Happy Birthday, Dear My Friend!

Fa // Selasa, 25 Maret 2014


“Hai guys!”

Aya, Kayla, Raka, dan Ray yang semula sedang asyik bergerumul dan mendiskusikan sesuatu langsung membubarkan diri dan sibuk dengan aktivitas masing-masing begitu sosok Kinan yang sedang melangkah mendekat tertangkap oleh indra penglihatan mereka. Bersikap seolah-olah tak terjadi apa pun di antara mereka, membiarkan sang sahabat tenggelam dalam kebimbangan dan keingintahuan yang mendalam.

“Kalian lagi ngobrolin apa sih? Asyik banget kayaknya.” Kinan langsung mengambil posisi di sebelah Aya dan mulai mencomoti bekal milik gadis keturunan Jepang itu.

“Biasa, Bu Endang dan tugasnya yang seabrek.” sahut Raka sebelum menyeruput jus jeruk pesanannya.

Mom Dahlia dan ocehannya yang sepanjang jalan kenangan.” timpal Ray sambil mengaduk asal iced lemon tea yang ada di hadapannya.

“Bu Sarah dan hobi menginspeksinya yang kelewatan.” tambah Aya sambil melempar tatapan tajam kearah Kinan yang masih asyik mencomoti bekalnya, memberi isyarat untuk tidak menghabiskan isi kotak bekalnya.

“Dan.. dan Pak Hanif yang aura charming-nya berhasil memikat ratusan pasang mata kaum hawa di sekolah ini.” kalimat Kayla menjadi penutup pertanyaan yang dilontarkan Kinan.

Kinan tersenyum miring, ternyata mereka lagi menggosipkan para guru. Gue kira lagi menyusun rencana jahil untuk kasih surprise seperti tahun kemarin. Mungkin nggak ya mereka lupa ini hari apa?

“Kenapa Nan, ada sesuatu yang mau elo bicarakan?” pertanyaan Raka langsung menarik Kinan kembali ke dunia nyata dan meninggalkan dunia lamunan.

Ray bisa melihat Kinan menggeleng pelan dari sudut matanya,”Lagi ada masalah, Nan?”

Kinan kembali menggeleng untuk yang kedua kalinya. Ia merasa agak kecewa dan menyesal karena telah mengikuti kata hatinya yang kali ini salah besar. Tahu begini, lebih baik ia memilih untuk diam di kelas dan mengerjakan soal-soal simulasi ujian nasional matematika. Atau bergosip dengan teman sebangkunya mengenai guru pembimbing pendalaman materi geografi mereka yang ganteng dan charming-nya melebihi Pak Hanif.

“Nan?” panggil Aya.

“Ya?”

“Elo nggak lagi sakit, kan?” lanjut Aya.

Sebuah senyum yang dipaksakan terlukis di wajah cantiknya,”Enggak kok.”

“Kalau enggak, kenapa kamu dari tadi diam aja? Kayak bukan Kinan yang udah kita kenal dua tahun terakhir ini. Padahal tadi waktu kamu menyapa kita ceria banget kayaknya, kenapa sekarang malah kayak gini?” pertanyaan Kayla sukses membuat Kinan tertohok dan semakin terpojok. Membuat gadis cantik yang biasanya hobi berargumen itu semakin bungkam.

“Gue.. sorry, gue balik ke kelas duluan. Gue lupa kalau belum mengerjakan tugas geo yang dikasih Pak Hadi.” Kinan bangkit dari duduknya, memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat, dan melangkah dengan lesu meninggalkan area kantin.

“Aku nggak tega melihat Kinan kayak gitu.” protes Kayla ketika punggung Kinan sudah tak tertangkap indra penglihatannya lagi.

“Ayolah, Kay. Bukankah kita udah sepakat untuk menjalankan skenario ini? Kita udah sukses buat Kinan kecewa karena nggak ada satu pun dari kita yang memberi ucapan happy birthday sejak pagi, jangan buat skenario yang udah kita susun dan kita sepakati kemarin jadi hancur berantakan.” balas Ray dengan nada tak santai.

“Tapi kita belum melakukan rencana terakhir, kalau ternyata nanti Kinan ngambek atau marah gimana?” Aya yang semula oke-oke saja untuk mengikuti skenario ini mulai memikirkan dampak negatif yang akan terjadi jika skenario ini tetap dijalankan hingga kalimat terakhir,”Kinan kalau ngambek kan parah, bisa sampai berhari-hari. Mana tahan gue kena ambekannya Kinan kalau sampai berhari-hari.”

