Yes, I'm Jealous!

Fa // Selasa, 11 Februari 2014


“Bayu!”
Suara lembut itu kembali mampir di gendang telinganya. Membuatnya mau tak mau menengadah sejenak dan mendelik kearah sang pemilik suara meski sebenarnya kepalanya terasa sangat berat, seperti ada jutaan bahan peledak yang siap meledak tanpa diminta dan tanpa bisa diperhitungkan.
“Ada apa, Fa?” kepalanya sudah kembali ke posisi semula, sedikit mengabaikan gadis yang kini telah duduk tepat di sampingnya. Pusingnya masih belum hilang, malah semakin menjadi. Membuatnya terpaksa memejamkan kedua mata agar kadar pusing itu hilang, atau setidaknya berkurang.
Gadis yang dipanggil Fa itu mengamati sahabatnya dalam-dalam,”Kenapa Bay? Kambuh lagi ya?” ia semakin mendekat, kemudian berbisik di telinga Bayu. Melupakan tujuan awalnya mendatangi Bayu. Keadaan Bayu lebih penting daripada tujuan awalnya.
Bayu langsung menghalau tangan Faffa yang tinggal satu sentimeter saja akan menyentuh keningnya. Kepalanya kembali diangkat untuk yang kedua kalinya, tubuhnya langsung ditegakkan sembilan puluh derajat. “Enggak kok, Fa. Oh iya, elo belum jawab pertanyaan gue.” katanya melupakan rasa nyeri yang berdenyut di dahinya. Ia tidak ingin membuat sang sahabat khawatir.
Faffa mengernyit, bingung dengan sikap sang sahabat yang langsung berubah tiga ratus enam puluh derajat. Ia tidak yakin seratus persen kalau sahabat semata wayangnya dalam keadaan baik-baik saja. Tidak jika rona pucat itu masih menghiasi wajah Bayu, dan tidak jika peluh-peluh itu masih bertebaran di pelipisnya.
“Gue nggak percaya kalau lo baik-baik aja, wajah lo yang pucat itu nggak sependapat sama ucapan lo barusan.” Faffa melipat kedua tangannya di dada,”Elo nggak lupa minum obat kan, Bay?”
Absolutely yes, Bayu memutar kedua bola matanya kearah sembarang. Berusaha mengelak dari pertanyaan Faffayang terdengar seperti sebuah pernyataan.
“Bay,”
Bayu menggeleng pelan.
“Syukurlah akhirnya elo sadar juga seberapa penting obat itu untuk lo.” Faffa menghela napas panjang, kemudian bangkit dari duduknya. Mengulurkan sebelah tangannya pada Bayu. “Keluar yuk! Ada drama gratis tuh di depan koridor dekat kantin. Judul dramanya persaingan antara ratu dan selir-selirnya Bayu.”
Bayu mengernyit bingung, maksudnya?
“Udah deh, nggak perlu pasang ekspresi menyebalkan macam itu. Ayo ikut gue!”
Faffa langsung menarik lengan Bayu tanpa meminta persetujuan sang empunya tangan terlebih dahulu, menyeret pemuda itu ke tempat kejadian perkara yang sekarang sudah penuh sesak dengan orang-orang yang ingin menonton drama dari tiga orang gadis paling populer dan paling-paling di sekolah mereka. Sebuah drama yang berakar dari satu orang dan satu masalah yang sama. Siapa lagi kalau bukan Bayu Rafarendra, seorang murid biasa yang sederhana namun bisa mendapatkan perhatian luar biasa dari tiga gadis paling populer.
“Lihat dan perhatikan sejauh mana gadis-gadis itu begitu terobsesi dengan lo.”
Kepala Bayu berdenyut lebih hebat saat kalimat yang baru diucapkan Faffa mampir di gendang telinganya. Ia menyandarkan punggungnya di dinding terdekat saat merasa gempa bumi berkekuatan sedang menghantamnya.
“Kemarin gue jalan sama Bayu, and you know what? He bought me this cute bracelet.”
Oh my to the God, sebelum Bayu jalan sama lo gue udah jalan duluan sama dia. Dan yang Bayu beliin buat lo itu nggak ada apa-apanya sama kenangan manis yang dia kasih ke gue.”
“Halah, kenangan manis. Lebay lo! Memangnya apa sih kenangan manis yang Bayu kasih? Paling nggak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan gue, gue yang selalu pulang bareng sama dia. Setiap hari! Kalian pasti iri kan sama gue yang setiap hari duduk manis di jok belakang motornya sembari melingkarkan lengan ke pinggangnya?”
