Kata Ajaib

Fa // Jumat, 19 Juni 2015

Ini... ini apa, ya? Hng, ini true story yang dijadiin cerpen. Bisa dibilang nonfiksi bukan, sih? XD

***
Seisi kelas yang tadinya ribut seperti pasar tradisional mendadak hening dan kembali ke kursi masing-masing begitu melihat sosok diambang pintu kelas. Detak jantung mereka saling beradu dengan cepat ketika melihat sosok tersebut melangkah masuk dan mendekati meja guru dengan tatapan membunuh. Dia adalah Bu Sri, guru ekonomi yang selalu menjadi musuh abadi untuk kelasku tercinta.

“Kumpulkan kertas ulangannya, SEKARANG!” sentaknya dengan suara super dahsyat yang memekakkan telinga seisi kelas.

Tiba-tiba dia langsung menarik paksa kertas ulangan yang ada dimejaku, mati gue! Di kertas itu kan udah ada jawaban remedial ekonomi!

Kulihat sekelilingku, sebagian dari mereka melakukan hal licik sebelum menyerahkan kertas ulangannya. Mereka menukar kertas ulangan yang telah diisi dengan kertas ulangan yang kosong! Rubah! Mereka itu rubah! Mereka licik…

***
Suasana semakin hening dan mencekam ketika Bu Sri memeriksa secara teliti satu-persatu kertas ulangan seisi kelas, tangan gempalnya merobek tanpa ampun kertas ulangan yang pada bagian pilihan gandanya sudah diberi titik-titik menggunakan pensil. Hanya ada sekitar sepuluh kertas ulangan saja yang berhasil dilumat, sementara sisanya dinyatakan mulus tanpa coretan. Jelas saja mulus, mereka kan sudah menukar kertas ulangan yang sudah diisi dengan kertas ulangan baru!

“Sekarang jujur, siapa yang udah nitik-nitikkin kertas ulangan!”

Aku langsung mengacungkan jari, disusul beberapa orang lainnya. Bu Sri menghitung dengan cepat dan cekatan. Jantungku berdebar tak karuan, mungkinkah ini akhir dari reputasiku sebagai murid baik-baik? Menemukanku di jajaran anak yang mencontek adalah hal paling luar biasa yang pernah kulakukan, baru pertama kali ini aku melakukan hal itu. Dan sialnya aku ketahuan!

“Kok cuma ada delapan?! Dua orang ada yang nggak ngaku nih!”

“Satu lagi Nela, Bu.” aku memberanikan diri untuk buka suara,”Tapi yang satu lagi saya nggak tau siapa.”

“Tapi Nela lagi nge-print, Bu. Sama Rijaldi.”

Seseorang yang berada di dekat jendela akhirnya memberanikan diri untuk mengacungkan jari meskipun dengan ragu-ragu—Ahmad. Aku menyipitkan mata tak percaya karena di barisannya hanya dia yang mengacungkan jari, sementara yang lain tidak. Padahal sudah jelas-jelas mereka ikut menorehkan jawaban di kertas ulangan sebelum Bu Sri datang. Okesip, mereka semua memang benar-benar singa berbulu kucing.

Bu Sri menyuruh kami semua yang tunjuk tangan pindah tempat duduk di barisan pojok, kemudian dia mulai membagikan soal remedial.

Apa-apaan ini?

Padahal seisi kelas juga melakukan hal yang sama, tetapi kenapa hanya kami berdelapan saja yang dihukum dan tidak boleh mengikuti remedial ekonomi? Pengecut, munafik, dan licik! Mereka memang benar-benar licik dan pengecut! Disaat teman mereka ada yang tidak bisa mengikuti remedial ekonomi hanya karena ketidak-solidaritas satu kelas saja mereka tidak mau tahu—apalagi membantu. Mereka malah asyik-asyikkan mengerjakan soal remedial ekonomi.

Tetapi bukan hanya aku dan ketujuh teman sekelasku yang ketiban sial, barisan yang tepat berada di depan papan tulispun ikut ketiban sial. Entah karena alasan apa mereka juga tidak mengikuti remedial ekonomi, padahal aku tahu sebagian besar dari mereka ada yang jujur dan sama sekali tidak menyalin jawaban seperti yang lainnya.

“Wah, parah nih!” cerocos Ahmad yang duduk disampingku dengan nada frustasi.

“Licik banget mereka!” sambung Nayla dengan nada kecewa.

“Padahal kan yang nitik-nitikkin sekelas, tapi kenapa yang nggak boleh ikut remedial cuma kita doang sih?!” emosiku mulai ikut terpancing.

“Kan udah gue bilang dari awal, kelas kita tuh nggak kompak! Sama sekali nggak ada solid-solidnya!” tambah Vina frustasi sambil melepas kacamatanya.

“Yaudahlah ya, lupain aja.” Nayla terlihat pasrah,”Berdoa aja semoga di rapot nanti nilai eko kita bagus.”

