Ini... ini apa, ya? Hng, ini true story yang dijadiin cerpen. Bisa dibilang nonfiksi bukan, sih? XD
***
Seisi
kelas yang tadinya ribut seperti pasar tradisional mendadak hening dan kembali
ke kursi masing-masing begitu melihat sosok diambang pintu kelas. Detak jantung
mereka saling beradu dengan cepat ketika melihat sosok tersebut melangkah masuk
dan mendekati meja guru dengan tatapan membunuh. Dia adalah Bu Sri, guru
ekonomi yang selalu menjadi musuh abadi untuk kelasku tercinta.
“Kumpulkan
kertas ulangannya, SEKARANG!” sentaknya dengan suara super dahsyat yang
memekakkan telinga seisi kelas.
Tiba-tiba
dia langsung menarik paksa kertas ulangan yang ada dimejaku, mati gue! Di kertas itu kan udah ada jawaban
remedial ekonomi!
Kulihat
sekelilingku, sebagian dari mereka melakukan hal licik sebelum menyerahkan
kertas ulangannya. Mereka menukar kertas ulangan yang telah diisi dengan kertas
ulangan yang kosong! Rubah! Mereka itu
rubah! Mereka licik…
***
Suasana
semakin hening dan mencekam ketika Bu Sri memeriksa secara teliti satu-persatu
kertas ulangan seisi kelas, tangan gempalnya merobek tanpa ampun kertas ulangan
yang pada bagian pilihan gandanya sudah diberi titik-titik menggunakan pensil.
Hanya ada sekitar sepuluh kertas ulangan saja yang berhasil dilumat, sementara
sisanya dinyatakan mulus tanpa coretan. Jelas saja mulus, mereka kan sudah
menukar kertas ulangan yang sudah diisi dengan kertas ulangan baru!
“Sekarang
jujur, siapa yang udah nitik-nitikkin kertas ulangan!”
Aku
langsung mengacungkan jari, disusul beberapa orang lainnya. Bu Sri menghitung
dengan cepat dan cekatan. Jantungku berdebar tak karuan, mungkinkah ini akhir
dari reputasiku sebagai murid baik-baik? Menemukanku di jajaran anak yang
mencontek adalah hal paling luar biasa yang pernah kulakukan, baru pertama kali
ini aku melakukan hal itu. Dan sialnya aku ketahuan!
“Kok
cuma ada delapan?! Dua orang ada yang nggak ngaku nih!”
“Satu
lagi Nela, Bu.” aku memberanikan diri untuk buka suara,”Tapi yang satu lagi
saya nggak tau siapa.”
“Tapi
Nela lagi nge-print, Bu. Sama
Rijaldi.”
Seseorang
yang berada di dekat jendela akhirnya memberanikan diri untuk mengacungkan jari
meskipun dengan ragu-ragu—Ahmad. Aku menyipitkan mata tak percaya karena di
barisannya hanya dia yang mengacungkan jari, sementara yang lain tidak. Padahal
sudah jelas-jelas mereka ikut menorehkan jawaban di kertas ulangan sebelum Bu
Sri datang. Okesip, mereka semua memang benar-benar singa berbulu kucing.
Bu
Sri menyuruh kami semua yang tunjuk tangan pindah tempat duduk di barisan
pojok, kemudian dia mulai membagikan soal remedial.
Apa-apaan ini?
Padahal
seisi kelas juga melakukan hal yang sama, tetapi kenapa hanya kami berdelapan
saja yang dihukum dan tidak boleh mengikuti remedial ekonomi? Pengecut,
munafik, dan licik! Mereka memang benar-benar licik dan pengecut! Disaat teman
mereka ada yang tidak bisa mengikuti remedial ekonomi hanya karena
ketidak-solidaritas satu kelas saja mereka tidak mau tahu—apalagi membantu.
Mereka malah asyik-asyikkan mengerjakan soal remedial ekonomi.
Tetapi
bukan hanya aku dan ketujuh teman sekelasku yang ketiban sial, barisan yang
tepat berada di depan papan tulispun ikut ketiban sial. Entah karena alasan apa
mereka juga tidak mengikuti remedial ekonomi, padahal aku tahu sebagian besar
dari mereka ada yang jujur dan sama sekali tidak menyalin jawaban seperti yang
lainnya.
“Wah,
parah nih!” cerocos Ahmad yang duduk disampingku dengan nada frustasi.
“Licik
banget mereka!” sambung Nayla dengan nada kecewa.
“Padahal
kan yang nitik-nitikkin sekelas, tapi kenapa yang nggak boleh ikut remedial cuma
kita doang sih?!” emosiku mulai ikut terpancing.
“Kan
udah gue bilang dari awal, kelas kita tuh nggak kompak! Sama sekali nggak ada
solid-solidnya!” tambah Vina frustasi sambil melepas kacamatanya.
“Yaudahlah
ya, lupain aja.” Nayla terlihat pasrah,”Berdoa aja semoga di rapot nanti nilai
eko kita bagus.”
“Bagus?