Bayu bisa mendengar samar-samar ketiga suara yang sudah akrab di telinganya sebelum akhirnya tubuhnya merosot saat ia merasa dunianya dihantam gempa berkekuatan dahsyat yang langsung membuat dunianya berputar tak karuan, samar-samar, dan berbayang. Kedua matanya langsung dipejamkan erat, berusaha melawan permainan yang sedang dilancarkan oleh penyakitnya. Sementara deretan gigi putihnya sibuk menggigit kuat-kuat bagian bawah bibirnya, antisipasi agar erangan memilukan tak meluncur dari bibirnya.
“Bayu!” jerit Faffa ketika kepalanya menoleh secara tak sengaja kearah Bayu dan medapati keadaan Bayu yang mengenaskan. Ia terlalu asyik menonton drama yang tersaji di hadapannya.
Semua pasang mata yang mayoritas terdiri dari kaum hawa langsung menoleh berjamaah ketika jeritan Faffa sampai di telinga mereka. Kemudian membulatkan mata yang lagi-lagi juga secara berjamaah saat melihat apa menjadi objek kepanikan Faffa.
“Bayu!” ketiga gadis yang sama-sama menyimpan rasa untuk Bayu itu ikut menjerit, kompak. Kemudian melesat menghampiri Bayu, berlutut di sekeliling pemuda itu.
“Elo bohong Bay! Katanya tadi—“ Napas Faffa ikut memburu seperti Bayu,”kita ke UKS sek—“
“Hei!” protes Faffa saat ia merasa tubuhnya didorong paksa oleh salah satu gadis itu, seolah hanya merekalah yang paling berhak atas Bayu kali ini. Sama sekali tak membiarkan siapapun untuk melangkah mendekati Bayu. “Gue juga berhak untuk membantu Bayu! Gue sahabatnya! Gue yang paling tau apa yang terjadi sama Bayu, penyebabnya, bahkan gue tau cara untuk membuat keadaan Bayu menjadi normal.”
“Nggak usah bersikap seolah-olah elo ini dokter yang serba tau! Elo Cuma sahabatnya Bayu, bukan seseorang yang multitalent!” gertak seorang gadis berambut sebahu yang Faffa kenal bernama Angel.
Nama doang yang malaikat, tapi hatinya sama sekali nggak mencerminkan namanya! Faffa mendengus sebal.
Bayu tak merespon, tangannya sedang sibuk meremas perutnya yang terasa sangat sakit. Hatinya terasa seperti dicabik-cabik oleh tangan berkuku super tajam tanpa ampun. Ia kesulitan bernapas. Tak ada yang bisa menghentikan demo penyakitnya yang satu ini, kecuali obatnya. Tapi obatnya ada di kelas, dan kekuatan yang ia kumpulkan belum cukup untuk sekedar bangkit, apalagi sampai berjalan menuju kelas.
“Dasar gadis-gadis gila! Bukankah tadi gue udah bilang kalau gue tau apa yang terjadi sama Bayu, gue juga tau cara untuk membuat keadaan Bayu menjadi normal!” dengus Faffa dengan nada yang dinaikkan dua oktaf.
“Sepertinya Bayu harus ke UKS.”
“Iya, elo benar. Bayu terlihat sangat kepayahan.”
“Sepertinya Bayu memang benar-benar sakit.”
 “Tadi kan gue udah bilang!”
Faffa memejamkan kedua matanya yang mulai memanas, ia benar-benar nyaris menangis. Keberadaannya sama sekali tak dianggap oleh ketiga gadis yang sama-sama menyimpan rasa untuk sahabatnya itu, padahal hanya ia yang paling mengerti keadaan Bayu. Dan ia sama sekali tak diizinkan  untuk menghampiri apalagi menyentuh sahabat semata wayangnya.
Mereka nggak mengerti!
Dengan sisa tenaga yang ada, Bayu mulai bangkit. Saat ini ia tidak butuh UKS, yang ia butuhkan hanyalah toilet untuk memuntahkan isi perutnya yang sejak beberapa menit yang lalu terasa seperti diaduk oleh pengaduk otomatis. Rasa mual menyerangnya tanpa bisa diajak kompromi lagi, bersekutu dengan rasa sakitnya. Menyerangnya bertubi-tubi hingga payah.
Kedua kakinya terus dilangkahkan menuju toilet terdekat, mengabaikan jeritan khawatir yang ditujukan padanya. Dan mengabaikan tatapan prihatin orang di sekitarnya. Sementara Bayu sibuk berperang dengan rasa sakitnya di dalam toilet, Faffa sibuk menghalau tiga gadis gila yang terus-menerus menghujamkan cakaran kuku tumpul mereka. Ia tidak akan membiarkan ketiga gadis gila itu semakin menambah beban sahabatnya. Tidak sampai akhirnya mereka berhenti saat kenop pintu toilet dibuka dan Bayu muncul dari balik pintu dengan keadaan yang mengenaskan dan membuat mereka menjerit kompak ketika tubuh Bayu limbung.
“Bayu!”
***
“Bay,”