“Bagus? Bagus dari Hong Kong, Nay!” dengusku,”Eko itu pelajaran pokok jurusan IPS selain geo, sosio, sama sejarah. Kalo salah satu dari ketiga pelajaran itu kita ada yang nggak tuntas, yaudah wassalam deh kita. Alias nggak naik!”

“Licik, gue bener-bener nggak nyangka!” Syifa yang duduk dibelakang Nayla sesenggukan, matanya berkaca-kaca. “Nggak tau diri banget sih tu orang!”

“Siapa Syif?” tanya Vina.

“Itu si Apin, tadi dia minta kertas ulangan kosong ke gue. Gue kira buat apaan, nggak taunya dipake buat main curang! Harusnya kan kertas ulangan kosong itu buat gue, bukan buat dia!” air mata Syifa mulai jatuh.

“Mungkin dia udah tau dari awal kali kalo kertas ulangannya bakal dikumpulin, jadi dia minta yang kosong sama Syifa.” sambung Dina sambil mengelus pundak teman sebangkunya itu.

“Udahlah, teman. Karma itu berlaku di dunia ini, mereka yang ngelakuin perbuatan curang pasti bakal dapat balasannya.” aku menyuntikkan semangat dan harapan untuk teman-teman yang senasib denganku, juga untukku sendiri.

Lulu yang duduk dibelakang Syifa mulai ikut sesenggukan, itu adalah pelampiasannya jika sedang kesal dan marah. Sementara TKP (bukan Tempat Kejadian Perkara, melainkan singkatan dari namanya : Trikuat Pamungkas) yang duduk disebelah Lulu menepuk lembut pacar sohibnya. Yah, aku tahu. Semua orang yang berada di barisan ini dan barisan sebelah berhak marah pada dua barisan yang ada disana, keegoisan dan ketidak-solidaritasan mereka telah menelan korban. Dan korbannya adalah kami-kami ini.

“Heh, itu yang duduk dibangku kedua! Ngapain kalian? Contek-contekan?” Bu Sri memincingkan matanya dengan tajam kearah Fitri dan Avin.

Mereka berdua terlihat gelagapan, seperti seekor tikus yang ketahuan sedang menggondol keju dari lemari penyimpanan.

“Enggak kok, Bu. Ini.. saya udah selesai dan mau tukeran soal sama Fitri.” sanggah Avin yang langsung mendapat anggukan setuju dari Fitri.

Tiba-tiba Nayla terkekeh pelan dan membuat kedua alisku saling bertautan.

“Kenapa lo, Nay?” tanya Ahmad heran.

“Enggak, gue cuma lagi ngetawain mereka yang remed aja. Lo liat nggak sih ekspresi mereka semua? Lucu banget tau!” balas Nayla,”Pasti mereka semua lagi pada kebingungan ngerjain soalnya deh.”

“Dan gue yakin pasti soalnya susah-susah banget!” sahut Vina dengan senyum kecil.

“Dan pasti soalnya beda sama soal UB.” sambar Tegar sang nahkoda kelas.

“Dan pasti mereka bakal ngasal juga ujung-ujungnya.” sambung Ahmad.

Kami semua terkekeh pelan, menertawai kejadian sial yang hari ini menimpa kami.

***
Setelah sempat terjadi keheningan diantara kami, Vina buka suara.

Guys, sebenernya jawaban itu dari siapa sih?”

Eh, aku terhenyak.

“Gue ceritain kronologisnya dari awal. Jadi gini, soal itu dari Okky. Terus, pas tadi kalian remed PKN gue, Okky, Tegar, Iin, sama Pece ngerjain soal itu bareng-bareng di koridor kelas. Maksudnya baik kok padahal, kita pengen sekelas itu dapet nilai bagus dan lancar waktu ngerjain soal remed. Dan setelah soalnya selesai dikerjain, kita langsung masuk ke kelas buat nyebarin jawaban itu.” jawabku,”Tapi ternyata..”

“Tapi ada yang bilang jawabannya dari Anita.” Nayla mengerutkan dahi,”Anita dapet dari si Yola, anak IPS 3.”

“Hmm, gue sih nggak tau kalo masalah yang ini.”

Tiba-tiba Putri yang duduk di barisan tetangga berinisiatif untuk melaporkan hal ini pada Bu Sri, namun ketika ia berjalan menuju meja guru Bu Sri malah menyuruhnya untuk duduk kembali. “Nanti aja” hanya kata itu yang keluar dari bibirnya.

Setengah jam telah berlalu, dan semua yang remedial telah mengumpulkan lembar soal beserta kertas ulangan mereka. Putri yang ditemani Okky memberanikan diri untuk menghampiri Bu Sri lagi, dan akhirnya berhasil. Mereka berbincang-bincang selama beberapa saat, dan hal itu mengundang rasa penasaran seisi kelas. Akhirnya kami semua maju untuk bernegosiasi dengannya.

