“Bayu!”
Suara lembut itu kembali mampir di
gendang telinganya. Membuatnya mau tak mau menengadah sejenak dan mendelik
kearah sang pemilik suara meski sebenarnya kepalanya terasa sangat berat, seperti
ada jutaan bahan peledak yang siap meledak tanpa diminta dan tanpa bisa
diperhitungkan.
“Ada apa, Fa?” kepalanya sudah kembali
ke posisi semula, sedikit mengabaikan gadis yang kini telah duduk tepat di
sampingnya. Pusingnya masih belum hilang, malah semakin menjadi. Membuatnya
terpaksa memejamkan kedua mata agar kadar pusing itu hilang, atau setidaknya
berkurang.
Gadis yang dipanggil Fa itu mengamati
sahabatnya dalam-dalam,”Kenapa Bay? Kambuh lagi ya?” ia semakin mendekat,
kemudian berbisik di telinga Bayu. Melupakan tujuan awalnya mendatangi Bayu. Keadaan
Bayu lebih penting daripada tujuan awalnya.
Bayu langsung menghalau tangan Faffa
yang tinggal satu sentimeter saja akan menyentuh keningnya. Kepalanya kembali
diangkat untuk yang kedua kalinya, tubuhnya langsung ditegakkan sembilan puluh
derajat. “Enggak kok, Fa. Oh iya, elo belum jawab pertanyaan gue.” katanya
melupakan rasa nyeri yang berdenyut di dahinya. Ia tidak ingin membuat sang
sahabat khawatir.
Faffa mengernyit, bingung dengan sikap
sang sahabat yang langsung berubah tiga ratus enam puluh derajat. Ia tidak
yakin seratus persen kalau sahabat semata wayangnya dalam keadaan baik-baik
saja. Tidak jika rona pucat itu masih menghiasi wajah Bayu, dan tidak jika
peluh-peluh itu masih bertebaran di pelipisnya.
“Gue nggak percaya kalau lo baik-baik
aja, wajah lo yang pucat itu nggak sependapat sama ucapan lo barusan.” Faffa
melipat kedua tangannya di dada,”Elo nggak lupa minum obat kan, Bay?”
Absolutely yes, Bayu
memutar kedua bola matanya kearah sembarang. Berusaha mengelak dari pertanyaan Faffayang
terdengar seperti sebuah pernyataan.
“Bay,”
Bayu menggeleng pelan.
“Syukurlah akhirnya elo sadar juga
seberapa penting obat itu untuk lo.” Faffa menghela napas panjang, kemudian
bangkit dari duduknya. Mengulurkan sebelah tangannya pada Bayu. “Keluar yuk!
Ada drama gratis tuh di depan koridor dekat kantin. Judul dramanya persaingan
antara ratu dan selir-selirnya Bayu.”
Bayu mengernyit bingung, maksudnya?
“Udah deh, nggak perlu pasang ekspresi
menyebalkan macam itu. Ayo ikut gue!”
Faffa langsung menarik lengan Bayu tanpa
meminta persetujuan sang empunya tangan terlebih dahulu, menyeret pemuda itu ke
tempat kejadian perkara yang sekarang sudah penuh sesak dengan orang-orang yang
ingin menonton drama dari tiga orang gadis paling populer dan paling-paling di
sekolah mereka. Sebuah drama yang berakar dari satu orang dan satu masalah yang
sama. Siapa lagi kalau bukan Bayu Rafarendra, seorang murid biasa yang
sederhana namun bisa mendapatkan perhatian luar biasa dari tiga gadis paling
populer.
“Lihat dan perhatikan sejauh mana
gadis-gadis itu begitu terobsesi dengan lo.”
Kepala Bayu berdenyut lebih hebat saat
kalimat yang baru diucapkan Faffa mampir di gendang telinganya. Ia menyandarkan
punggungnya di dinding terdekat saat merasa gempa bumi berkekuatan sedang
menghantamnya.
“Kemarin gue jalan sama Bayu, and you know what? He bought me this cute bracelet.”
“Oh
my to the God, sebelum Bayu jalan sama lo gue udah jalan duluan sama dia. Dan
yang Bayu beliin buat lo itu nggak ada apa-apanya sama kenangan manis yang dia
kasih ke gue.”
“Halah, kenangan manis. Lebay lo!