Kedua kelopak mata Bayu terbuka perlahan dan menatap samar wajah Faffa yang tertangkap indra penglihatannya. Kelopak mata itu langsung mengerjap ketika cahaya lampu menyilaukan penglihatannya. Ketika ia mencoba menggerakan kepalanya, tiba-tiba saja gelombang sakit mendera. Seperti tertimpa batu seberat puluhan ton. Ia memejamkan kembali kelopak matanya untuk menetralisir rasa sakit itu. Setelah mampu menguasai tubuhnya, Bayu akhirnya buka suara meski tenggorokannya masih terasa sakit. “Fa,”
“Nggak perlu dipaksain Bay kalau memang nggak mampu.” Faffa membantu Bayu menegakkan tubuhnya, kemudian meraih gelas yang ada di atas nakas dan menyodorkannya pada Bayu. “Minum dulu Bay, tenggorokan lo pasti kering deh.”
Thanks.” Bayu menyerahkan gelas itu pada Faffa.
Keheningan membelenggu mereka dan sempat menjadi latar suasana karena keduanya tenggelam ke dalam dunia masing-masing, sampai akhirnya Faffa buka suara karena tak tahan dengan suasana yang tercipta. “Elo bohong kan, Bay.”
Faffa mendengus pelan saat melihat Bayu menaikkan sebelah alisnya,”Nggak usah pura-pura lupa deh. Kepala lo nggak membentur apapun saat pingsan tadi, dan setau gue penyakit vertigo itu nggak membuat penderitanya jadi amnesia deh. Jadi, elo nggak punya alasan untuk melupakan kejadian di kelas tadi. Gue nggak harus mengingatkan lo akan kejadian itu kan?”
Bayu menghela napas panjang,”Obat gue ketinggalan, Fa. Kalau lo nggak percaya elo bisa buka laci atas nakas itu.”
“Elo kenapa ceroboh banget sih Bay, nggak capek apa terus-terusan pingsan di muka umum? Atau memang itu siasat lo untuk semakin menarik hati ketiga gadis gila itu?”
“Gue memang benar-benar lupa, Fa. Cuma orang nggak waras yang menggunakan siasat mematikan seperti itu.” balas Bayu.
“Oke, abaikan yang tadi.” Faffa meraih mangkuk bubur buatannya, menyodorkan mangkuk itu ke pelukan Bayu. “Makan dulu Bay, gue tau perut lo lagi demo. Elo udah melewatkan jam makan siang soalnya.”
Sendok yang ada di dalam mangkuk itu masih belum beranjak dari tempatnya, masih belum disentuh oleh Bayu. Pemuda itu hanya menatapnya ogah-ogahan. Ia malas makan. Percuma, karena ujung-ujungnya bubur itu juga akan berakhir dengan menyedihkan di wastafel atau di toilet sebelum dicerna dengan baik.
“Bubur itu nggak akan habis dengan sendirinya kalau cuma lo pandangi aja.” kata Faffa dengan nada menyindir,”Ayolah Bay, seenggaknya elo harus makan biarpun cuma satu suap. Gue udah capek-capek berurusan dengan dapur yang jarang gue sentuh cuma untuk membuat bubur itu. Masa elo nggak mau menghargai kerja keras gue sih? Atau elo mau gue suapin?”
Bayu mengalihkan pandangannya kearah Faffa, gadis modis yang selalu memperhatikan dengan detil penampilannya itu kini berubah tiga ratus enam puluh derajat. Rambut indahnya yang biasanya selalu digerai kini terlihat dikuncir asal-asalan. Make-up tipis yang biasa menghiasi wajahnya juga menghilang, digantikan oleh gurat-gurat lelah. Ia tidak mungkin mengecewakan gadis itu, tidak setelah semua yang telah dilakukannya.
“Nah, gitu dong.” sebuah sabit tipis membingkai wajah Faffa ketika Bayu mulai menyantap bubur buatannya.
***
“Bay, udah sore. Gue pul—“
Lho, Bayu mana?!
Faffa mengernyit ketika mendapati kamar Bayu kosong, ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Tanpa komando dari siapapun, Faffa langsung melesat menuju kolam renang yang ada di taman belakang. Tempat favorit Bayu untuk menghabiskan waktu luangnya.
“Bay,”

