Skynvilla—S A T U

Fa // Kamis, 06 November 2014

Perpustakaan.

Jika bukan karena tugas esai mengenai Galaksi Andromeda yang diberikan oleh Profesor Haynes di kelas Astronomi semalam, sudah pasti bungsu Verte ini tak berada di dalam ruangan penuh ribuan buku. Dan jika bukan karena batas waktu pengumpulan tugasnya terakhir adalah besok, sudah pasti ia akan lebih memilih untuk menghabiskan jam pelajaran kosong di tempat lain. Maka melangkahlah ia ke salah satu rak, berniat mencari buku yang bisa membantunya menyelesaikan esai itu secepat mungkin.

Alih-alih mencari sebuah buku yang dapat membantunya melesaikan esai, yang ia temukan adalah sebuah buku tebal bersampul coklat tua dengan ukiran aksara yang sama sekali tak dikenalnya. Sampulnya penuh debu dan mengeluarkan aroma yang tidak ia sukai. Ditinjau dari cetakan judul yang nyaris tak terbaca, bisa ditebak jika usia buku ini lebih tua dibandingkan usia kakek-neneknya. Akhirnya ia memutuskan untuk melihat isi buku tersebut dan mencari kursi terdekat, mengabaikan perkamennya yang masih bersih dari goresan tinta.

“...”

Asumsinya tentang buku itu meleset. Isinya mirip novel abad pertengahan mengenai penyihir, menguatkan sejarah sekolahnya tercinta yang sudah berdiri sejak awal abad pertengahan. Bukan novel mengenai penyihir yang pertama ia baca memang, tapi novel yang satu ini isinya sangat menarik dan berbeda dengan kebanyakan novel mengenai penyihir yang sudah ia baca sebelumnya.

Novel itu bercerita tentang sekelompok penyihir muda yang bermain-main dengan salah satu teori sihir sehingga terperangkap di dunia ilusi, di mana kekuatan sihir mereka mendadak lenyap, dan harus menemukan pasangan yang tepat—goresan tintanya berhenti, meninggalkan sekitar lima puluh lembar terakhir dalam keadaan kosong. Cliffhanger. Membuat dirinya larut dalam tanda tanya besar mengapa si penulis membiarkan sekitar lima puluh lembar terakhir tak tersentuh goresan tinta.

Dan ketika novel tanggung itu ia tutup, ia tak menemukan deretan rak penuh buku. Yang ia temukan justru ruangan nyaris ambruk yang dipenuhi debu dan memiliki aroma yang bahkan jauh lebih buruk dibandingkan novel tanggung itu. Kelopak matanya dikerjapkan beberapa kali, berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa ini adalah salah satu lelucon tidak lucu dari kumpulan senior iseng nan kurang kerjaan yang biasa mengerjai juniornya. Ia melangkah menuju pintu tua yang diselubungi akar-akar, mendorongnya kuat-kuat hingga terbuka, kemudian mendapati kenyataan bahwa dirinya sudah tidak berada di Egraside Academy lagi.

Amabelle Esmeraude Verte terlempar ke dunia antah-berantah.

***
Secara kronologis, tadinya ia berada di perpustakaan. Ia yakin, bukan hanya seratus persen. Ingatannya tak seburuk ikan mas koki, jadi ia masih ingat apa yang ia lakukan sebelum terdampar di hutan ini. Tadinya ia sedang duduk di meja bertoreh rumus Hukum Kepler yang sepertinya milik senior, yang letaknya dekat dengan salah satu jendela dan ia satu-satunya orang di meja itu. Dan di depannya ada lima buku bertumpuk, yang rencananya akan digunakan untuk membantunya menyelesaikan esai Astronomi.

Lalu, semua  berubah ketika ia sedang mengintrogasi isi buku terakhir. Buku bersampul coklat dengan cetakan judul nyaris tak terbaca. Yang isinya lebih mirip sebuah novel dibandingkan sebuah buku. Dan ketika novel itu ditutup, latarnya berubah. Ia tak menemukan dirinya sedang duduk dan berusaha mengerjakan esai Astronomi, ataupun deretan rak penuh buku. Ia malah menemukan dirinya sedang duduk bersila di atas sebuah batu ceper, dengan pemandangan deretan pohon aneh sejauh mata memandang.

“Ini benar-benar tidak lucu!” ia mendengus pelan sembari bangkit dan menepuk-nepuk jubahnya yang kotor. Senior—atau Profesor—macam apa yang kelewat jahil dan mengubah surga penuh ilmu menjadi surga penuh binatang buas. Tidak adakah tempat lain yang lebih baik selain hutan?

Amabelle Verte, ia menemukan nama itu di punggung tangannya ketika akan melirik jam tangannya yang ternyata mati—mungkin baterainya habis.

Soren Moreau dan Amabelle Verte?

Hah, dunia pasti sedang bercanda!

***
Leonidas Everard masih di perpustakaan, kerja rodi mengerjakan tugas esai yang harus dikumpulkan secepat mungkin. Matanya yang mulai panas sejak beberapa detik yang lalu karena terlalu banyak membaca literatur pendukung itu sesekali melirik ke sekeliling—di mana ada banyak murid yang memiliki nasib tak jauh dari dirinya—anggaplah cuci mata. Konyol jika ia harus memaksakan pikirannya untuk fokus pada selembar perkamen dan tumpukan literatur pendukung di hadapannya sementara sebenarnya ia sudah muak pada tugas itu. Jika bukan karena batas waktu pengumpulan tugasnya terakhir adalah besok, sudah pasti ia tak akan kerja rodi di tengah suasana yang menggoda untuk tidur siang seperti saat ini.

