I love you, you
love her. We’re never together...
We’re always be
friend, until the end
***
“Kenapa nggak coba untuk mengungkapkannya aja, Shan?”
Shania yang sedang asyik berkencan dengan soal
matriks dari buku cetak mau tak mau harus menengadah, menatap mata bulat sang
sahabat. Satu dengusan napas panjang meluncur dengan lancar dari indra
penciumannya, menyangsikan usul sang sahabat.
Praktek itu tidak semudah teorinya.
Butuh bukti?
Oh, seorang Shania Luthfika sudah membuktikannya berkali-kali.
Ralat, ratusan kali. Atau mungkin ribuan kali? Entahlah, ia sama sekali tak
ingat. Yang jelas, teori yang entah berasal darimana itu memang sudah terbukti
kebenarannya. Praktek itu tidak semudah teorinya. Mengungkapkan rasa pada
seseorang itu tidak semudah kelihatannya, tidak semudah membalikkan telapak
tangan, dan tidak semudah makan roti. Ketika akan mengungkapkan rasa pada si
Dia, pasti hal-hal yang tidak diinginkan selalu saja mencuat ke permukaan. Entah
itu rasa gugupnya yang kelewat mengganggulah, entitas tak diundang yang
tiba-tiba misuh-misuh tidak jelas pada si Dialah, bahkan sampai kultum gratis dari
Pak Arya selaku guru agama islam yang bersabda bahwa berduaan antara anak Adam
dan anak Hawa itu hukumnya haram dan bisa mengundang setan untuk ikut
bergabung.
Berarti setannya
itu bapak, dong?
Itulah kalimat pertama yang mengapung di benaknya
ketika ia menangkap intisari kultum gratis dari Pak Arya. Mungkin iya, mungkin
tidak. Entahlah, ia sedang tidak ingin membahas faktor-faktor pendorong yang
menyebabkan misinya berakhir di jurang kegagalan.
Hani mengaduh pelan ketika sebuah pulpen gel mampir mendadak dan tepat mengenai
tangannya yang telah disilangkan sedemikian rupa guna melindungi wajahnya dari
lemparan benda-benda yang tidak diinginkan. Ia sudah khatam kalau sahabatnya
akan berubah menjadi gadis galak yang hobi melempar benda serampangan jika sudah
menyangkut topik macam yang satu ini.
“I’ll try! Don’t
you forget how much I try it?!”
Shania mendelik,”Tapi hasilnya selalu sama, selalu berakhir di jurang
kegagalan, dan selalu membuat gue makin gemas sama misi yang satu itu! Praktek
itu nggak semudah teorinya tau! Seenggaknya buat gue.”
“Dan takdir selalu nggak adil sama lo.” tambah
Hani,”Ratusan kali elo mencoba dan ratusan kali pula elo gagal, mau sampai
kapan begini terus? Kita udah kelas dua belas lho, beberapa bulan lagi kita UN
dan out dari SMA ini. Kemungkinan lo
untuk mengungkapkan rasa itu juga semakin bertambah kecil di saat udah nggak
satu sekolah, apalagi satu kelas. Last
chance kayak gini harus elo manfaatin
sebaik-baiknya. You must show your feeling
before he had a relationship with other girl, mumpung dia masih jomblo dan
belum jadi milik siapa-siapa.”
“Nggak! Dia nggak akan jadi milik siapa-siapa! Nih
ya, kata pepatah itu Dia masih bebas sebelum janur kuning melengkung. And you see? Belum ada janur kuning yang
melengkung tuh di rumahnya.” balas Shania sarkas, ia tidak rela kalau kalimat
terakhir Hani menjadi kenyataan. Bisa labil dan galau mendadak kalau kalimat
itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja sudah bisa membuat hatinya
mendidih.
“So?”
“So?”
ulang Shania,”Elo laper? Mau somay? Sana gih beli di kantinnya Mang Ale sebelum
kehabisan, mumpung Bu Mega nggak masuk dan nggak ada guru yang biasanya duduk
manis di meja piket deket kantin. Anak-anak juga banyak yang bolak-balik ke
kantin buat beli cemilan kok, sama sekali nggak menganggap CCTV yang
berkeliaran di seluruh koridor. Tuh, Ajeng sama Gendis baru balik dari kantin.”