Bagus dari Hong Kong, Nay!” dengusku,”Eko itu pelajaran pokok jurusan IPS
selain geo, sosio, sama sejarah. Kalo salah satu dari ketiga pelajaran itu kita
ada yang nggak tuntas, yaudah wassalam deh kita. Alias nggak naik!”
“Licik,
gue bener-bener nggak nyangka!” Syifa yang duduk dibelakang Nayla sesenggukan,
matanya berkaca-kaca. “Nggak tau diri banget sih tu orang!”
“Siapa
Syif?” tanya Vina.
“Itu
si Apin, tadi dia minta kertas ulangan kosong ke gue. Gue kira buat apaan,
nggak taunya dipake buat main curang! Harusnya kan kertas ulangan kosong itu
buat gue, bukan buat dia!” air mata Syifa mulai jatuh.
“Mungkin
dia udah tau dari awal kali kalo kertas ulangannya bakal dikumpulin, jadi dia
minta yang kosong sama Syifa.” sambung Dina sambil mengelus pundak teman
sebangkunya itu.
“Udahlah,
teman. Karma itu berlaku di dunia ini, mereka yang ngelakuin perbuatan curang
pasti bakal dapat balasannya.” aku menyuntikkan semangat dan harapan untuk
teman-teman yang senasib denganku, juga untukku sendiri.
Lulu
yang duduk dibelakang Syifa mulai ikut sesenggukan, itu adalah pelampiasannya
jika sedang kesal dan marah. Sementara TKP (bukan Tempat Kejadian Perkara, melainkan
singkatan dari namanya : Trikuat Pamungkas) yang duduk disebelah Lulu menepuk
lembut pacar sohibnya. Yah, aku tahu. Semua orang yang berada di barisan ini
dan barisan sebelah berhak marah pada dua barisan yang ada disana, keegoisan
dan ketidak-solidaritasan mereka telah menelan korban. Dan korbannya adalah
kami-kami ini.
“Heh,
itu yang duduk dibangku kedua! Ngapain kalian? Contek-contekan?” Bu Sri
memincingkan matanya dengan tajam kearah Fitri dan Avin.
Mereka
berdua terlihat gelagapan, seperti seekor tikus yang ketahuan sedang menggondol
keju dari lemari penyimpanan.
“Enggak
kok, Bu. Ini.. saya udah selesai dan mau tukeran soal sama Fitri.” sanggah Avin
yang langsung mendapat anggukan setuju dari Fitri.
Tiba-tiba
Nayla terkekeh pelan dan membuat kedua alisku saling bertautan.
“Kenapa
lo, Nay?” tanya Ahmad heran.
“Enggak,
gue cuma lagi ngetawain mereka yang remed aja. Lo liat nggak sih ekspresi
mereka semua? Lucu banget tau!” balas Nayla,”Pasti mereka semua lagi pada
kebingungan ngerjain soalnya deh.”
“Dan
gue yakin pasti soalnya susah-susah banget!” sahut Vina dengan senyum kecil.
“Dan
pasti soalnya beda sama soal UB.” sambar Tegar sang nahkoda kelas.
“Dan
pasti mereka bakal ngasal juga ujung-ujungnya.” sambung Ahmad.
Kami
semua terkekeh pelan, menertawai kejadian sial yang hari ini menimpa kami.
***
Setelah
sempat terjadi keheningan diantara kami, Vina buka suara.
“Guys, sebenernya jawaban itu dari siapa
sih?”
Eh,
aku terhenyak.
“Gue
ceritain kronologisnya dari awal. Jadi gini, soal itu dari Okky. Terus, pas
tadi kalian remed PKN gue, Okky, Tegar, Iin, sama Pece ngerjain soal itu
bareng-bareng di koridor kelas. Maksudnya baik kok padahal, kita pengen sekelas
itu dapet nilai bagus dan lancar waktu ngerjain soal remed. Dan setelah soalnya
selesai dikerjain, kita langsung masuk ke kelas buat nyebarin jawaban itu.”
jawabku,”Tapi ternyata..”
“Tapi
ada yang bilang jawabannya dari Anita.” Nayla mengerutkan dahi,”Anita dapet
dari si Yola, anak IPS 3.”
“Hmm,
gue sih nggak tau kalo masalah yang ini.”
Tiba-tiba
Putri yang duduk di barisan tetangga berinisiatif untuk melaporkan hal ini pada
Bu Sri, namun ketika ia berjalan menuju meja guru Bu Sri malah menyuruhnya
untuk duduk kembali. “Nanti aja” hanya kata itu yang keluar dari bibirnya.
Setengah
jam telah berlalu, dan semua yang remedial telah mengumpulkan lembar soal
beserta kertas ulangan mereka. Putri yang ditemani Okky memberanikan diri untuk
menghampiri Bu Sri lagi, dan akhirnya berhasil. Mereka berbincang-bincang
selama beberapa saat, dan hal itu mengundang rasa penasaran seisi kelas.
Akhirnya kami semua maju untuk bernegosiasi dengannya.
