Letting You Go—First

Fa // Selasa, 25 Maret 2014


Jemari itu masih menari dengan lincah di atas deretan keyboard laptop yang ada di hadapannya. Masih belum berniat untuk berhenti meski rasa pegal mulai menjalar, masih belum berniat untuk berhenti meski dadanya mulai berbunyi keriat-keriut ketika ia bernapas, masih belum berniat untuk behenti meski sang penguasa pagi telah kembali pulang ke peraduannya di ufuk barat sana, dan masih belum berniat untuk berhenti meski kedua sahabatnya terus melontarkan kalimat yang sama sejak setengah jam lalu.

Ia—Daniel Rafarendra—bukanlah seseorang yang mudah untuk berjanji namun juga mudah untuk mengingkari. Dan ia telah berjanji pada staff kesiswaan untuk menyerahkan hasil proposal yang sedang ia revisi esok hari, setelah sebelumnya proposal itu mengalami kegagalan dalam tes uji kelayakan untuk memperoleh stempel persetujuan dan mendapat kucuran dana yang tercetak dalam proposal itu oleh staff kesiswaan. Sebagai Ketua OSIS yang bertanggungjawab, ia harus merevisi proposal itu. Tak akan ada satu orangpun yang dapat merebut softcopy proposal itu darinya, tak ada. Dan ia tak akan membiarkan hal itu terjadi. Karena menurutnya hanya ia seorang yang tahu dimana letak kesalahan proposal itu, anggota OSIS lain tak ada yang tahu.

“Berhenti, Dan!” suara bariton yang berasal dari Daffa kembali bergema ke seluruh sudut ruang OSIS, entah untuk yang keberapa kalinya. Namun yang dipanggil sama sekali tak merespon, apalagi berniat untuk mengikuti komando dari sahabatnya. Ia masih terus berkutat dengan proposal itu.

“Dan, berhenti..” kali ini suara lembut Vania yang bergema, seolah tak mau kalah dengan Daffa. Lagi-lagi, Daniel tak merespon. Cowok tujuh belas tahun’ itu masih berkutat dengan proposalnya.

Daffa mengepalkan sebelah tangannya, rasa kesal yang menginvasi dirinya sudah mencapai batas maksimum. Bahkan rasa kesal itu sudah hampir meluap. Dengan satu gerakan cepat, kedua tangannya langsung meraih tangan Daniel, mengunci tangan milik sahabatnya di belakang punggung Daniel. Sang korban hanya bisa pasrah, ia sama sekali tak melakukan perlawanan apapun. Karena percuma. Percuma melakukan perlawanan pada orang pemegang sabuk hitam taekwondo macam Daffa, percuma melakukan perlawanan di saat penyakit sialan itu datang menghampiri, dan percuma melakukan perlawanan di saat kesadarannya hanya tersisa lima puluh persen saja.

“Fa, lepas... gue harus menyelesaikan proposal itu sekarang juga. Karena gue udah janji sama staff kesiswaan untuk menyerahkan hasil revisinya besok. Waktunya udah mepet, dan kita dikejar deadline.” lirih Daniel dengan napas yang mulai memburu.

“Nggak, gue nggak akan lepasin sebelum lo berjanji untuk berhenti.” balas Daffa dengan suara yang dinaikkan setengah oktaf. Sementara Daffa sedang menangani Daniel, Vania langsung mengambil laptop milik Daniel dengan satu gerakan cepat. Berniat untuk merevisi proposal yang ada di lembar kerja besutan Bill Gates itu.

“Berhenti? Berhenti dari apa?” tanya Daniel polos.

Dasar enggak peka! Jadi selama ini semua percakapan kita sia-sia?! dengus Daffa.

“Berhentilah untuk terlalu memforsir diri lo, berhentilah untuk melakukan semua tugas OSIS seorang diri sementara anak OSIS yang lain cuma asyik berdiam diri, dan berhentilah untuk membahagiakan orang lain dengan menjadi pahlawan sementara diri lo sendiri terluka.” jawab Daffa, masih dengan suara yang dinaikkan setengah oktaf.

