Always be Friend

Fa // Sabtu, 25 Januari 2014

I love you, you love her. We’re never together...
We’re always be friend, until the end

***

“Kenapa nggak coba untuk mengungkapkannya aja, Shan?”

Shania yang sedang asyik berkencan dengan soal matriks dari buku cetak mau tak mau harus menengadah, menatap mata bulat sang sahabat. Satu dengusan napas panjang meluncur dengan lancar dari indra penciumannya, menyangsikan usul sang sahabat.

Praktek itu tidak semudah teorinya.

Butuh bukti?

Oh, seorang Shania Luthfika sudah membuktikannya berkali-kali. Ralat, ratusan kali. Atau mungkin ribuan kali? Entahlah, ia sama sekali tak ingat. Yang jelas, teori yang entah berasal darimana itu memang sudah terbukti kebenarannya. Praktek itu tidak semudah teorinya. Mengungkapkan rasa pada seseorang itu tidak semudah kelihatannya, tidak semudah membalikkan telapak tangan, dan tidak semudah makan roti. Ketika akan mengungkapkan rasa pada si Dia, pasti hal-hal yang tidak diinginkan selalu saja mencuat ke permukaan. Entah itu rasa gugupnya yang kelewat mengganggulah, entitas tak diundang yang tiba-tiba misuh-misuh tidak jelas pada si Dialah, bahkan sampai kultum gratis dari Pak Arya selaku guru agama islam yang bersabda bahwa berduaan antara anak Adam dan anak Hawa itu hukumnya haram dan bisa mengundang setan untuk ikut bergabung.

Berarti setannya itu bapak, dong?

Itulah kalimat pertama yang mengapung di benaknya ketika ia menangkap intisari kultum gratis dari Pak Arya. Mungkin iya, mungkin tidak. Entahlah, ia sedang tidak ingin membahas faktor-faktor pendorong yang menyebabkan misinya berakhir di jurang kegagalan.

Hani mengaduh pelan ketika sebuah pulpen gel mampir mendadak dan tepat mengenai tangannya yang telah disilangkan sedemikian rupa guna melindungi wajahnya dari lemparan benda-benda yang tidak diinginkan. Ia sudah khatam kalau sahabatnya akan berubah menjadi gadis galak yang hobi melempar benda serampangan jika sudah menyangkut topik macam yang satu ini.

“I’ll try! Don’t you forget how much I try it?!” Shania mendelik,”Tapi hasilnya selalu sama, selalu berakhir di jurang kegagalan, dan selalu membuat gue makin gemas sama misi yang satu itu! Praktek itu nggak semudah teorinya tau! Seenggaknya buat gue.”

“Dan takdir selalu nggak adil sama lo.” tambah Hani,”Ratusan kali elo mencoba dan ratusan kali pula elo gagal, mau sampai kapan begini terus? Kita udah kelas dua belas lho, beberapa bulan lagi kita UN dan out dari SMA ini. Kemungkinan lo untuk mengungkapkan rasa itu juga semakin bertambah kecil di saat udah nggak satu sekolah, apalagi satu kelas. Last chance kayak gini harus elo manfaatin sebaik-baiknya. You must show your feeling before he had a relationship with other girl, mumpung dia masih jomblo dan belum jadi milik siapa-siapa.”

“Nggak! Dia nggak akan jadi milik siapa-siapa! Nih ya, kata pepatah itu Dia masih bebas sebelum janur kuning melengkung. And you see? Belum ada janur kuning yang melengkung tuh di rumahnya.” balas Shania sarkas, ia tidak rela kalau kalimat terakhir Hani menjadi kenyataan. Bisa labil dan galau mendadak kalau kalimat itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja sudah bisa membuat hatinya mendidih.

So?”