***
“Far,
memang ceritanya gimana sih? Kok bisa ketauan gini?” tanya Nela ketika Bu Sri
telah melenggang pergi.
Aku
menceritakan kronologisnya dari awal sampai akhir tanpa menambah ataupun
mengurangi kenyataan yang ada. Nela hanya manggut-manggut dan ber-oo ria.
“Hoi,
diem!” Vina maju ke depan kelas dan menggebrak meja guru dengan sangar.
Seisi
kelas langsung terdiam dan membekukan pandangannya kearah Vina.
“Nah,
kalian kan udah tau kejadiannya. Jadi sekarang mau kayak gimana?”
“Ini
semua bisa terjadi karena kelicikan dan ke-egoisan kalian! Andai aja tadi
kalian kompak, kita pasti bakal dihukum bareng-bareng. Nggak kayak gini!”
lanjut Vina, matanya tertuju pada dua barisan yang berada disebelah kirinya.
Barisan musuh.
“Kalian
bener-bener licik dan egois!” sentak Vina,”Kalian tau nggak, kelicikan dan
ke-egoisan kalian tuh bisa membawa sengsara buat dua barisan di sebelah sana,
termasuk gue! Kalian tau apa yang bisa aja terjadi sama kami, temen kalian yang
hampir setahun ini menghiasi hari-hari kalian? Kami terancam nggak naik kelas!”
Fani
bangkit dari duduknya,”Temen-temen, maaf ya sebelumnya. Tadi kita nggak bantuin
kalian. Tapi jujur deh, waktu ngerjain soal remed kita juga gelisah banget.
Dilema, mau ngerjain soal itu apa enggak. Dan akhirnya kami mutusin untuk
ngerjain soal itu di menit-menit terakhir—“
“Tapi
keliatannya nggak kayak gitu, Cipan!” potong Husna,”Kalian keliatan asyik
banget waktu ngerjain soal!”
“Na,
keep calm!” aku berusaha untuk meredam emosi Husna yang membara.
“Minta
maaf itu memang gampang, Cipan. Tapi nggak semudah itu gue bisa maafin kalian!
Gue nyesek banget gara-gara kejadian ini!” sahut Lulu dengan nada yang
dinaikkan dua oktaf.
“Lu,
udah..” Yopi berusaha meredam emosi teman sebangkunya.
“Oke,
kalo gitu remed yang tadi batalin aja.” balas Anita.
“Batalin?
Lo itu bodoh atau apa sih, Nit?!” Vina berdecak,”Harusnya lo bilang dari tadi,
pas masih ada Bu Sri! Percuma lo bilang sekarang, Bu Srinya udah keluar!”
Kelasku
berubah menjadi arena perang.
“Stop,
kita ini masih muda, guys.” aku
mencoba untuk mencairkan suasana,”Kalo kalian marah-marah terus nanti kalian
bisa kena stroke, lho. Lagipula marah-marah nggak akan menyelesaikan masalah,
justru malah akan menambah masalah.”
Hening
sejenak.
“Gue
punya usul, gimana kalo kita buat surat pernyataan yang isinya kalo kita semua
udah berbuat curang? Nitik-nitikkin kertas ulangan duluan.” usul Tegar.
“Nah,
itu dia yang dari tadi pengen gue denger!” timpal Putri dengan nada
girang,”Lagian Bu Sri tadi bilang, kita harus buat surat pernyataan supaya
masalahnya selesai. Terus besok jum’at Bu Sri juga berbaik hati mau ngasih
remed ulang kok ke kita.”
Seisi
kelas langsung memincingkan mata serempak kearah Putri,”KENAPA NGGAK DARI TADI
NGOMONGNYA?!”
“Sorry, gue lupa.” Putri nyengir,”Abis
gue terlalu asyik menikmati sinetron baru yang ada dihadapan gue, sih.”
“Oke,
siapa yang mau bikin suratnya?” Tegar menaikkan sebelah alisnya.
“Ya
elolah, Gar!” jawab Vina.
“Lah,
kok gue sih?!” protes Tegar.
“Kan
elo ketua kelasnya, dodol! Elo yang bertanggung jawab sama semua yang terjadi
dikelas ini.” balas Vina.
Tegar
mengangguk pasrah.
“Oh
iya, kita belum ngucapin kata ajaibnya.” Avin buka suara, kemudian ia bangkit
dari duduknya dan mengajak semua anak yang ada di barisan seberang untuk
berdiri juga.
“Maaf..”
ucap mereka kompak,”kami janji, hal ini nggak akan terulang lagi di kemudian
hari.”
Barisanku
dan barisan tetangga yang sudah sedari tadi menahan emosi tiba-tiba melunak,
kata ajaib itu perlahan mulai mengikis emosi yang bergemuruh di dalam dada,
menggantinya dengan sebuah kecerahan. Pada akhirnya, kelasku kembali normal
seperti biasa. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Namun kami semua menjadikan
kejadian ini sebagai pelajaran dan mengambil hikmahnya.
0 Commentary
Review please.. :)