“Nggak bisa, Fa, Van..” Daniel mematung sejenak, dadanya semakin terasa sesak seiring berjalannya jarum pendek jam yang menempel di dinding ruang OSIS. Dan rasa sakit itu sukses membuat gurat kesakitan tergambar jelas di wajahnya, serta sukses membuat Daffa dan Vania panik setengah mati. Daffa langsung melepas kunciannya, melesat menuju ransel milik Daniel dan mulai mengobrak-abrik isi tas itu guna mencari botol obat Daniel. Sementara Vania langsung memapah sahabatnya menuju sofa terdekat.

“Dan, ini. Minum dulu.” Daffa menghampiri sembari membawa segelas air dan botol obat miliknya.

“Ish, dodol!” satu cubitan gemas dilayangkan ke pinggang Daffa oleh Vania.

Daffa meringis dan menggeliat pelan, membuat air dalam gelas yang dibawanya tumpah. “Apa sih cubit-cubit? Sakit tau!”

“Lah, elonya dodol. Daniel kan lagi kayak gitu, mana bisa minum obat sendiri. Seenggaknya minumin kek, bantu dia duduk kek. Buatlah diri lo berguna di saat genting kayak gini!” Vania semakin gemas menghadapi cowok kalem yang ada di sampingnya.

“Seenggaknya gue masih bersikap tenang, nggak kayak lo. Kayak cacing yang lagi berjemur di atas panggangan.” balas Daffa,”Yang malah akan menambah keadaan jadi makin genting.”

“Isshh.. tapi...”

Dan berlanjutlah adu mulut antara Daffa dan Vania, keduanya baru berhenti ketika desah kesakitan keluar dari mulut Daniel yang diikuti oleh suara batuk yang cukup untuk membuat telinga orang yang mendengar tersenyum miris. Dengan sigap Daffa membantu sahabatnya duduk, sementara Vania membantu meminumkan obat yang diambil Daffa. Setelah Daniel memberi kode bahwa keadaannya mulai membaik, Daffa dan Vania tertawa dalam volume kecil. Menertawakan kebodohan mereka yang masih sempat-sempatnya untuk adu mulut di saat sahabatnya sedang dalam keadaan seperti itu. Daniel hanya mengernyit, kemudian memutuskan untuk melanjutkan kembali pekerjaannya yang sempat tertunda sebelum malam semakin larut.

Daffa dan Vania menghentikan tawanya ketika mereka menyadari bahwa Daniel menghilang, saat keduanya menoleh kearah meja rapat OSIS dan mendapati Daniel tengah asyik menyelesaikan proposal itu untuk yang kedua kalinya, keduanya langsung menghampiri Daniel. Bersiap untuk meluncurkan ceramah-ceramah andalan mereka.

“Dasar keras kepala!” sahut Daffa dan Vania kompak.

“Kan tadi gue udah kasih tau alasannya,” jawab Daniel santai,”lagipula gue udah nggak papa kok.”

“Tapi caranya nggak kayak gini, Dan.” balas Vania.

“Vania bener, Dan. Gue tau elo itu Ketua OSIS, punya tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan anak-anak OSIS lain. Tapi lo nggak sendiri di OSIS, lo masih punya bawahan yang bisa lo mintai tolong saat lo merasa nggak mampu untuk mengerjakan tugas OSIS sendirian.” timpal Daffa.

“Terus, apa gunanya gue dan Daffa sebagai Sekretaris dan Wakil Ketua? Cuma untuk struktur OSIS semu kah?” sambung Vania,”Please, Dan. Jangan kayak gini... biarkan kita membantu lo, biarkan kita meringankan hari-hari berat lo.”

Daniel menghentikan kegiatan mengetiknya sejenak,”Tapi gue udah terlalu sering menerima uluran tangan kalian, gue udah terlalu sering merepotkan kalian, dan gue udah terlalu sering menyeret kalian ke dalam arus kepedihan yang gue buat. Gue nggak bisa terus-menerus menerima uluran tangan kalian, uluran tangan kalian cuma akan membuat gue merasa semakin nggak berguna.”