Memangnya apa sih kenangan manis yang Bayu kasih? Paling nggak ada apa-apanya
kalau dibandingkan dengan gue, gue yang selalu pulang bareng sama dia. Setiap
hari! Kalian pasti iri kan sama gue yang setiap hari duduk manis di jok
belakang motornya sembari melingkarkan lengan ke pinggangnya?”
Bayu bisa mendengar samar-samar ketiga
suara yang sudah akrab di telinganya sebelum akhirnya tubuhnya merosot saat ia
merasa dunianya dihantam gempa berkekuatan dahsyat yang langsung membuat
dunianya berputar tak karuan, samar-samar, dan berbayang. Kedua matanya
langsung dipejamkan erat, berusaha melawan permainan yang sedang dilancarkan
oleh penyakitnya. Sementara deretan gigi putihnya sibuk menggigit kuat-kuat
bagian bawah bibirnya, antisipasi agar erangan memilukan tak meluncur dari
bibirnya.
“Bayu!” jerit Faffa ketika kepalanya
menoleh secara tak sengaja kearah Bayu dan medapati keadaan Bayu yang
mengenaskan. Ia terlalu asyik menonton drama yang tersaji di hadapannya.
Semua pasang mata yang mayoritas terdiri
dari kaum hawa langsung menoleh berjamaah ketika jeritan Faffa sampai di
telinga mereka. Kemudian membulatkan mata yang lagi-lagi juga secara berjamaah
saat melihat apa menjadi objek kepanikan Faffa.
“Bayu!” ketiga gadis yang sama-sama
menyimpan rasa untuk Bayu itu ikut menjerit, kompak. Kemudian melesat
menghampiri Bayu, berlutut di sekeliling pemuda itu.
“Elo bohong Bay! Katanya tadi—“ Napas
Faffa ikut memburu seperti Bayu,”kita ke UKS sek—“
“Hei!” protes Faffa saat ia merasa
tubuhnya didorong paksa oleh salah satu gadis itu, seolah hanya merekalah yang
paling berhak atas Bayu kali ini. Sama sekali tak membiarkan siapapun untuk
melangkah mendekati Bayu. “Gue juga berhak untuk membantu Bayu! Gue sahabatnya!
Gue yang paling tau apa yang terjadi sama Bayu, penyebabnya, bahkan gue tau cara
untuk membuat keadaan Bayu menjadi normal.”
“Nggak usah bersikap seolah-olah elo ini
dokter yang serba tau! Elo Cuma sahabatnya Bayu, bukan seseorang yang multitalent!” gertak seorang gadis
berambut sebahu yang Faffa kenal bernama Angel.
Nama
doang yang malaikat, tapi hatinya sama sekali nggak mencerminkan namanya! Faffa mendengus sebal.
Bayu tak merespon, tangannya sedang
sibuk meremas perutnya yang terasa sangat sakit. Hatinya terasa seperti dicabik-cabik
oleh tangan berkuku super tajam tanpa ampun. Ia kesulitan bernapas. Tak ada
yang bisa menghentikan demo penyakitnya yang satu ini, kecuali obatnya. Tapi
obatnya ada di kelas, dan kekuatan yang ia kumpulkan belum cukup untuk sekedar
bangkit, apalagi sampai berjalan menuju kelas.
“Dasar gadis-gadis gila! Bukankah tadi
gue udah bilang kalau gue tau apa yang terjadi sama Bayu, gue juga tau cara
untuk membuat keadaan Bayu menjadi normal!” dengus Faffa dengan nada yang
dinaikkan dua oktaf.
“Sepertinya Bayu harus ke UKS.”
“Iya, elo benar. Bayu terlihat sangat
kepayahan.”
“Sepertinya Bayu memang benar-benar
sakit.”
“Tadi
kan gue udah bilang!”
Faffa memejamkan kedua matanya yang
mulai memanas, ia benar-benar nyaris menangis. Keberadaannya sama sekali tak
dianggap oleh ketiga gadis yang sama-sama menyimpan rasa untuk sahabatnya itu,
padahal hanya ia yang paling mengerti keadaan Bayu. Dan ia sama sekali tak
diizinkan untuk menghampiri apalagi
menyentuh sahabat semata wayangnya.
Mereka
nggak mengerti!
Dengan sisa tenaga yang ada, Bayu mulai
bangkit. Saat ini ia tidak butuh UKS, yang ia butuhkan hanyalah toilet untuk
memuntahkan isi perutnya yang sejak beberapa menit yang lalu terasa seperti
diaduk oleh pengaduk otomatis. Rasa mual menyerangnya tanpa bisa diajak
kompromi lagi, bersekutu dengan rasa sakitnya. Menyerangnya bertubi-tubi hingga
payah.