So?” ulang Shania,”Elo laper? Mau somay? Sana gih beli di kantinnya Mang Ale sebelum kehabisan, mumpung Bu Mega nggak masuk dan nggak ada guru yang biasanya duduk manis di meja piket deket kantin. Anak-anak juga banyak yang bolak-balik ke kantin buat beli cemilan kok, sama sekali nggak menganggap CCTV yang berkeliaran di seluruh koridor. Tuh, Ajeng sama Gendis baru balik dari kantin.”
Hani memajukan kurvanya sebagai tanda protes, merasa tak terima dengan kalimat yang meluncur dari sahabat semata wayangnya. Ternyata belajar terlalu banyak dan terlalu lama itu efeknya nggak baik untuk otak, batinnya bersenandung.

Butuh bukti?

Shanialah buktinya, otak gadis itu mungkin sudah jungkir balik akibat terlalu lama berkencan dengan buku cetak matematika dan soal matriks. Padahal pertanyaan singkat, padat, dan jelas miliknya sama sekali tak menjurus kearah somay apalagi sampai mengaitkan Mang Ale selaku penjual somay termaknyus di seantero sekolah. Tapi entah kenapa dan entah karena angin apa, Shania malah meluncurkan kalimat asal seperti itu. Mungkin salah satu penyebabnya adalah karena terlalu banyak dan terlalu lama belajar serta berkencan dengan buku, terutama matematika.

“Astaganagabonarjadidua! Shan, it’s not about somay and Mang Ale. It’s about your future, your relationship with him! Hubungan lo sama si Dia itu complicated banget, udah kayak lagunya Duo Maia waktu masih jaya yang judulnya Teman Tapi Mesra.”

So? What do you want? Mau maksa gue untuk mengungkapkannya lagi sama Dia? Dia kan nggak masuk hari ini, elo nggak amnesia mendadak kan? Padahal sekelas juga!” Shania menaikkan sebelah alisnya.

Absolutely yes! I know, gue nggak amnesia mendadak seperti yang lo bilang! Hanya mau memastikan kalau kali ini elo nggak mangkir lagi dari misi yang kelihatannya impossible banget buat lo lakuin itu.” terdengar nada sangsi di dalam kalimat Hani.

“Mangkir? Do you think that I will doing that?! Elo pikir gue petinggi negara yang hobi mangkir dari rapat kerja apa? Actually I’m not them, I’m Shania Luthfika and Shania Luthfika never deny her promise.” sambar Shania dengan penuh percaya diri.

“Yeah, you better should! I keep your word!” balas Hani dengan nada sedikit meremehkan,”And wait your result of that mission.”

“Let’s see.”

***

“Dia nggak akan pergi kemana pun kok, Shan. Nggak usah diawasi sampai segitunya. Dia masih asyik berkencan sama Iphonenya, juga sama bakso Mang Diman plus iced lemon tea Tante Ana.”

Seseorang mengagetkannya. Dan ketika wajahnya ditolehkan sekilas kearah sang pemilik suara, wajah manis dengan poni khas milik Hani terpampang dengan jelas di hadapannya. Lengkap dengan nampan berisi jus jeruk dan semangkuk mie ayam spesial Mas Purwo dalam genggaman gadis itu. Ia mendengus pelan sebagai balasan kalimat Hani ketika sahabatnya itu mengambil posisi tepat di sebelahnya.

“Nggak berniat angkat nampan dan menghampiri, eh? Dia sendirian tuh, nggak ada dayang-dayang yang biasa menguntit.” tanya Hani sesaat sebelum menyesap jus jeruknya.

I know, elo nggak punya nyali untuk menyapa. Apalagi menghampiri.” lanjut Hani,”Jadi.. ceritanya kena karma nih? Nggak bisa membuktikan ucapan diri sendiri?”

“Could you shut your mouth up, please?” sahut Shania dengan nada ketus,”Gue nggak mau satu kantin mendengar obrolan-kita-yang-haram-didengar-orang-lain-ini.”

“Why?” sebuah ide jahil melintas di benak Hani,”Gengsi ya kalau ada orang lain yang tau aib si Cutest Senior ternyata masih betah menjomblo cuma karena dirinya semata.”