Raka menghela napas panjang,”Lihat ke depannya aja deh gimana, urusan Kinan ngambek atau enggak itu belakangan. Gue nggak yakin kalau Kinan bakal ngambek, dia pasti nggak bakal tahan untuk menjauh dari keempat manusia ajaib kayak kita yang udah sukses menumpahkan warna di lembar kehidupannya. Lagipula.. skenarionya cuma tinggal dua scene lagi kan? Sabarin aja.”

“Weits, puitis banget mas. Baru abis berguru sama Miss El ya makanya bisa menyusun kata-kata kayak barusan?” Ray melingkarkan sebelah lengannya ke leher Raka,”Tapi tumben elo seiya-sekata sama gue, lagi kesambet apa Ka?”

“Gue nggak lagi kesambet apa pun, cuma mau kasih kenangan tak terlupakan di tahun terakhir kita.” jawab Raka sekenanya,”Kan lumayan untuk nostalgi(l)a waktu reunian lima tahun mendatang.”

“Terserah lo aja deh, Ka.” balas Aya, Kayla, dan Ray kompak.

“Eh, tapi nanti jadi kan?” tanya Ray.

Raka mengangguk.
***
Seorang gadis berwajah oriental duduk di kursi kosong yang ada di sebelah Kinan, mengamati gerak-gerik teman sebangkunya yang saat ini sedang asyik mencoreti binder note miliknya. Sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bertanya,”Udah dicari dengan teliti belum, Nan?”

Mau tak mau Kinan yang sedang asyik pada aktivitas statisnya saat sedang ngambek menengadah dan mendelik singkat kearah sang pemilik suara, kemudian kembali melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda.

“Kalau gue udah cari dengan teliti udah pasti akan langsung ketemu dan gue nggak akan buat pengumuman di depan kelas sembari narik urat kayak tadi, Vi.” jawabnya singkat tanpa mengalihkan wajah sedikit pun kearah lawan bicaranya, Via.

“Gimana kalau elo ke ruang wakil dan buat pengumuman di speaker sekolah?” usul Via.

“Dodol! Yang ada gue malah akan diceramahi penghuni ruang wakil karena udah dianggap nggak becus untuk menjaga barang berharga milik gue sendiri, terus nanti ujung-ujungnya Bu Sarah manggil si Putra dan mengoceh seenak jidat tentang masalah ini. Intinya, satu kelas akan turun pamor di mata para guru.” tolak Kinan.

“Ya terus mau gimana lagi, Nan? Itu kan berharga banget buat elo.”

“Tunggu sampai si maling mau mengaku.”

“Nggak semudah itu, Nan. Mana ada sih maling yang mau mengaku? Lagipula nih ya, pelakunya itu pasti bukan dari kelas kita. Kan tadi elo liat sendiri sewaktu Miss Arini nyuruh kita untuk ke ruang ELMO, anak-anak juga langsung naik. Dan Miss Arini juga mengikuti dari belakang kan? Itu artinya impossible banget untuk membuka apalagi sampai mengutak-atik tas lo. Terus nih ya kalau memang tablet lo beneran dicuri, kenapa hanya tablet lo aja? Kenapa si pelaku juga nggak ngambil tablet Andreas, handphone Sisil, dan laptop Chacha? Ada kemungkinan kalau bukan diambil, tapi disembunyiin.”

“Siang anak-anak.” suara bass Pak Hadi bergema dari ujung pintu bersamaan dengan kalimat terakhir Via yang langsung membuat gadis itu kembali ke tempat duduknya semula,”Maaf Bapak terlambat, karena tadi ada tamu. Oh iya, kumpulkan tugas yang Bapak berikan dua hari yang lalu. Kita koreksi bersama tugas itu, kemudian baru kalian lanjutkan untuk mengerjakan tryout 2 di buku Detik-Detik Ujian Nasional kalian.”

Disembunyiin? Tapi sama siapa? Siapa yang berani nyembunyiin?