Bayu menoleh kearah sang pemilik suara, kemudian mengembangkan senyum kecil. Pandangannya dialihkan kearah spot kosong yang ada di sebelahnya, memberi isyarat pada Faffa untuk duduk di sana. Menemaninya menghabiskan senja. Faffa melangkah ogah-ogahan dan mulai duduk di sebelah Bayu, niat awalnya mendatangi Bayu bukan untuk menemani pemuda itu menghabiskan senja. Melainkan untuk berpamitan. Malam hampir tiba, Bunda pasti cemas saat pulang dari kantor dan mendapati putri semata wayangnya tidak ada di rumah. Meski Bunda akan mengerti dengan keterlambatannya, tetapi ia tidak terbiasa pulang malam. Malam hari sama menakutkannya dengan terkurung di dalam kandang berisi puluhan ekor singa lapar yang siap menerkam. Setidaknya untuknya.

“Bay,” Faffa mengalihkan pandangannya kearah Bayu yang masih tampak pucat,”Gue mau pulang, ini udah sore. Gue takut Bunda cemas, lagipula elo tau kan kalau gue nggak terbiasa pulang malam?”

“Jangan pulang sekarang, Fa. Please...” pinta Bayu,”Bunda bisa bertemu dengan lo kapan pun saat lo atau Bunda lo mau, tapi gue... gue belum tentu bisa melihat lo kapan pun gue mau, Fa.”

Faffa mengernyit saat menyadari keanehan ucapan Bayu. Tapi ia tidak bisa protes, hati kecilnya berbisik kalau Bayu lebih membutuhkan kehadirannya dibandingkan dengan Bunda. Akhirnya ia memilih untuk tetap berada di sisi Bayu, kemudian memberanikan diri untuk menyandarkan kepalanya di bahu kiri Bayu. Dadanya langsung bergemuruh, seperti diterjang ombak.

“Bay,”

“Ya?”

“Ucapan gadis-gadis gila yang di sekolah tadi itu benar ya?” bisik Faffa,”Kemarin elo jalan sama Angel?”

Faffa bisa melihat Bayu mengangguk pelan dari sudut matanya,”Angel yang ngajak, dan elo tau kalau gue 
paling nggak bisa mengecewakan orang lain?”

“Terus gelang itu?” lanjut Faffa.

“Angel yang minta, dia udah jatuh cinta pada pandangan pertama sama gelang itu dan keukeuh nggak mau pulang tanpa gelang itu. Gue terpaksa beliin buat dia supaya dia mau pulang.”

“Dan sebelumnya elo juga jalan sama Kanaya kan?”

“Itu juga dia yang ngajak.” Bayu mendengus pelan,”Dia minta ditemani beli beberapa novel di toko buku.”

“Elo juga pul—“

“Itu karena motor Dinda masuk bengkel dan dia bilang nggak punya tebengan lain selain gue.” Bayu langsung memotong pertanyaan Faffa, mengabaikan tatapan tajam sang sahabat.

“Omong kosong, itu cuma alasan dia supaya bisa pulang sama lo terus. Kemarin gue liat dia lagi jalan sama temennya, naik motor.” Faffa menggertakan giginya,”Bay, kenapa sih elo selalu bersikap baik sama mereka? Sebenarnya siapa yang elo suka di antara mereka? Angel, Kanaya, atau Dinda?”

“Nggak ketiga-tiganya.” jawab Bayu enteng yang langsung disambut ekspresi melongo dari Faffa.

