Perpustakaan.
Jika bukan karena tugas esai mengenai Galaksi Andromeda
yang diberikan oleh Profesor Haynes di kelas Astronomi semalam, sudah pasti
bungsu Verte ini tak berada di dalam ruangan penuh ribuan buku. Dan jika bukan
karena batas waktu pengumpulan tugasnya terakhir adalah besok, sudah pasti ia
akan lebih memilih untuk menghabiskan jam pelajaran kosong di tempat lain. Maka
melangkahlah ia ke salah satu rak, berniat mencari buku yang bisa membantunya
menyelesaikan esai itu secepat mungkin.
Alih-alih mencari sebuah buku yang dapat membantunya
melesaikan esai, yang ia temukan adalah sebuah buku tebal bersampul coklat tua
dengan ukiran aksara yang sama sekali tak dikenalnya. Sampulnya penuh debu dan
mengeluarkan aroma yang tidak ia sukai. Ditinjau dari cetakan judul yang nyaris
tak terbaca, bisa ditebak jika usia buku ini lebih tua dibandingkan usia kakek-neneknya.
Akhirnya ia memutuskan untuk melihat isi buku tersebut dan mencari kursi
terdekat, mengabaikan perkamennya yang masih bersih dari goresan tinta.
“...”
Asumsinya tentang buku itu meleset. Isinya mirip
novel abad pertengahan mengenai penyihir, menguatkan sejarah sekolahnya
tercinta yang sudah berdiri sejak awal abad pertengahan. Bukan novel mengenai
penyihir yang pertama ia baca memang, tapi novel yang satu ini isinya sangat
menarik dan berbeda dengan kebanyakan novel mengenai penyihir yang sudah ia
baca sebelumnya.
Novel itu bercerita tentang sekelompok penyihir muda
yang bermain-main dengan salah satu teori sihir sehingga terperangkap di dunia
ilusi, di mana kekuatan sihir mereka mendadak lenyap, dan harus menemukan
pasangan yang tepat—goresan tintanya berhenti, meninggalkan sekitar lima puluh
lembar terakhir dalam keadaan kosong. Cliffhanger.
Membuat dirinya larut dalam tanda tanya besar mengapa si penulis membiarkan
sekitar lima puluh lembar terakhir tak tersentuh goresan tinta.
Dan ketika novel tanggung itu ia tutup, ia tak
menemukan deretan rak penuh buku. Yang ia temukan justru ruangan nyaris ambruk
yang dipenuhi debu dan memiliki aroma yang bahkan jauh lebih buruk dibandingkan
novel tanggung itu. Kelopak matanya dikerjapkan beberapa kali, berusaha
meyakinkan diri sendiri bahwa ini adalah salah satu lelucon tidak lucu dari kumpulan
senior iseng nan kurang kerjaan yang biasa mengerjai juniornya. Ia melangkah
menuju pintu tua yang diselubungi akar-akar, mendorongnya kuat-kuat hingga
terbuka, kemudian mendapati kenyataan bahwa dirinya sudah tidak berada di
Egraside Academy lagi.
Amabelle Esmeraude Verte terlempar ke dunia
antah-berantah.
***
Secara kronologis, tadinya ia berada di
perpustakaan. Ia yakin, bukan hanya seratus persen. Ingatannya tak seburuk ikan
mas koki, jadi ia masih ingat apa yang ia lakukan sebelum terdampar di hutan
ini. Tadinya ia sedang duduk di meja bertoreh rumus Hukum Kepler yang
sepertinya milik senior, yang letaknya dekat dengan salah satu jendela dan ia
satu-satunya orang di meja itu. Dan di depannya ada lima buku bertumpuk, yang
rencananya akan digunakan untuk membantunya menyelesaikan esai Astronomi.