Akhirnya ia tak tahan untuk tidak berdiri dan berkeliling, sekedar merenggangkan otot dan melepas kejenuhan. Siapa tahu ia bisa menemukan buku humor atau buku apa pun yang dapat menghilangkan kejenuhannya, meski sebenarnya mustahil untuk menemukan buku humor di perpustakaan ini mengingat wajah Madame Noir—penjaga perpustakaan—yang jauh dari kata menyenangkan.

Alih-alih menemukan buku humor, ia malah menemukan sebuah buku tebal yang terbuka di salah satu meja yang paling dekat dengan jendela. Dan alih-alih menjauh, ia malah semakin mendekat. Bahkan kini ia sudah duduk di salah satu kursi dan mulai membolak-balik lembar demi lembar buku itu. Padahal matanya masih terasa panas karena terlalu banyak membaca, tapi buku itu seperti memiliki kekuatan untuk menyuruhnya membaca.

Matanya sudah tidak terasa panas lagi, justru sekarang semakin berat. Kemudian mengatup sempurna. Tiba-tiba saja terjadi perpindahan ruang dan waktu. Deretan rak penuh buku menghilang, digantikan pohon-pohon aneh yang menjulang tinggi. Mimpi? Ilusi? Ah, ia tak tahu. Yang ia tahu sekarang, ia perlu waspada. Hutan tenang macam ini biasanya menyimpan kejutan yang mungkin dapat membahayakan nyawanya.

“Halo, apa ada orang lain selain aku di sini?” tak ada jawaban, justru ia mendengar pantulan suaranya sendiri. Baiklah, sepertinya ia masih sendirian di hutan ini. Untuk saat ini.

***
Langkahnya terhenti tepat di samping konter Madame Noir ketika semua penghuni perpustakaan menatapnya sekilas dan menyembunyikan kikikan tertahan. Entah apa yang mereka tertawakan, ia tak tahu. Karena hari ini penampilannya normal, sama seperti murid perempuan lainnya. Kemeja putih lengan pendek, rok lipat coklat muda selutut, sweater vest krem dengan lambang Egraside Academy  di bagian dada sebelah kiri, dasi pilin berwarna emas dan biru muda, serta jubah lengan panjang coklat tua semata kaki dengan lambang lumba-lumba—asramanya—di bagian lengan sebelah kanan. Normal, bukan? Oh, mungkin mereka menertawakan kedua kakinya yang tak terbungkus alas kaki. Sepatunya hilang dari rak sepatu kamar asrama sejak matahari menyembul di ufuk timur sana, mungkin para þjófur yang mengambil dan menyembunyikannya.

“Ehm, Edelstein di man—“

“Sepatuku hilang dari rak sepatu kamar asrama sejak pagi, Madame. Mungkin para þjófur yang menyembunyikannya.” ia melempar senyum tipis pada wanita paruh baya yang sedang mengamatinya dari balik kacamata bundar,”Lagipula ini bukan musim dingin, jadi tak masalah jika tak memakai sepatu. Bukan begitu, Madame?”

“Ah, buku yang terbuka.” langkahnya kembali dilanjutkan, kali ini menuju sebuah meja yang dekat dengan salah satu jendela. Ada buku yang terbuka di atasnya, dan ia memiliki kecintaan tersendiri dengan buku yang sedang terbuka—jangan tanya alasannya, karena ia pun tak tahu—meninggalkan Madame Noir yang masih bergumam tentang sepatu dan þjófur.

“...”

Penulis yang aneh. Baru kali ini ia menemukan sebuah buku tanggung yang tidak—atau tidak sempat—dilanjutkan oleh penulisnya. Meninggalkan sekitar lima puluh lembar terakhir tak tersentuh tinta. Terlihat seperti sebuah kasus yang biasa diselesaikan oleh para detektif, dan mungkin ia harus menyelidiki kasus ini. Tapi, sebelum memulai debutnya sebagai detektif, ia harus merombak penampilannya. Tidak ada detektif yang menyelidiki kasus menggunakan seragam sekolah macam ini, apalagi tanpa sepatu.

Eh?

Ia tak lagi menemukan ribuan buku, puluhan meja, konter Madame Noir, bahkan ia tak menemukan Madame Noir dan penghuni perpustakaan lainnya. Semuanya digantikan oleh deretan pohon aneh yang menjulang ke angkasa. Rasanya seperti sedang melakukan tur ke dunia antah-berantah.

“Skyla Edelstein in wonderland.”

—atau mungkin... inilah permainan yang digembar-gemborkan Sky dan komplotannya? Well, kalau memang benar. Maka...

“Permainan akan segera dimulai.”

***
“Halo.”

Tubuh Belle refleks menegang ketika ada tangan yang menyentuh bahunya dari belakang, pikiran negatif pun mulai mendekatinya. Mulai menerka tangan siapa atau apa yang menyentuh bahunya. Dan ketika membalikkan tubuh, ia bisa melihat dengan jelas apa yang ada di hadapannya. Err... seorang... atau seekor? Manusia setengah kambing yang sudah sering ia jumpai wujudnya dalam buku pelajaran Egraside Academy sejak empat tahun lalu, jadi ia tak terlalu terkejut.

“Umm... kau...”

Belle menjerit keras ketika Faun asing itu mengeluarkan sebilah pisau dari sarung pisau, aku belum mau mati sebelum menikah dengan Leon!

Sedetik kemudian ia membalikkan tubuhnya, dan mulai berlari sekuat tenaga menjauhi Faun asing itu sebelum nyawanya melayang. Meninggalkan sang Faun yang kebingungan.


“Dasar gadis aneh!” cibir sang Faun sembari mengambil sebuah apel merah yang berada tak jauh darinya,”Aku kan hanya ingin membagi apel ini dengannya.”

0 Commentary

Review please.. :)