Kedua kakinya terus dilangkahkan menuju
toilet terdekat, mengabaikan jeritan khawatir yang ditujukan padanya. Dan
mengabaikan tatapan prihatin orang di sekitarnya. Sementara Bayu sibuk
berperang dengan rasa sakitnya di dalam toilet, Faffa sibuk menghalau tiga
gadis gila yang terus-menerus menghujamkan cakaran kuku tumpul mereka. Ia tidak
akan membiarkan ketiga gadis gila itu semakin menambah beban sahabatnya. Tidak
sampai akhirnya mereka berhenti saat kenop pintu toilet dibuka dan Bayu muncul
dari balik pintu dengan keadaan yang mengenaskan dan membuat mereka menjerit
kompak ketika tubuh Bayu limbung.
“Bayu!”
***
“Bay,”
Kedua
kelopak mata Bayu terbuka perlahan dan menatap samar wajah Faffa yang tertangkap
indra penglihatannya. Kelopak mata itu langsung mengerjap ketika cahaya lampu menyilaukan
penglihatannya. Ketika ia mencoba menggerakan kepalanya, tiba-tiba saja gelombang
sakit mendera. Seperti tertimpa batu seberat puluhan ton. Ia memejamkan kembali
kelopak matanya untuk menetralisir rasa sakit itu. Setelah mampu menguasai
tubuhnya, Bayu akhirnya buka suara meski tenggorokannya masih terasa sakit. “Fa,”
“Nggak perlu dipaksain Bay kalau memang
nggak mampu.” Faffa membantu Bayu menegakkan tubuhnya, kemudian meraih gelas
yang ada di atas nakas dan menyodorkannya pada Bayu. “Minum dulu Bay,
tenggorokan lo pasti kering deh.”
“Thanks.”
Bayu menyerahkan gelas itu pada Faffa.
Keheningan membelenggu mereka dan sempat
menjadi latar suasana karena keduanya tenggelam ke dalam dunia masing-masing,
sampai akhirnya Faffa buka suara karena tak tahan dengan suasana yang tercipta.
“Elo bohong kan, Bay.”
Faffa mendengus pelan saat melihat Bayu
menaikkan sebelah alisnya,”Nggak usah pura-pura lupa deh. Kepala lo nggak
membentur apapun saat pingsan tadi, dan setau gue penyakit vertigo itu nggak
membuat penderitanya jadi amnesia deh. Jadi, elo nggak punya alasan untuk
melupakan kejadian di kelas tadi. Gue nggak harus mengingatkan lo akan kejadian
itu kan?”
Bayu menghela napas panjang,”Obat gue
ketinggalan, Fa. Kalau lo nggak percaya elo bisa buka laci atas nakas itu.”
“Elo kenapa ceroboh banget sih Bay,
nggak capek apa terus-terusan pingsan di muka umum? Atau memang itu siasat lo
untuk semakin menarik hati ketiga gadis gila itu?”
“Gue memang benar-benar lupa, Fa. Cuma
orang nggak waras yang menggunakan siasat mematikan seperti itu.” balas Bayu.
“Oke, abaikan yang tadi.” Faffa meraih
mangkuk bubur buatannya, menyodorkan mangkuk itu ke pelukan Bayu. “Makan dulu
Bay, gue tau perut lo lagi demo. Elo udah melewatkan jam makan siang soalnya.”
Sendok yang ada di dalam mangkuk itu
masih belum beranjak dari tempatnya, masih belum disentuh oleh Bayu. Pemuda itu
hanya menatapnya ogah-ogahan. Ia malas makan. Percuma, karena ujung-ujungnya
bubur itu juga akan berakhir dengan menyedihkan di wastafel atau di toilet sebelum
dicerna dengan baik.
“Bubur itu nggak akan habis dengan
sendirinya kalau cuma lo pandangi aja.” kata Faffa dengan nada menyindir,”Ayolah
Bay, seenggaknya elo harus makan biarpun cuma satu suap. Gue udah capek-capek
berurusan dengan dapur yang jarang gue sentuh cuma untuk membuat bubur itu.
Masa elo nggak mau menghargai kerja keras gue sih? Atau elo mau gue suapin?”