Lalu, semua berubah ketika ia sedang mengintrogasi isi buku
terakhir. Buku bersampul coklat dengan cetakan judul nyaris tak terbaca. Yang
isinya lebih mirip sebuah novel dibandingkan sebuah buku. Dan ketika novel itu
ditutup, latarnya berubah. Ia tak menemukan dirinya sedang duduk dan berusaha
mengerjakan esai Astronomi, ataupun deretan rak penuh buku. Ia malah menemukan
dirinya sedang duduk bersila di atas sebuah batu ceper, dengan pemandangan
deretan pohon aneh sejauh mata memandang.
“Ini benar-benar tidak lucu!” ia mendengus pelan
sembari bangkit dan menepuk-nepuk jubahnya yang kotor. Senior—atau Profesor—macam
apa yang kelewat jahil dan mengubah surga penuh ilmu menjadi surga penuh
binatang buas. Tidak adakah tempat lain yang lebih baik selain hutan?
Amabelle Verte, ia
menemukan nama itu di punggung tangannya ketika akan melirik jam tangannya yang
ternyata mati—mungkin baterainya habis.
Soren Moreau dan Amabelle Verte?
Hah, dunia pasti
sedang bercanda!
***
Leonidas Everard masih di perpustakaan, kerja rodi
mengerjakan tugas esai yang harus dikumpulkan secepat mungkin. Matanya yang
mulai panas sejak beberapa detik yang lalu karena terlalu banyak membaca
literatur pendukung itu sesekali melirik ke sekeliling—di mana ada banyak murid
yang memiliki nasib tak jauh dari dirinya—anggaplah cuci mata. Konyol jika ia
harus memaksakan pikirannya untuk fokus pada selembar perkamen dan tumpukan
literatur pendukung di hadapannya sementara sebenarnya ia sudah muak pada tugas
itu. Jika bukan karena batas waktu pengumpulan tugasnya terakhir adalah besok,
sudah pasti ia tak akan kerja rodi di tengah suasana yang menggoda untuk tidur
siang seperti saat ini.
Akhirnya ia tak tahan untuk tidak berdiri dan
berkeliling, sekedar merenggangkan otot dan melepas kejenuhan. Siapa tahu ia
bisa menemukan buku humor atau buku apa pun yang dapat menghilangkan
kejenuhannya, meski sebenarnya mustahil untuk menemukan buku humor di
perpustakaan ini mengingat wajah Madame
Noir—penjaga perpustakaan—yang jauh dari kata menyenangkan.
Alih-alih menemukan buku humor, ia malah menemukan
sebuah buku tebal yang terbuka di salah satu meja yang paling dekat dengan
jendela. Dan alih-alih menjauh, ia malah semakin mendekat. Bahkan kini ia sudah
duduk di salah satu kursi dan mulai membolak-balik lembar demi lembar buku itu.
Padahal matanya masih terasa panas karena terlalu banyak membaca, tapi buku itu
seperti memiliki kekuatan untuk menyuruhnya membaca.
Matanya sudah tidak terasa panas lagi, justru
sekarang semakin berat. Kemudian mengatup sempurna. Tiba-tiba saja terjadi
perpindahan ruang dan waktu. Deretan rak penuh buku menghilang, digantikan
pohon-pohon aneh yang menjulang tinggi. Mimpi? Ilusi? Ah, ia tak tahu. Yang ia
tahu sekarang, ia perlu waspada. Hutan tenang macam ini biasanya menyimpan
kejutan yang mungkin dapat membahayakan nyawanya.
“Halo, apa ada orang lain selain aku di sini?” tak
ada jawaban, justru ia mendengar pantulan suaranya sendiri. Baiklah, sepertinya
ia masih sendirian di hutan ini. Untuk
saat ini.