***
“Far, memang ceritanya gimana sih? Kok bisa ketauan gini?” tanya Nela ketika Bu Sri telah melenggang pergi.

Aku menceritakan kronologisnya dari awal sampai akhir tanpa menambah ataupun mengurangi kenyataan yang ada. Nela hanya manggut-manggut dan ber-oo ria.

“Hoi, diem!” Vina maju ke depan kelas dan menggebrak meja guru dengan sangar.

Seisi kelas langsung terdiam dan membekukan pandangannya kearah Vina.

“Nah, kalian kan udah tau kejadiannya. Jadi sekarang mau kayak gimana?”

“Ini semua bisa terjadi karena kelicikan dan ke-egoisan kalian! Andai aja tadi kalian kompak, kita pasti bakal dihukum bareng-bareng. Nggak kayak gini!” lanjut Vina, matanya tertuju pada dua barisan yang berada disebelah kirinya.

Barisan musuh.

“Kalian bener-bener licik dan egois!” sentak Vina,”Kalian tau nggak, kelicikan dan ke-egoisan kalian tuh bisa membawa sengsara buat dua barisan di sebelah sana, termasuk gue! Kalian tau apa yang bisa aja terjadi sama kami, temen kalian yang hampir setahun ini menghiasi hari-hari kalian? Kami terancam nggak naik kelas!”

Fani bangkit dari duduknya,”Temen-temen, maaf ya sebelumnya. Tadi kita nggak bantuin kalian. Tapi jujur deh, waktu ngerjain soal remed kita juga gelisah banget. Dilema, mau ngerjain soal itu apa enggak. Dan akhirnya kami mutusin untuk ngerjain soal itu di menit-menit terakhir—“

“Tapi keliatannya nggak kayak gitu, Cipan!” potong Husna,”Kalian keliatan asyik banget waktu ngerjain soal!”

“Na, keep calm!” aku berusaha untuk meredam emosi Husna yang membara.

“Minta maaf itu memang gampang, Cipan. Tapi nggak semudah itu gue bisa maafin kalian! Gue nyesek banget gara-gara kejadian ini!” sahut Lulu dengan nada yang dinaikkan dua oktaf.

“Lu, udah..” Yopi berusaha meredam emosi teman sebangkunya.

“Oke, kalo gitu remed yang tadi batalin aja.” balas Anita.

“Batalin? Lo itu bodoh atau apa sih, Nit?!” Vina berdecak,”Harusnya lo bilang dari tadi, pas masih ada Bu Sri! Percuma lo bilang sekarang, Bu Srinya udah keluar!”

Kelasku berubah menjadi arena perang.

“Stop, kita ini masih muda, guys.” aku mencoba untuk mencairkan suasana,”Kalo kalian marah-marah terus nanti kalian bisa kena stroke, lho. Lagipula marah-marah nggak akan menyelesaikan masalah, justru malah akan menambah masalah.”

Hening sejenak.

“Gue punya usul, gimana kalo kita buat surat pernyataan yang isinya kalo kita semua udah berbuat curang? Nitik-nitikkin kertas ulangan duluan.” usul Tegar.

“Nah, itu dia yang dari tadi pengen gue denger!” timpal Putri dengan nada girang,”Lagian Bu Sri tadi bilang, kita harus buat surat pernyataan supaya masalahnya selesai. Terus besok jum’at Bu Sri juga berbaik hati mau ngasih remed ulang kok ke kita.”

Seisi kelas langsung memincingkan mata serempak kearah Putri,”KENAPA NGGAK DARI TADI NGOMONGNYA?!”

Sorry, gue lupa.” Putri nyengir,”Abis gue terlalu asyik menikmati sinetron baru yang ada dihadapan gue, sih.”

“Oke, siapa yang mau bikin suratnya?” Tegar menaikkan sebelah alisnya.

“Ya elolah, Gar!” jawab Vina.

“Lah, kok gue sih?!” protes Tegar.

“Kan elo ketua kelasnya, dodol! Elo yang bertanggung jawab sama semua yang terjadi dikelas ini.” balas Vina.

Tegar mengangguk pasrah.

“Oh iya, kita belum ngucapin kata ajaibnya.” Avin buka suara, kemudian ia bangkit dari duduknya dan mengajak semua anak yang ada di barisan seberang untuk berdiri juga.

“Maaf..” ucap mereka kompak,”kami janji, hal ini nggak akan terulang lagi di kemudian hari.”


Barisanku dan barisan tetangga yang sudah sedari tadi menahan emosi tiba-tiba melunak, kata ajaib itu perlahan mulai mengikis emosi yang bergemuruh di dalam dada, menggantinya dengan sebuah kecerahan. Pada akhirnya, kelasku kembali normal seperti biasa. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Namun kami semua menjadikan kejadian ini sebagai pelajaran dan mengambil hikmahnya.

0 Commentary

Review please.. :)