Tertohok!

Hani sukses membuat kedua pipi sahabatnya bersemu merah jambu akibat menahan malu—mungkin. Menggoda dan menjahili Shania dengan mengatasnamakan si Dia memang terasa menyenangkan, apalagi kalau berakhir dengan ekspresi cemberut atau rona merah jambu yang terlukis di wajah Shania. Bisa menimbulkan gejala ketagihan dan kecanduan yang terkadang sulit untuk dikontrol. Membuatnya ingin melakukan berulang kali. Dan sahabat semata wayangnya itu kali ini benar-benar tertohok, bungkam, dan diam seribu bahasa. Lebih memilih menghabiskan nasi goreng dan teh assam pesanannya daripada menggubris kalimat jahil milik Hani.

“Nanti gue akan kasih kejutan terindah di lab komputer, semoga elo suka ya!” bisik Hani sesaat sebelum ia bangkit dan mengeluyur entah kemana,”Gue duluan, mau adu gombal sama Ridwan.”

Enak ya yang udah punya tambatan hati, bisik hati kecilnya ketika sosok Hani telah hilang dari indra penglihatannya. Tapi.. maksud ucapannya Hani itu apa ya? Kejutan? Kejutan macam apa yang bakal dikasih sama dia? Mungkinkah...

***

Tubuh Shania mendadak kaku ketika menoleh ke orang yang duduk di meja komputer sebelah kanannya, si Dia. Kepingan puzzle yang semula berserakan di benaknya kini mulai mendekat, berkumpul, membentuk satu-kesatuan utuh yang langsung menjawab pertanyaan batinnya saat jam istirahat pertama. Ah.. kejutan manis yang membuat hati semakin miris. Manis, ketika tahu si Dia berada dalam jarak yang sangat dekat. Miris, ketika ingat bahwa tak ada benang merah yang terkait antara dirinya dan si Dia.

How about the surprise?
Do you like it? Enjoy your time with him. ;)
P.S : Wanna try the mission now? ;p