Tiga kalimat tanya singkat itu masih terus setia mengendap di benak Kinan selama pelajaran geografi berlangsung, membuat fokusnya berantakan dan membuatnya mendapatkan bukti kasih sayang dari Pak Hadi berupa maju ke depan untuk mengerjakan soal pembagian iklim menurut Schmidt Fergusson. Untung saja ia hapal rumusnya, kalau tidak mungkin Pak Hadi akan menambah bukti kasih sayangnya. Dan akan mengurangi poin tambahan yang telah susah payah ia kumpulkan di semester genap ini. And.. thats sounds bad!
***
 “Enggak ada!” jerit Kinan frustasi sembari menggebrak meja yang ada di hadapannya, kemudian langsung menjatuhkan dirinya begitu saja di lantai kelas. Menenggelamkan wajahnya ke dalam lutut yang telah ia tekuk sedemikian rupa. Beruntung karena saat ini kelas telah sepi karena bel pulang baru saja berbunyi setengah jam yang lalu, sehingga ia terbebas dari ocehan sana-sini para petinggi kelas.

“Kenapa Nan?”

Mau tak mau Kinan langsung menengadah dan mendelik kearah Aya yang entah sejak kapan telah berdiri di hadapannya. “Tablet gue, ada yang nyembunyiin.”

Aya memutar hazel kembarnya dengan cepat. Tuhkan, belum tau pelakunya aja Kinan udah mendelik-mendelik kayak macan yang kehilangan anaknya. Apalagi kalau udah tau pelakunya? Ah, terlalu menakutkan untuk dibayangkan.

“Udah dicari dengan teliti, Nan?”

Tatapan Kinan semakin tajam, mungkin bisa dipakai untuk mengiris Tenderloin Steak saking tajamnya. “Dua kali! Gue udah cari dengan teliti sebanyak dua kali, tapi belum ketemu juga. Mungkin Via bener, yang nyembunyiin tablet gue itu anak kelas lain.”

Ucapan Kinan sukses membuat Aya menundukkan wajah, merasa ciut menghadapi gadis Jawa-Sunda yang saat ini menjadi lawan bicaranya. Sahabatnya yang satu itu adalah tipe orang yang sudah kebal terhadap suatu kebohongan akibat masalah internal yang membelenggu keluarganya, menjadikannya seorang gadis yang peka terhadap masalah bohong-membohongi.

Melihat gestur perubahan tubuh dan mimik Aya membuat Kinan bisa mengulas senyum tipis setelah seharian penuh seperti lupa bagaimana caranya untuk tersenyum, seperti menemukan kubangan air jernih di tengah padang pasir. Ia telah menemukan benang berah, dan ia telah berhasil menyatukan kepingan-kepingan puzzle yang semula berserakan di dalam benaknya. Tanpa menunggu komando dari siapa pun lagi, Kinan mulai bangkit dari duduknya. “Gue mau tanya sesuatu sama lo¸ tapi lo harus jawab dengan jujur.”

Kinan bisa melihat dari sudut matanya kalau Aya mengangguk sekilas,”Yang nyembunyiin tablet gue itu kalian kan? Maksud gue Confeito?”

Aya memutar hazel kembarnya dengan cepat, untuk yang kedua kalinya di dalam ruangan ini. Bingo! Macannya udah masuk ke dalam perangkap!

Skenario Raka hebat, pikir Aya. Pemuda atletis itu mampu menyusun skenario yang ketepatannya hampir mendekati seratus persen. Mulai dari suasana, dialog, bahkan sampai gestur Kinan yang ada di dalam skenario pun semuanya hampir mendekati situasi yang saat ini sedang terjadi. Dan kini saatnya ia untuk menjalankan peran,”Apaan sih, Nan. Kok elo malah nuduh kita sih? Lha, gue aja baru tau kalau tablet lo ada yang nyembunyiin. Apalagi anak Confeito lain. Jangan asal tuduh dong Nan, kalau elo nggak punya bukti yang kuat. Itu namanya fitnah tau! Kecewa gue sama lo!”

Helaan napas lega dihembuskan Aya beberapa kali setelah menjalankan perannya dan langsung melangkah keluar ruangan, meninggalkan Kinan yang masih terpaku di tempat. Mungkin gadis itu masih syok akibat perubahan cara dan nada bicaranya yang drastis.

