya tak merasa terbebani statusku. Jalani
saja hidupmu seperti James, dia sama sekali tak terbebani dengan statusku.” Harry
melemparkan sebelah tangannya ke pundak Albus, mengusap pundak mungilnya
beberapa kali.
Albus mendelik,“Jadi maksudnya aku harus membuat
keonaran di Hogwarts dan membuat seluruh Profesor geleng-geleng kepala, begitu?
Dad pasti bercanda! Kenapa Dad tidak menyuruhku untuk membuat Duo Potter yang
selalu membuat keonaran di Hogwarts bersama James sekalian? Seperti yang selalu
dilakukan oleh Paman Fred dan Paman George saat mereka masih di Hogwarts dulu.”
Harry terkikik pelan,”Bukan seperti itu, nak. Maksudku..
jadilah dirimu sendiri, tak peduli apakah ayahmu menyandang status pahlawan
atau bahkan Menteri Sihir sekalipun.”
“Dengan semua gosip mengenai diriku yang bertebaran
di Hogwarts dan kakak super menyebalkan macam James?” Albus mendengus,”Rasanya akan
sulit. Ralat, sangat sulit.”
Sempat terjadi keheningan yang terjadi di antara
pasangan ayah dan anak itu sebelum akhirnya Albus angkat suara karena tak tahan
dengan keheningan itu,”Dad, saat di King Cross.. kau bilang Topi Seleksi akan
memperhitungkan pilihan kita juga.”
Harry mengangguk,”Itu benar, dan itulah yang terjadi
padaku dulu saat upacara seleksi.”
“Tapi itu tak terjadi padaku, Topi Seleksi
bersikeras menjebloskanku ke Slytherin. Padahal aku sudah memohon untuk
memasukkanku ke Gryffindor atau asrama manapun selain Slytherin. Kau lihat Dad,
Topi Seleksi tak memperhitungkan pilihanku.” balas Albus dengan agak sarkatis.
“Mungkin itu memang yang terbaik untukmu, Topi
Seleksi tak akan pernah salah dengan pilihannya, nak.” Harry menghela napas panjang,”Kau
tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi padamu di masa depan—kecuali kalau kau
adalah seorang cenayang.”
“Lalu, apakah Topi Seleksi itu cenayang?” tanya
Albus penasaran,”Mengapa Dad bisa berkata kalau ini adalah yang terbaik
untukku? Dan mengapa Dad berkata kalau Topi Seleksi tak akan pernah salah
dengan pilihannya?”
”Aku tak tahu, tak ada yang pernah tahu isi kepala
Topi Seleksi, nak.” Harry menggeleng pelan,”Mengapa aku bisa berkata begitu? Kau
ingat Paman Neville—ah, maksudku Profesor Longbottom?”
Albus mengangguk cepat,”Tentu saja aku ingat, dia
selalu ada di depan kelas saat mengajar di rumah kaca. Lagipula, aku sudah
sering mendengar namanya dari ceritamu sebelum masuk Hogwarts. Profesor
Longbottom yang membunuh Nagini.”
“Kau tahu dia alumni dari asrama mana?”
”Gryffindor. Sama sepertimu, Mom, Paman Ron, Bibi
Hermione, dan semua keluarga Weasley.” jawabnya ogah-ogahan,”Lalu, apa
hubungannya Profesor Longbottom, Topi Seleksi, dan.. aku?”
“Nak, Profesor Longbottom adalah salah satu contoh
bahwa Topi Seleksi tak akan pernah salah dengan pilihannya.” Harry tersenyum
samar,”Kau pasti penasaran orang seceroboh dan segugup Profesor Longbottom bisa
masuk Gryffindor, benar kan?”
“Ya, sampai sekarang pun Profesor Longbottom masih
ceroboh dan sering gugup saat menjelaskan materi di depan kelas.” sahut Albus.
“Sebenarnya sejak awal Topi Seleksi telah melihat
keberanian dalam dirinya, namun keberanian itu tertutup oleh kecerobohan dan
kegugupannya. Dan seiring waktu, keberanian itu tumbuh semakin kuat. Seorang
yang ceroboh dan mudah gugup seperti Profesor Longbottom berubah menjadi
seorang pemuda pemberani yang ikut turun tangan dalam Perang Hogwarts, serta
membunuh Nagini.” jeda sejenak,”Semua itu tak akan terjadi kalau Profesor
Longbottom tetap bersikukuh menolak masuk Gryffindor saat upacara seleksi
dulu.”
“Dad, bagaimana kau tahu semua itu? Apa Profesor
Longbottom yang menceritakannya padamu?”
Harry mengerling,”Hanya asal tebak, tapi sepertinya
tebakanku tepat.”
Albus terdiam sejenak, memikirkan semua perkataan
Harry. Mulai meraba-raba pesan rahasia yang disembunyikan sang ayah dalam
kalimatnya. Kemudian ada garis tipis yang melengkung di wajahnya saat telah
menemukan pesan rahasia itu. Kepalanya yang semula menangkup mulai terangkat,
menoleh kearah ayahnya.
“Dad,” panggilnya.
“Ya?”
“Aku.. aku sudah tak peduli lagi dengan status
asramaku, juga sudah tak peduli dengan gosip-gosip itu.” Albus menghela napas
pendek,”Aku.. aku bangga menjadi Slytherin. Dan.. mungkin menurut Topi Seleksi
Slytherinlah yang terbaik untukku. Bukan Gryffindor, bukan Hufflepuff, bukan
juga Ravenclaw.”
“Jadi.. apakah perasaanmu sudah lebih baik?”
Albus mengangguk,”Jauh lebih baik. Dad, bisakah kita
masuk ke dalam sekarang? Aku kedinginan.”
Harry mengangguk. Sebelah tangannya merengkuh duplikat ciliknya dengan erat, memandunya untuk bangkit dan melangkah masuk ke dalam rumah.
0 Commentary
Review please.. :)