Shania melirik layar Iphonenya saat merasakan getar di saku kemejanya. Satu pesan singkat dari Hani. Gadis itu menyuruhnya untuk melakukan misi itu sekarang. Tapi ia belum siap, belum siap untuk semuanya. Belum siap untuk menyatakan perasaan pada si Dia, belum siap akan komentar puluhan pasang mata yang ada di laboratorium komputer ini, dan belum siap akan ocehan Pak Dani karena telah sukses mengacau di kelasnya kali ini.
Setelah menghela napas beberapa kali dan memantapkan hati, akhirnya Shania memberanikan diri untuk menyapa pujaan hatinya. Berusaha berbasa-basi ria agar tidak ketahuan kalau sebenarnya ia sedang gugup luar biasa.
“Yud,”
“Apa?”
Shania memejamkan kedua matanya, merutuki kebodohannya sendiri. Sapaan macam apa barusan itu? Terdengar sangat standar dan tak ada istimewa-istimewanya untuk menyapa orang paling istimewa.
“Ada apa, Shan?”
“Mmm...” beberapa kali Shania melirik Pak Dani yang sedang asyik menjelaskan macam-macam tools beserta kegunaan yang ada dalam aplikasi Corel Draw dari layar proyektor yang terpampang di depan kelas, berusaha mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan isi hatinya agar tak ketahuan sedang mengobrol saat Pak Dani sedang menjelaskan materi. Kalau sampai ketahuan, ia akan berakhir dengan satu jam detensi menjelaskan materi ini di akhir jam pulang sekolah tanpa bantuan apapun dan siapapun.
“Sepertinya ada yang lupa dengan peraturan di kelas saya.”
Suara bass Pak Dani yang menggema ke seantero ruangan mengagetkannya, membuat nyalinya mendadak ciut. Kedua matanya dipejamkan untuk yang kedua kali, sembari berdoa dalam hati semoga kali ini Pak Dani tak akan memberinya detensi. Meskipun peluangnya hanya sebesar nol koma nol satu persen saja, tapi apa salahnya mencoba?
“Tapi karena hal itu tak terlalu mengganggu, maka kali ini saya tidak akan memberi detensi. Tapi kalau suara itu sampai lagi ke telinga saya, maka saya akan memberi detensi yang lebih berat dari sebelumnya. Kalian mengerti?”
“Mengerti Pak..” koor satu kelas kompak.
Ada sesuatu yang mau elo bicarakan dengan gue?
Shania menatap secarik kertas berisi tulisan tangan yang telah ia kenal, bahkan sampai hapal di luar kepala. Kemudian menoleh sesaat ke orang yang duduk di sebelah kanannya, mendapati sebuah garis lengkung tipis yang terbingkai di wajah tampan itu.
Absolutely yes, but.. I think it’s not the right time to having conversation with you. Maybe later.
Shania menyodorkan kertas itu pada pemiliknya, kemudian kembali fokus pada tugas yang diberikan Pak Dani.
“Enjoy your time with him,” dengus Shania saat melangkah menuju kelasnya,”gue bahkan belum sempat menikmati waktu singkat itu gara-gara peraturan konyolnya Pak Dani. Dan ini semua salah lo, elo yang nyuruh gue untuk mencoba misi itu di tengah pelajaran TIK. Dan hasilnya apa? Gue gagal! Untuk yang ke sekian ratus kalinya.”
“Gue kan cuma ingin membantu mewujudkan impian terbesar lo, itu aja. Kenapa elo nyalahin gue sih?” dengus Hani sembari menyisir helai-helai coklatnya yang berantakan.
“Oke,” Shania  menghentikan langkahnya tepat di depan kelas mereka,”kita sama-sama salah di sini. Karena nggak melihat situasi dan kondisi yang tepat. Tapi tolong berhenti membantu gue dalam misi ini, gue ingin melaksanakan misi ini sendirian. Tanpa bantuan orang lain, termasuk elo ataupun yang lainnya. Bahkan Dewi Fortuna sekalipun.”
“Dasar keras kepala!” bisik Hani ketika punggung Shania mulai menjauhinya,”Let’s see, elo bisa menyelesaikan misi itu sendiri atau enggak. Dan gue sangat, sangat, sangat menyangsikan kemampuan lo untuk menyelesaikan misi ini sendirian.”
***
“Hai, katanya ada yang mau elo bicarakan sama gue.”
Shania menoleh kearah sang pemilik suara dan mendapati wajah tampan itu untuk yang ke sekian kalinya hari ini. Membuat jantungnya bermaraton ria keliling lapangan basket sekolah, dan membuat hatinya meleleh akibat efek senyumannya yang menyilaukan kaum hawa.
“Jadi.. apa?”
“Hah, apanya yang apa?”