***
Langkahnya
terhenti tepat di samping konter Madame
Noir ketika semua penghuni perpustakaan menatapnya sekilas dan menyembunyikan
kikikan tertahan. Entah apa yang mereka tertawakan, ia tak tahu. Karena hari
ini penampilannya normal, sama seperti murid perempuan lainnya. Kemeja putih
lengan pendek, rok lipat coklat muda selutut, sweater vest krem dengan
lambang Egraside Academy di bagian dada sebelah kiri, dasi pilin
berwarna emas dan biru muda, serta jubah lengan panjang coklat tua semata kaki
dengan lambang lumba-lumba—asramanya—di bagian lengan sebelah kanan. Normal,
bukan? Oh, mungkin mereka menertawakan kedua kakinya yang tak terbungkus alas
kaki. Sepatunya hilang dari rak sepatu kamar asrama sejak matahari menyembul di
ufuk timur sana, mungkin para þjófur yang mengambil dan menyembunyikannya.
“Ehm, Edelstein di man—“
“Sepatuku hilang dari rak sepatu kamar asrama sejak
pagi, Madame. Mungkin para þjófur
yang menyembunyikannya.” ia melempar senyum tipis pada wanita paruh baya yang
sedang mengamatinya dari balik kacamata bundar,”Lagipula ini bukan musim
dingin, jadi tak masalah jika tak memakai sepatu. Bukan begitu, Madame?”
“Ah, buku yang terbuka.” langkahnya kembali
dilanjutkan, kali ini menuju sebuah meja yang dekat dengan salah satu jendela.
Ada buku yang terbuka di atasnya, dan ia memiliki kecintaan tersendiri dengan
buku yang sedang terbuka—jangan tanya alasannya, karena ia pun tak tahu—meninggalkan
Madame Noir yang masih bergumam
tentang sepatu dan þjófur.
“...”
Penulis yang aneh. Baru kali ini ia menemukan sebuah
buku tanggung yang tidak—atau tidak sempat—dilanjutkan oleh penulisnya.
Meninggalkan sekitar lima puluh lembar terakhir tak tersentuh tinta. Terlihat
seperti sebuah kasus yang biasa diselesaikan oleh para detektif, dan mungkin ia
harus menyelidiki kasus ini. Tapi, sebelum memulai debutnya sebagai detektif,
ia harus merombak penampilannya. Tidak ada detektif yang menyelidiki kasus
menggunakan seragam sekolah macam ini, apalagi tanpa sepatu.
Eh?
Ia tak lagi menemukan ribuan buku, puluhan meja,
konter Madame Noir, bahkan ia tak
menemukan Madame Noir dan penghuni
perpustakaan lainnya. Semuanya digantikan oleh deretan pohon aneh yang menjulang
ke angkasa. Rasanya seperti sedang melakukan tur ke dunia antah-berantah.
“Skyla Edelstein in
wonderland.”
—atau mungkin... inilah permainan yang
digembar-gemborkan Sky dan komplotannya? Well,
kalau memang benar. Maka...
“Permainan akan segera dimulai.”
***
“Halo.”
Tubuh Belle refleks menegang ketika ada tangan yang
menyentuh bahunya dari belakang, pikiran negatif pun mulai mendekatinya. Mulai
menerka tangan siapa atau apa yang menyentuh bahunya. Dan ketika membalikkan
tubuh, ia bisa melihat dengan jelas apa yang ada di hadapannya. Err...
seorang... atau seekor? Manusia setengah kambing yang sudah sering ia jumpai
wujudnya dalam buku pelajaran Egraside Academy
sejak empat tahun lalu, jadi ia tak terlalu terkejut.
“Umm... kau...”
Belle menjerit keras ketika Faun asing itu
mengeluarkan sebilah pisau dari sarung pisau, aku belum mau mati sebelum menikah dengan Leon!
Sedetik kemudian ia membalikkan tubuhnya, dan mulai
berlari sekuat tenaga menjauhi Faun asing itu sebelum nyawanya melayang.
Meninggalkan sang Faun yang kebingungan.
“Dasar gadis aneh!” cibir sang Faun sembari
mengambil sebuah apel merah yang berada tak jauh darinya,”Aku kan hanya ingin
membagi apel ini dengannya.”
0 Commentary
Review please.. :)