“Kenapa sih hari ini Tuhan jahat banget sama gue? Terus kenapa juga Dewi Fortuna seakan ikut bersekutu dengan Tuhan? Membuat gue semakin merasa menjadi orang paling sengsara seharian penuh ini. Tablet belum ketemu, yang nyembunyiin belum mau mengaku, Aya marah, anak-anak Confeito nggak ada yang keliatan batang hidungnya—terutama Raka. Abis ini apalagi coba?!” Kinan kembali terduduk, dan kembali memeluk kedua lututnya. Kali ini dengan disertai butiran-butiran bening yang mulai meluncur bebas dari hazel kembarnya. Hasil dari luapan emosi sedari pagi.

“Maaf, Nan.”

Kinan terhenyak saat tubuh atletis yang ada di hadapannya memeluknya secara mendadak, membuatnya mau tak mau membalas pelukan itu. “Elo jahat, Ka. Yang lain juga jahat. Kenapa saat gue butuh nggak ada satu pun dari kalian yang muncul? Kenapa cuma Aya yang muncul? Itu pun cuma sebentar dan langsung pergi entah kemana sehabis marah-marah sama gue. Kenapa, Ka? Kenapa?”

Raka melonggarkan pelukannya, kemudian tersenyum jahil. “Karena memang gue dan anak Confeito yang menginginkannya.”

“Kenapa?”

“Karena kita mau kasih kejutan tak terlupakan.” sahut Ray yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, kemudian disusul Kayla dan Aya yang membawa Black Forest ukuran medium sembari menyanyikan lagu happy birthday.

“Terus tablet gue, kalian yang nyembunyiin kan?”

Bukannya menjawab, keempat sahabatnya malah tersenyum. Senyum misterius yang semakin menimbulkan banyak tanda tanya. Terlebih Ray, pemuda bercakamata itu malah mengeluarkan paper bag bertuliskan ‘gue paling ganteng’ dari dalam ranselnya. Paper bag yang disinyalir seantero sekolah buatan sendiri, karena tulisannya yang absurd dan tidak mungkin dijual di pasaran. “Nih, kado dari gue. Buruan buka gih, keburu kadaluarsa nanti.”

“Kadaluarsa? Memangnya elo kasih gue makanan?”

“Udah deh, nggak usah banyak cingcong. Buka aja.”

Tubuh Kinan mendadak kaku ketika membuka isi paper bag dari Ray, sebuah benda khas yang sudah sangat ia kenali tertangkap indra penglihatannya. Tablet miliknya. Ekspresi berubah tiga ratus enam puluh derajat.

“Tuh kan, bener kan dugaan gue!” Kinan merengut,”Aah, kalian nyebelin! Elo pasti dalangnya kan, Ray!” telunjuknya mengacung tepat ke depan wajah Ray.

Ray terkekeh,”Sorry, Nan. You’re wrong, dalangnya bukan gue. Tapi Raka.”

“Raka.. kok tega sih sama gue?!”

“Itu majas pleonasme kan? Udah jelas, gue nggak perlu jawab.” elak Raka.

“Majas, majas, materi tentang majas itu udah lewat dua bulan yang lalu! Dan kalimat lo sama sekali bukan majas pleonasme, karena nggak mengandung kata kayak ‘turun ke bawah, naik ke atas, maju ke depan, dan mundur ke belakang’.” pipi Kinan yang semula datar mendadak menggembung selama beberapa menit, sebagai tanda protes akibat ulah keempat manusia absurb yang ada di sekitarnya. “Gue nggak terima! Pokoknya sweet seventeen lo harus lebih parah dari sweet seventeen gue! Titik, nggak pake koma!” jari telunjuknya diacungkan tepat di depan wajah Raka.

“Ya,ya, ya. Whatever lah. Toh balas dendam lo nggak akan pernah terkabul, karena kita semua pasti lagi pada sibuk buat daftar ulang di PTN.” Kinan membalas kalimat Raka dengan jotosan ringan ke pundak pemuda berdada bidang itu.

“Oi, oi, oi. Jangan asyik sendiri kenapa?” protes Aya yang merasa diacuhkan, diikuti anggukan setuju dari Kayla.

“Iya nih, kalian kayak dua sejoli yang lali dimabuk cinta aja. Serasa dunia milik berdua, yang lainnya pada kos. Nan, tiup dong lilinnya. Nanti keburu meleleh.” sahut Kayla sembari menyodorkan Black Forest yang ada di dalam dekapannya.

Tanpa menunggu komando dari siapa pun, Kinan langsung meniup tujuh belas lilin yang melingkari Black Forest. Thanks God, for givin’ me bestfriend like them.

0 Commentary

Review please.. :)