“Waktu di laboratorium komputer kemarin, secarik kertas, dan dua kalimat pendek itu. Elo nggak lupa kan? Apa perlu gue tunjukkin secarik kertas itu untuk kembali mengingatkan lo? Gue masih simpan kertasnya kok.”
Eh?
Ternyata dia masih menagih janji gue kemarin, hatinya berbisik. Dan.. dia masih menyimpan kertas itu? Seriously?!
“Shan, are you still alive?” sebuah telapak tangan mampir dan naik-turun tepat di depan wajahnya.
“Eh, i-iya, Yud.”
“Jadi?”
“Jadi..” Shania menggigit bagian bawah bibirnya,”gue boleh cerita sesuatu sama lo?”
Yudha yang duduk di sampingnya mengangguk, tanda setuju.
“Ini cerita tentang seorang gadis populer bernama Aku yang mencintai pemuda bernama Kamu, Kamu tak kalah populernya dari Aku. Sejak pertama kali saling pandang saat dinobatkan sebagai Miss dan Mas dalam acara MOS sekolahnya, Aku sudah merasakan getar aneh dalam dadanya setiap kali bertemu pandang dengan Kamu. Awalnya Aku sama sekali nggak tahu tentang getar aneh yang selama ini bersemayam dalam dadanya, hingga akhirnya Aku tahu bahwa getar aneh itu bernama cinta. Ya, Aku jatuh cinta pada Kamu. Tapi.. kisah cinta Aku nggak berjalan sebagaimana mestinya, nggak seindah kisah roman picisan remaja lainnya, dan nggak semanis lolipop yang sering ia kulum di akhir pekan. Setiap kali Aku akan mengungkapkan isi hatinya pada Kamu, selalu saja ada kejadian ajaib dan tak terduga yang menginterupsi. Hingga Aku jadi kesal sendiri. Tapi Aku belum menyerah, sampai sekarang ia masih terus berusaha untuk mengungkapkan isi hatinya pada Kamu. Dan berharap Kamu akan membalas isi hati itu suatu hari.”
Yudha tertegun, ia sudah menangkap maksud Shania dengan menceritakan hal ini. Tapi... yang menjadi permaisuri hatinya kini bukanlah Shania lagi, melainkan seorang gadis sederhana dengan jarak satu dinding saja dari kelasnya. Ia memang pernah memiliki rasa pada gadis yang ada di sampingnya, tapi itu dulu. Sebelum menyadari bahwa ia tak pantas bersanding dengan Shania karena sesuatu hal.
“Yudha..” Shania memejamkan kedua matanya,”gue.. gue suka sama—“
“lo.” lirih Shania ketika sosok Yudha mendadak lenyap dari sisinya.
***
Kejam!
Batin Shania menjerit ketika melangkah keluar dari perpustakaan sembari menyandang tas punggungnya dengan asal. Bu Hanum benar-benar kejam, meminta bantuan untuk merapikan ratusan buku yang berantakan pada dirinya. Bukan tidak ikhlas membantu, hanya saja.. permintaan Bu Hanum itu benar-benar sudah kelewatan. Ia kira ia akan merapikan ratusan buku itu dengan bantuan dari Bu Hanum juga, tapi nyatanya? Ia merapikan ratusan buku itu sendirian, kawan. Tanpa bantuan dari Bu Hanum selaku kepala perpustakaan, guru bertubuh gempal itu malah asyik cekikikan sembari menatap layar Blackberry miliknya di kursi kebesarannya. Tsk.
“Gue suka sama lo.”
Shania menghentikan langkahnya tepat di belokan koridor kelas kosong yang sama sekali tak diberi CCTV saat mendengar suara yang tak asing lagi mampir di telinganya. Mungkinkah? Shania menjulurkan kepalanya melalui jendela terdekat untuk membuktikan asumsinya, hazel coklatnya berpendar dengan cepat ke seluruh sudut ruangan dan berhenti di salah satu sudut ruangan depan. Matanya memanas ketika melihat bibir tipis itu mengunci bibir seorang gadis yang tertohok di sudut ruangan dan tak bisa kabur kemana pun. Dadanya langsung terasa sesak, seperti habis dihantam ratusan bola voli yang terbuat dari besi. Kakinya mendadak lemas seperti tak memiliki tulang, membuat tubuhnya merosot ke lantai dengan sukses.
“Dia..”
Entah mendapat pasokan energi darimana, Shania kembali bangkit. Kemudian berlari sekuat tenaga menuju kamar mandi terdekat, membuka keran wastafel, dan langsung membasuh wajahnya dengan kasar. Masih tak memercayai adegan yang sempat mampir ke dalam indra penglihatannya. Rasanya terlalu seperti mimpi untuk menjadi kenyataan meskipun ia tahu kalau adegan ini pasti akan terjadi karena kebodohannya sendiri, dan rasanya terlalu sakit untuk membayangkan adegan itu lagi.

“Mungkin.. kita akan selalu jadi teman selamanya, nggak lebih dari itu.”

0 Commentary

Review please.. :)