Faffa menegakkan tubuhnya kembali, kemudian menatap lekat sosok Bayu yang entah kenapa terlihat salah di matanya. “Kalau lo nggak suka ketiganya, kenapa elo selalu nurut sama mereka? Selalu berusaha menyenangkan perasaan mereka, dan selalu mengorbankan perasaan lo sendiri. Kalau gitu apa bedanya elo sama pemuda-pemuda lain? Selalu memberi harapan palsu sama setiap gadis yang mendekat. Gue nggak suka elo PHP-in mereka, Bay. Gue juga seorang gadis, gue sangat mengerti perasaan mereka yang elo PHP-in. Karena gue juga sering di PHP-in, Bay. Dan rasanya itu nggak enak banget. Kalau memang beneran suka, nyatakan. Kalau enggak, berhenti untuk terus memberi harapan palsu.”

“Gue hanya ingin berbuat baik sebelum malaikat pencabut nyawa datang dan mengajak gue pergi ke dunia lain, itu aja Fa. A simple desire from me.” Bayu mendesah, lebih memilih untuk menatap dasar kolam renang yang terlihat tenang daripada menatap Faffa yang saat ini pasti sedang memasang tatapan menusuk,”Gue nggak akan pernah bisa membalas perasaan mereka, sekalipun gue suka ketiga-tiganya. Nggak akan pernah bisa, Fa. Hidup gue ng—“

Stop it, Bay. Jangan pernah bicara tentang kematian lagi, karena lo nggak akan pernah menghadapinya! Vertigo itu bukan kanker yang bisa merenggut nyawa lo, gue nggak pernah dengar ataupun melihat vertigo membunuh penderitanya.” dada Faffa naik-turun dengan cepat karena menahan emosi,” Jangan jadikan penyakit itu sebagai alasan untuk menyakiti para gadis, gue nggak suka Bay! Nggak suka!”

Bayu bergeming, bukan karena tidak siap untuk kembali beradu argumen dengan sahabatnya. Melainkan karena rasa sakit yang tadi sempat hilang kembali menghampirinya, membuatnya kembali merasa menjadi orang paling menyedihkan di dunia.

“Gue mau pulang!”

“Fa,” Bayu bangkit saat Faffa tiba di ambang pintu kaca, memberi isyarat pada gadis itu untuk tetap bertahan pada posenya sekarang. Kemudian menyeret kedua kakinya mendekati sang sahabat, berdiri beberapa sentimeter dan menatap punggung gadis itu lekat-lekat. Sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mendaratkan kedua telapak tangannya di pundak sang gadis dan memaksanya untuk berputar seratus delapan puluh derajat. Menyisakan jarak satu hasta antara dirinya dan Faffa. Meski awalnya sempat meronta, namun akhirnya Faffa luluh juga saat desahan napas Bayu yang terdengar menyakitkan mampir di telinganya.

“Fa,” Bayu semakin merengkuh tubuh mungilnya,”Vertigo memang nggak mematikan, tapi enggak dengan penyakit yang sering menyerang organ hati. Kanker hati udah membunuh banyak orang di belahan dunia ini, dan gue mungkin akan jadi salah satu korbannya.”

Kedua tangannya mengepal erat, kanker hati?! Sejak kapan, Bay? Kenapa elo merahasiakan yang satu itu dari gue?! Apakah kebersamaan kita sejak kecil belum cukup untuk membuang ketidakpercayaan lo sama gue? Apakah semua janji itu hanya janji palsu semata?

“Sejak kapan, Bay?” Faffa mulai terisak,”Kenapa elo merahasiakan yang satu itu dari gue?”

“Elo cemburu kan, Fa?” bisikan Bayu kembali menyapa gendang telinganya,”Sama mereka. Sama Angel, Kanaya, dan Dinda?”

“Jangan mengalihkan pembicaraan, Bay!” Faffa memberanikan diri untuk melingkarkan lengannya ke pinggang Bayu, yang sudah beberapa tahun terakhir ini jarang—nyaris tak pernah—dilakukannya.

“Katakan kalau lo cemburu, Fa.”

Faffa menggeleng keras,”Enggak, gue sama sekali nggak pernah merasa cemburu sama mereka! Lagipula atas dasar apa gue harus cemburu? Toh hubungan kita juga hanya sekedar sahabat, nggak lebih dari itu kan, Bay? Gue nggak punya hak untuk merasa cemburu karena kita nggak terikat!”