Hani memajukan kurvanya sebagai tanda protes, merasa
tak terima dengan kalimat yang meluncur dari sahabat semata wayangnya. Ternyata belajar terlalu banyak dan terlalu
lama itu efeknya nggak baik untuk otak, batinnya bersenandung.
Butuh bukti?
Shanialah buktinya, otak gadis itu mungkin sudah
jungkir balik akibat terlalu lama berkencan dengan buku cetak matematika dan
soal matriks. Padahal pertanyaan singkat, padat, dan jelas miliknya sama sekali
tak menjurus kearah somay apalagi sampai mengaitkan Mang Ale selaku penjual
somay termaknyus di seantero sekolah. Tapi entah kenapa dan entah karena angin
apa, Shania malah meluncurkan kalimat asal seperti itu. Mungkin salah satu
penyebabnya adalah karena terlalu banyak dan terlalu lama belajar serta
berkencan dengan buku, terutama matematika.
“Astaganagabonarjadidua! Shan, it’s not about somay and
Mang Ale. It’s about your future, your
relationship with him! Hubungan lo sama si Dia itu complicated banget, udah kayak lagunya Duo Maia waktu masih jaya
yang judulnya Teman Tapi Mesra.”
“So? What do
you want? Mau maksa gue untuk mengungkapkannya lagi sama Dia? Dia kan nggak
masuk hari ini, elo nggak amnesia mendadak kan? Padahal sekelas juga!” Shania
menaikkan sebelah alisnya.
“Absolutely
yes! I know, gue nggak amnesia
mendadak seperti yang lo bilang! Hanya mau memastikan kalau kali ini elo nggak
mangkir lagi dari misi yang kelihatannya impossible
banget buat lo lakuin itu.” terdengar nada sangsi di dalam kalimat Hani.
“Mangkir? Do
you think that I will doing that?! Elo pikir gue petinggi negara yang hobi
mangkir dari rapat kerja apa? Actually
I’m not them, I’m Shania Luthfika and Shania Luthfika never deny her promise.” sambar Shania
dengan penuh percaya diri.
“Yeah, you
better should! I keep your word!”
balas Hani dengan nada sedikit meremehkan,”And
wait your result of that mission.”
“Let’s see.”
***
“Dia nggak akan pergi kemana pun kok, Shan. Nggak
usah diawasi sampai segitunya. Dia masih asyik berkencan sama Iphonenya, juga
sama bakso Mang Diman plus iced lemon tea Tante Ana.”
Seseorang mengagetkannya. Dan ketika wajahnya
ditolehkan sekilas kearah sang pemilik suara, wajah manis dengan poni khas
milik Hani terpampang dengan jelas di hadapannya. Lengkap dengan nampan berisi
jus jeruk dan semangkuk mie ayam spesial Mas Purwo dalam genggaman gadis itu. Ia
mendengus pelan sebagai balasan kalimat Hani ketika sahabatnya itu mengambil
posisi tepat di sebelahnya.
“Nggak berniat angkat nampan dan menghampiri, eh? Dia
sendirian tuh, nggak ada dayang-dayang yang biasa menguntit.” tanya Hani sesaat
sebelum menyesap jus jeruknya.
“I know,
elo nggak punya nyali untuk menyapa. Apalagi menghampiri.” lanjut Hani,”Jadi..
ceritanya kena karma nih? Nggak bisa membuktikan ucapan diri sendiri?”
“Could you shut
your mouth up, please?” sahut Shania
dengan nada ketus,”Gue nggak mau satu kantin mendengar obrolan-kita-yang-haram-didengar-orang-lain-ini.”
“Why?” sebuah ide jahil melintas di benak Hani,”Gengsi ya kalau
ada orang lain yang tau aib si Cutest
Senior ternyata masih betah menjomblo
cuma karena dirinya semata.”