Bayu mengalihkan pandangannya kearah
Faffa, gadis modis yang selalu memperhatikan dengan detil penampilannya itu
kini berubah tiga ratus enam puluh derajat. Rambut indahnya yang biasanya
selalu digerai kini terlihat dikuncir asal-asalan. Make-up tipis yang biasa menghiasi wajahnya juga menghilang,
digantikan oleh gurat-gurat lelah. Ia tidak mungkin mengecewakan gadis itu,
tidak setelah semua yang telah dilakukannya.
“Nah, gitu dong.” sebuah sabit tipis
membingkai wajah Faffa ketika Bayu mulai menyantap bubur buatannya.
***
“Bay, udah sore. Gue pul—“
Lho,
Bayu mana?!
Faffa mengernyit ketika mendapati kamar
Bayu kosong, ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Tanpa komando dari
siapapun, Faffa langsung melesat menuju kolam renang yang ada di taman
belakang. Tempat favorit Bayu untuk menghabiskan waktu luangnya.
“Bay,”
Bayu menoleh kearah sang pemilik suara, kemudian
mengembangkan senyum kecil. Pandangannya dialihkan kearah spot kosong yang ada di sebelahnya, memberi isyarat pada Faffa
untuk duduk di sana. Menemaninya menghabiskan senja.
Faffa melangkah ogah-ogahan dan mulai duduk di sebelah Bayu, niat awalnya
mendatangi Bayu bukan untuk menemani pemuda itu menghabiskan senja. Melainkan
untuk berpamitan. Malam hampir tiba, Bunda pasti cemas saat pulang dari kantor
dan mendapati putri semata wayangnya tidak ada di rumah. Meski Bunda akan
mengerti dengan keterlambatannya, tetapi ia tidak terbiasa pulang malam. Malam
hari sama menakutkannya dengan terkurung di dalam kandang berisi puluhan ekor
singa lapar yang siap menerkam. Setidaknya untuknya.
“Bay,”
Faffa mengalihkan pandangannya kearah Bayu yang masih tampak pucat,”Gue mau
pulang, ini udah sore. Gue takut Bunda cemas, lagipula elo tau kan kalau gue
nggak terbiasa pulang malam?”
“Jangan
pulang sekarang, Fa. Please...” pinta
Bayu,”Bunda bisa bertemu dengan lo kapan pun saat lo atau Bunda lo mau, tapi
gue... gue belum tentu bisa melihat lo kapan pun gue mau, Fa.”
Faffa
mengernyit saat menyadari keanehan ucapan Bayu. Tapi ia tidak bisa protes, hati
kecilnya berbisik kalau Bayu lebih membutuhkan kehadirannya dibandingkan dengan
Bunda. Akhirnya ia memilih untuk tetap berada di sisi Bayu, kemudian
memberanikan diri untuk menyandarkan kepalanya di bahu kiri Bayu. Dadanya
langsung bergemuruh, seperti diterjang ombak.
“Bay,”
“Ya?”
“Ucapan
gadis-gadis gila yang di sekolah tadi itu benar ya?” bisik Faffa,”Kemarin elo
jalan sama Angel?”
Faffa
bisa melihat Bayu mengangguk pelan dari sudut matanya,”Angel yang ngajak, dan
elo tau kalau gue
paling nggak bisa mengecewakan orang lain?”
“Terus
gelang itu?” lanjut Faffa.
“Angel
yang minta, dia udah jatuh cinta pada pandangan pertama sama gelang itu dan keukeuh nggak mau pulang tanpa gelang
itu. Gue terpaksa beliin buat dia supaya dia mau pulang.”
“Dan
sebelumnya elo juga jalan sama Kanaya kan?”
“Itu
juga dia yang ngajak.” Bayu mendengus pelan,”Dia minta ditemani beli beberapa
novel di toko buku.”
“Elo
juga pul—“
“Itu
karena motor Dinda masuk bengkel dan dia bilang nggak punya tebengan lain
selain gue.” Bayu langsung memotong pertanyaan Faffa, mengabaikan tatapan tajam
sang sahabat.
“Omong
kosong, itu cuma alasan dia supaya bisa pulang sama lo terus. Kemarin gue liat
dia lagi jalan sama temennya, naik motor.” Faffa menggertakan giginya,”Bay,
kenapa sih elo selalu bersikap baik sama mereka? Sebenarnya siapa yang elo suka
di antara mereka? Angel, Kanaya, atau Dinda?”
“Nggak
ketiga-tiganya.” jawab Bayu enteng yang langsung disambut ekspresi melongo dari
Faffa.