Bayu merasa sesak di dadanya semakin bertambah setelah mendengar ucapan Faffa, frekuensi rasa sakit yang menyerang perutnya juga ikut-ikutan bertambah. Seolah mereka bersekongkol untuk menjungkirkan sang pemilik tubuh. “Katakan, Fa. Katakan kalau lo cemburu.”

Faffa kembali menggeleng, kali ini bendungan di sudut matanya jebol. Membentuk dua buah aliran sungai berarus deras. Wajahnya semakin dibenamkan ke dalam dada Bayu, serta semakin mengeratkan dekapannya. Seolah tidak sependapat dengan gelengannya barusan.

Bayu juga ikut-ikutan mengeratkan dekapannya,”Ayo katakan, Fa. Katakan kalau lo cemburu, dan katakan kalau lo juga menyimpan rasa sama gue.” Bayu menghela napas berat,”Mau tau alasan di balik gue selalu PHP-in Angel, Kanaya, dan Dinda? Alasannya cuma satu, Fa. Dan itu adalah elo. Elo adalah satu-satunya alasan gue untuk melakukan semua itu. Gue ingin melihat lo cemburu, karena gue ingin secepatnya mendengar kata suka dan cinta dari bibir lo.”

“Gue suka sama lo, Fa!”

“Gue cinta sama lo!”

“Gue sayang sama lo, Fa. Tapi bukan rasa sayang sebagai sahabat, melainkan rasa sayang seorang pemuda  terhadap gadis yang dicintainya. Rasa sayang gue sebagai sahabat lo udah berpindah haluan sejak kita masuk SMA.” Napas Bayu semakin memburu,”Katakan kalau lo juga punya rasa yang sama, Fa!”

Bukannya menjawab, Faffa malah semakin terisak.

“Fa,” Bayu sedikit melonggarkan dekapannya, kemudian menyentuh ujung dagu gadis itu. Mengangkatnya dengan lembut, memaksa hazel bulat itu bertemu dengan hazel sayu miliknya. “Katakan Fa! Katakan!”

Seperti ada ratusan samurai yang menancap tepat di jantung Faffa saat hazel bulatnya bertemu dengan hazel sayu milik Bayu. Ia tak sanggup untuk berlama-lama menatap hazel Bayu, menilik wajah tampan yang sekarang dipenuhi gurat kesakitan itu. Ia tak sanggup, benar-benar tak sanggup. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali membenamkan wajahnya ke dalam dada Bayu. Berada dalam posisi seperti ini terasa jauh lebih baik jika dibandingkan dengan yang tadi.

“Gue nggak cemburu, Bay. Gue cuma takut. Gue takut kalau lo akan jatuh hati pada gadis lain dan mulai melupakan gue. Jujur, gue nggak suka melihat lo dekat-dekat dengan gadis lain. Yang gue tau selama ini, Bayu adalah milik Faffa. Sejak dulu, dan sampai kapan pun akan selalu menjadi milik Faffa. Nggak ada yang boleh menggantikan posisi Faffa di sisi apalagi di hati Bayu! Nggak ada! Karena.. semua yang lo paksakan ke gue itu benar, Bay. Gue suka sama lo, gue cinta sama lo! Gue.. gue nggak sanggup untuk berpisah dengan lo. Membayangkannya aja gue udah nggak sanggup, apalagi kalau sampai terjadi.” lirih, pengakuan Faffa terdengar begitu lirih dari balik air matanya yang masih mengalir.

“Gue cemburu, Bay. Gue cemburu. Sangat.”

Thanks, Fa.”

“Bay,” Faffa merasa kalau dekapannya semakin memberat, desahan napas Bayu yang masih mampir di gendang telinganya juga terdengar semakin menyakitkan. Tidak, ia tidak mau merasakan kehilangan untuk yang kedua kalinya. Ini bukan saat yang tepat untuk kembali merasakan kehilangan, ia tidak mau masa berkabungnya semakin bertambah panjang. Tidak setelah ia kehilangan sang ayah bulan lalu, dan tidak jika setelah ini ia tidak memiliki seseorang untuk menghibur dan mengembalikan semangat hidupnya lagi.

0 Commentary

Review please.. :)