Tertohok!
Hani sukses membuat kedua pipi sahabatnya bersemu
merah jambu akibat menahan malu—mungkin. Menggoda dan menjahili Shania dengan
mengatasnamakan si Dia memang terasa menyenangkan, apalagi kalau berakhir
dengan ekspresi cemberut atau rona merah jambu yang terlukis di wajah Shania. Bisa
menimbulkan gejala ketagihan dan kecanduan yang terkadang sulit untuk
dikontrol. Membuatnya ingin melakukan berulang kali. Dan sahabat semata
wayangnya itu kali ini benar-benar tertohok, bungkam, dan diam seribu bahasa. Lebih
memilih menghabiskan nasi goreng dan teh assam pesanannya daripada menggubris kalimat
jahil milik Hani.
“Nanti gue akan kasih kejutan terindah di lab
komputer, semoga elo suka ya!” bisik Hani sesaat sebelum ia bangkit dan
mengeluyur entah kemana,”Gue duluan, mau adu gombal sama Ridwan.”
Enak ya yang
udah punya tambatan hati, bisik hati
kecilnya ketika sosok Hani telah hilang dari indra penglihatannya. Tapi.. maksud ucapannya Hani itu apa ya?
Kejutan? Kejutan macam apa yang bakal dikasih sama dia? Mungkinkah...
***
Tubuh Shania mendadak kaku ketika menoleh ke orang
yang duduk di meja komputer sebelah kanannya, si Dia. Kepingan puzzle yang semula berserakan di
benaknya kini mulai mendekat, berkumpul, membentuk satu-kesatuan utuh yang
langsung menjawab pertanyaan batinnya saat jam istirahat pertama. Ah.. kejutan
manis yang membuat hati semakin miris. Manis, ketika tahu si Dia berada dalam
jarak yang sangat dekat. Miris, ketika ingat bahwa tak ada benang merah yang
terkait antara dirinya dan si Dia.
How about the surprise?
Do you like it? Enjoy your time with him. ;)
P.S : Wanna try the mission now? ;p
Shania melirik
layar Iphonenya saat merasakan getar di saku kemejanya. Satu pesan singkat dari
Hani. Gadis itu menyuruhnya untuk melakukan misi itu sekarang. Tapi ia belum
siap, belum siap untuk semuanya. Belum siap untuk menyatakan perasaan pada si
Dia, belum siap akan komentar puluhan pasang mata yang ada di laboratorium
komputer ini, dan belum siap akan ocehan Pak Dani karena telah sukses mengacau
di kelasnya kali ini.
Setelah menghela napas beberapa kali dan
memantapkan hati, akhirnya Shania memberanikan diri untuk menyapa pujaan
hatinya. Berusaha berbasa-basi ria agar tidak ketahuan kalau sebenarnya ia
sedang gugup luar biasa.
“Yud,”
“Apa?”
Shania memejamkan kedua matanya,
merutuki kebodohannya sendiri. Sapaan macam apa barusan itu? Terdengar sangat standar
dan tak ada istimewa-istimewanya untuk menyapa orang paling istimewa.
“Ada apa, Shan?”
“Mmm...” beberapa kali Shania melirik
Pak Dani yang sedang asyik menjelaskan macam-macam tools beserta kegunaan yang ada dalam aplikasi Corel Draw dari layar proyektor
yang terpampang di depan kelas, berusaha mencari waktu yang tepat untuk
mengungkapkan isi hatinya agar tak ketahuan sedang mengobrol saat Pak Dani
sedang menjelaskan materi. Kalau sampai ketahuan, ia akan berakhir dengan satu
jam detensi menjelaskan materi ini di akhir jam pulang sekolah tanpa bantuan
apapun dan siapapun.
“Sepertinya ada yang lupa dengan
peraturan di kelas saya.”
Suara bass Pak Dani yang menggema ke
seantero ruangan mengagetkannya, membuat nyalinya mendadak ciut. Kedua matanya
dipejamkan untuk yang kedua kali, sembari berdoa dalam hati semoga kali ini Pak
Dani tak akan memberinya detensi. Meskipun peluangnya hanya sebesar nol koma
nol satu persen saja, tapi apa salahnya mencoba?