Faffa
menegakkan tubuhnya kembali, kemudian menatap lekat sosok Bayu yang entah
kenapa terlihat salah di matanya. “Kalau lo nggak suka ketiganya, kenapa elo
selalu nurut sama mereka? Selalu berusaha menyenangkan perasaan mereka, dan
selalu mengorbankan perasaan lo sendiri. Kalau gitu apa bedanya elo sama
pemuda-pemuda lain? Selalu memberi harapan palsu sama setiap gadis yang
mendekat. Gue nggak suka elo PHP-in mereka, Bay. Gue juga seorang gadis, gue
sangat mengerti perasaan mereka yang elo PHP-in. Karena gue juga sering di
PHP-in, Bay. Dan rasanya itu nggak enak banget. Kalau memang beneran suka,
nyatakan. Kalau enggak, berhenti untuk terus memberi harapan palsu.”
“Gue
hanya ingin berbuat baik sebelum malaikat pencabut nyawa datang dan mengajak
gue pergi ke dunia lain, itu aja Fa. A
simple desire from me.” Bayu mendesah, lebih memilih untuk menatap dasar
kolam renang yang terlihat tenang daripada menatap Faffa yang saat ini pasti
sedang memasang tatapan menusuk,”Gue nggak akan pernah bisa membalas perasaan
mereka, sekalipun gue suka ketiga-tiganya. Nggak akan pernah bisa, Fa. Hidup
gue ng—“
“Stop it, Bay. Jangan pernah bicara
tentang kematian lagi, karena lo nggak akan pernah menghadapinya! Vertigo itu
bukan kanker yang bisa merenggut nyawa lo, gue nggak pernah dengar ataupun
melihat vertigo membunuh penderitanya.” dada Faffa naik-turun dengan cepat
karena menahan emosi,” Jangan jadikan penyakit itu sebagai alasan untuk menyakiti
para gadis, gue nggak suka Bay! Nggak suka!”
Bayu
bergeming, bukan karena tidak siap untuk kembali beradu argumen dengan
sahabatnya. Melainkan karena rasa sakit yang tadi sempat hilang kembali
menghampirinya, membuatnya kembali merasa menjadi orang paling menyedihkan di
dunia.
“Gue
mau pulang!”
“Fa,”
Bayu bangkit saat Faffa tiba di ambang pintu kaca, memberi isyarat pada gadis
itu untuk tetap bertahan pada posenya sekarang. Kemudian menyeret kedua kakinya
mendekati sang sahabat, berdiri beberapa sentimeter dan menatap punggung gadis
itu lekat-lekat. Sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mendaratkan kedua
telapak tangannya di pundak sang gadis dan memaksanya untuk berputar seratus
delapan puluh derajat. Menyisakan jarak satu hasta antara dirinya dan Faffa. Meski
awalnya sempat meronta, namun akhirnya Faffa luluh juga saat desahan napas Bayu
yang terdengar menyakitkan mampir di telinganya.
“Fa,”
Bayu semakin merengkuh tubuh mungilnya,”Vertigo memang nggak mematikan, tapi
enggak dengan penyakit yang sering menyerang organ hati. Kanker hati udah
membunuh banyak orang di belahan dunia ini, dan gue mungkin akan jadi salah
satu korbannya.”
Kedua
tangannya mengepal erat, kanker hati?! Sejak
kapan, Bay? Kenapa elo merahasiakan yang satu itu dari gue?! Apakah kebersamaan
kita sejak kecil belum cukup untuk membuang ketidakpercayaan lo sama gue?
Apakah semua janji itu hanya janji palsu semata?
“Sejak
kapan, Bay?” Faffa mulai terisak,”Kenapa elo merahasiakan yang satu itu dari
gue?”
“Elo
cemburu kan, Fa?” bisikan Bayu kembali menyapa gendang telinganya,”Sama mereka.
Sama Angel, Kanaya, dan Dinda?”
“Jangan
mengalihkan pembicaraan, Bay!” Faffa memberanikan diri untuk melingkarkan
lengannya ke pinggang Bayu, yang sudah beberapa tahun terakhir ini jarang—nyaris
tak pernah—dilakukannya.
“Katakan
kalau lo cemburu, Fa.”
Faffa
menggeleng keras,”Enggak, gue sama sekali nggak pernah merasa cemburu sama
mereka! Lagipula atas dasar apa gue harus cemburu? Toh hubungan kita juga hanya
sekedar sahabat, nggak lebih dari itu kan, Bay? Gue nggak punya hak untuk
merasa cemburu karena kita nggak terikat!”