“Tapi karena hal itu tak terlalu
mengganggu, maka kali ini saya tidak akan memberi detensi. Tapi kalau suara itu
sampai lagi ke telinga saya, maka saya akan memberi detensi yang lebih berat
dari sebelumnya. Kalian mengerti?”
“Mengerti Pak..” koor satu kelas kompak.
Ada
sesuatu yang mau elo bicarakan dengan gue?
Shania menatap secarik kertas berisi
tulisan tangan yang telah ia kenal, bahkan sampai hapal di luar kepala. Kemudian
menoleh sesaat ke orang yang duduk di sebelah kanannya, mendapati sebuah garis
lengkung tipis yang terbingkai di wajah tampan itu.
Absolutely yes, but.. I think it’s not
the right time to having conversation with you. Maybe later.
Shania menyodorkan kertas itu pada
pemiliknya, kemudian kembali fokus pada tugas yang diberikan Pak Dani.
“Enjoy
your time with him,” dengus Shania
saat melangkah menuju kelasnya,”gue bahkan belum sempat menikmati waktu singkat
itu gara-gara peraturan konyolnya Pak Dani. Dan ini semua salah lo, elo yang
nyuruh gue untuk mencoba misi itu di tengah pelajaran TIK. Dan hasilnya apa? Gue
gagal! Untuk yang ke sekian ratus kalinya.”
“Gue kan cuma ingin membantu mewujudkan
impian terbesar lo, itu aja. Kenapa elo nyalahin gue sih?” dengus Hani sembari
menyisir helai-helai coklatnya yang berantakan.
“Oke,” Shania menghentikan langkahnya tepat di depan kelas
mereka,”kita sama-sama salah di sini. Karena nggak melihat situasi dan kondisi
yang tepat. Tapi tolong berhenti membantu gue dalam misi ini, gue ingin
melaksanakan misi ini sendirian. Tanpa bantuan orang lain, termasuk elo ataupun
yang lainnya. Bahkan Dewi Fortuna sekalipun.”
“Dasar keras kepala!” bisik Hani ketika
punggung Shania mulai menjauhinya,”Let’s
see, elo bisa menyelesaikan misi itu sendiri atau enggak. Dan gue sangat,
sangat, sangat menyangsikan kemampuan lo untuk menyelesaikan misi ini
sendirian.”
***
“Hai, katanya ada yang mau elo bicarakan
sama gue.”
Shania menoleh kearah sang pemilik suara
dan mendapati wajah tampan itu untuk yang ke sekian kalinya hari ini. Membuat
jantungnya bermaraton ria keliling lapangan basket sekolah, dan membuat hatinya
meleleh akibat efek senyumannya yang menyilaukan kaum hawa.
“Jadi.. apa?”
“Hah, apanya yang apa?”
“Waktu di laboratorium komputer kemarin,
secarik kertas, dan dua kalimat pendek itu. Elo nggak lupa kan? Apa perlu gue
tunjukkin secarik kertas itu untuk kembali mengingatkan lo? Gue masih simpan
kertasnya kok.”
Eh?
Ternyata
dia masih menagih janji gue kemarin, hatinya
berbisik. Dan.. dia masih menyimpan
kertas itu? Seriously?!
“Shan, are you still alive?” sebuah telapak tangan mampir dan naik-turun
tepat di depan wajahnya.
“Eh, i-iya, Yud.”
“Jadi?”
“Jadi..” Shania menggigit bagian bawah
bibirnya,”gue boleh cerita sesuatu sama lo?”
Yudha yang duduk di sampingnya
mengangguk, tanda setuju.