Bayu
merasa sesak di dadanya semakin bertambah setelah mendengar ucapan Faffa, frekuensi
rasa sakit yang menyerang perutnya juga ikut-ikutan bertambah. Seolah mereka
bersekongkol untuk menjungkirkan sang pemilik tubuh. “Katakan, Fa. Katakan
kalau lo cemburu.”
Faffa
kembali menggeleng, kali ini bendungan di sudut matanya jebol. Membentuk dua
buah aliran sungai berarus deras. Wajahnya semakin dibenamkan ke dalam dada
Bayu, serta semakin mengeratkan dekapannya. Seolah tidak sependapat dengan
gelengannya barusan.
Bayu
juga ikut-ikutan mengeratkan dekapannya,”Ayo katakan, Fa. Katakan kalau lo
cemburu, dan katakan kalau lo juga menyimpan rasa sama gue.” Bayu menghela
napas berat,”Mau tau alasan di balik gue selalu PHP-in Angel, Kanaya, dan
Dinda? Alasannya cuma satu, Fa. Dan itu adalah elo. Elo adalah satu-satunya
alasan gue untuk melakukan semua itu. Gue ingin melihat lo cemburu, karena gue
ingin secepatnya mendengar kata suka dan cinta dari bibir lo.”
“Gue
suka sama lo, Fa!”
“Gue
cinta sama lo!”
“Gue
sayang sama lo, Fa. Tapi bukan rasa sayang sebagai sahabat, melainkan rasa
sayang seorang pemuda terhadap gadis yang dicintainya. Rasa sayang gue sebagai
sahabat lo udah berpindah haluan sejak kita masuk SMA.” Napas Bayu semakin
memburu,”Katakan kalau lo juga punya rasa yang sama, Fa!”
Bukannya
menjawab, Faffa malah semakin terisak.
“Fa,”
Bayu sedikit melonggarkan dekapannya, kemudian menyentuh ujung dagu gadis itu.
Mengangkatnya dengan lembut, memaksa hazel bulat itu bertemu dengan hazel sayu
miliknya. “Katakan Fa! Katakan!”
Seperti
ada ratusan samurai yang menancap tepat di jantung Faffa saat hazel bulatnya
bertemu dengan hazel sayu milik Bayu. Ia tak sanggup untuk berlama-lama menatap
hazel Bayu, menilik wajah tampan yang sekarang dipenuhi gurat kesakitan itu. Ia
tak sanggup, benar-benar tak sanggup. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali
membenamkan wajahnya ke dalam dada Bayu. Berada dalam posisi seperti ini terasa
jauh lebih baik jika dibandingkan dengan yang tadi.
“Gue
nggak cemburu, Bay. Gue cuma takut. Gue takut kalau lo akan jatuh hati pada
gadis lain dan mulai melupakan gue. Jujur, gue nggak suka melihat lo
dekat-dekat dengan gadis lain. Yang gue tau selama ini, Bayu adalah milik
Faffa. Sejak dulu, dan sampai kapan pun akan selalu menjadi milik Faffa. Nggak
ada yang boleh menggantikan posisi Faffa di sisi apalagi di hati Bayu! Nggak
ada! Karena.. semua yang lo paksakan ke gue itu benar, Bay. Gue suka sama lo,
gue cinta sama lo! Gue.. gue nggak sanggup untuk berpisah dengan lo.
Membayangkannya aja gue udah nggak sanggup, apalagi kalau sampai terjadi.” lirih,
pengakuan Faffa terdengar begitu lirih dari balik air matanya yang masih
mengalir.
“Gue
cemburu, Bay. Gue cemburu. Sangat.”
“Thanks, Fa.”
“Bay,”
Faffa merasa kalau dekapannya semakin memberat, desahan napas Bayu yang masih
mampir di gendang telinganya juga terdengar semakin menyakitkan. Tidak, ia
tidak mau merasakan kehilangan untuk yang kedua kalinya. Ini bukan saat yang
tepat untuk kembali merasakan kehilangan, ia tidak mau masa berkabungnya
semakin bertambah panjang. Tidak setelah ia kehilangan sang ayah bulan lalu,
dan tidak jika setelah ini ia tidak memiliki seseorang untuk menghibur dan
mengembalikan semangat hidupnya lagi.
0 Commentary
Review please.. :)