“Ini cerita tentang seorang gadis
populer bernama Aku yang mencintai pemuda bernama Kamu, Kamu tak kalah
populernya dari Aku. Sejak pertama kali saling pandang saat dinobatkan sebagai Miss dan Mas dalam acara MOS sekolahnya,
Aku sudah merasakan getar aneh dalam dadanya setiap kali bertemu pandang dengan
Kamu. Awalnya Aku sama sekali nggak tahu tentang getar aneh yang selama ini
bersemayam dalam dadanya, hingga akhirnya Aku tahu bahwa getar aneh itu bernama
cinta. Ya, Aku jatuh cinta pada Kamu. Tapi.. kisah cinta Aku nggak berjalan
sebagaimana mestinya, nggak seindah kisah roman picisan remaja lainnya, dan
nggak semanis lolipop yang sering ia kulum di akhir pekan. Setiap kali Aku akan
mengungkapkan isi hatinya pada Kamu, selalu saja ada kejadian ajaib dan tak terduga
yang menginterupsi. Hingga Aku jadi kesal sendiri. Tapi Aku belum menyerah,
sampai sekarang ia masih terus berusaha untuk mengungkapkan isi hatinya pada
Kamu. Dan berharap Kamu akan membalas isi hati itu suatu hari.”
Yudha tertegun, ia sudah menangkap
maksud Shania dengan menceritakan hal ini. Tapi... yang menjadi permaisuri
hatinya kini bukanlah Shania lagi, melainkan seorang gadis sederhana dengan
jarak satu dinding saja dari kelasnya. Ia memang pernah memiliki rasa pada
gadis yang ada di sampingnya, tapi itu dulu. Sebelum menyadari bahwa ia tak
pantas bersanding dengan Shania karena sesuatu hal.
“Yudha..” Shania memejamkan kedua
matanya,”gue.. gue suka sama—“
“lo.” lirih Shania ketika sosok Yudha
mendadak lenyap dari sisinya.
***
Kejam!
Batin Shania menjerit ketika melangkah
keluar dari perpustakaan sembari menyandang tas punggungnya dengan asal. Bu
Hanum benar-benar kejam, meminta bantuan untuk merapikan ratusan buku yang
berantakan pada dirinya. Bukan tidak ikhlas membantu, hanya saja.. permintaan
Bu Hanum itu benar-benar sudah kelewatan. Ia kira ia akan merapikan ratusan
buku itu dengan bantuan dari Bu Hanum juga, tapi nyatanya? Ia merapikan ratusan
buku itu sendirian, kawan. Tanpa bantuan dari Bu Hanum selaku kepala
perpustakaan, guru bertubuh gempal itu malah asyik cekikikan sembari menatap
layar Blackberry miliknya di kursi kebesarannya. Tsk.
“Gue suka sama lo.”
Shania menghentikan langkahnya tepat di belokan
koridor kelas kosong yang sama sekali tak diberi CCTV saat mendengar suara yang
tak asing lagi mampir di telinganya. Mungkinkah?
Shania menjulurkan kepalanya melalui jendela terdekat untuk membuktikan
asumsinya, hazel coklatnya berpendar dengan cepat ke seluruh sudut ruangan dan
berhenti di salah satu sudut ruangan depan. Matanya memanas ketika melihat
bibir tipis itu mengunci bibir seorang gadis yang tertohok di sudut ruangan dan
tak bisa kabur kemana pun. Dadanya langsung terasa sesak, seperti habis
dihantam ratusan bola voli yang terbuat dari besi. Kakinya mendadak lemas
seperti tak memiliki tulang, membuat tubuhnya merosot ke lantai dengan sukses.
“Dia..”
Entah mendapat pasokan energi darimana,
Shania kembali bangkit. Kemudian berlari sekuat tenaga menuju kamar mandi
terdekat, membuka keran wastafel, dan langsung membasuh wajahnya dengan kasar.
Masih tak memercayai adegan yang sempat mampir ke dalam indra penglihatannya. Rasanya
terlalu seperti mimpi untuk menjadi kenyataan meskipun ia tahu kalau adegan ini
pasti akan terjadi karena kebodohannya sendiri, dan rasanya terlalu sakit untuk
membayangkan adegan itu lagi.
“Mungkin.. kita akan selalu jadi teman
selamanya, nggak lebih dari itu.”
0 Commentary
Review please.. :)