“Cukup, Dan! Cukup! Berhentilah men-judge diri lo sendiri, berhentilah menyalahkan diri lo sendiri, dan berhentilah untuk mengatakan kalimat yang sama berulang kali.” ada butiran-butiran bening yang mulai terkumpul di pelupuk mata Vania.

Keep calm, Van. Emosi nggak akan pernah menyelesaikan masalah, justru malah akan semakin menambah masalah.” Daffa memeluk pundak Vania, kemudian mengusapnya beberapa kali agar sahabatnya itu bisa tenang. “Lebih baik kita pulang aja kalau sahabat kita yang satu ini memang nggak membutuhkan uluran tangan kita. Percuma kita terus bertahan di sini, dia itu keras kepala. Dia nggak akan pernah merubah pendiriannya.”

“Emosi memang nggak akan pernah bisa menyelesaikan masalah, tapi seenggaknya itu berguna untuk menampar dan menyadarkan seseorang akan kesalahannya.” balas Vania dengan suara parau akibat menahan tangis.

Keheningan sempat menjadi latar suasana ruang OSIS, yang terdengar hanyalah helaan napas berat dari ketiga entitas yang ada di dalamnya. Baik Daniel, Daffa, dan Vania tak ada yang buka suara. Ketiganya masih bungkam, larut dalam dunia mereka masing-masing. Hingga suara lembut Vania memecah keheningan itu.

“Fa, ayo kita pulang. Udah malam, lo kan tau gue takut gelap.” ajak Vania dengan senyum tipis yang sedikit dipaksakan. Sebenarnya ia enggan untuk pulang, dan enggan untuk meninggalkan sahabatnya sendirian. Tapi apa daya jika ternyata yang dibujuk sejak sore tadi masih belum mau merubah pendiriannya. Anggaplah ia egois, namun jangan lupakan kebaikan hatinya untuk membujuk Daniel pulang sejak sore tadi.

Daffa mengangguk pasrah, sebenarnya ia juga enggan untuk meninggalkan Daniel sendirian di ruang OSIS. Ada banyak spekulasi negatif yang mulai menginvasi benaknya jika ia benar-benar meninggalkan cowok tujuh belas tahun itu sendirian.

“Dan, kita pulang dulu. Terserah elo mau ikut apa enggak, terserah juga kalau elo masih tetep mau menyelesaikan proposal itu padahal lo bisa menyelesaikannya di rumah. Pesan gue cuma satu, jaga diri lo baik-baik. Karena nggak ada lagi kita berdua yang akan menemani lo di sini, jangan sampai tumbang kayak tadi karena terlalu capek. Bye..” Daffa melangkah keluar ruang OSIS, masih dengan sebuah rangkulan yang ia sematkan pada pundak Vania.

Daniel menghentikan kegiatan mengetiknya setelah bayangan kedua sahabatnya mulai menjauh dan menghilang ditelan kegelapan. Bukan karena tertegun dengan rentetan arus pertengkaran yang kembali menerpa gubuk persahabatan mereka, melainkan akibat rasa sakit yang kembali meneror dadanya. Membuat detak jantungnya berdetak tak karuan, dan membuatnya kesulitan bernapas.

Ugh,” desahnya pelan sembari meremas dadanya kuat-kuat, berharap rasa sakitnya akan ternormalisir oleh remasan tangannya. Namun nyatanya itu sama sekali tak berguna, yang ada gelombang rasa sakit itu semakin bringas menyerbu jantungnya.

Obat, hanya benda kecil itu yang ia butuhkan. Kakinya mulai dilangkahkan perlahan, dengan sebelah tangannya yang bertumpu pada apa saja yang bisa ia jadikan tumpuan. Mulai dari meja sampai dinding. Namun kakinya mendadak lemas ketika perjalanannya masih panjang, dan rasa sakit itu menyerang dengan kekuatan bak polisi yang sedang memporak-porandakan tempat judi para preman. Membuat mulutnya yang semula terkatup sempurna menjadi terbuka lebar. Berteriak sekuat tenaga guna mencari pertolongan. Tetapi tingkat kesadarannya semakin menurun sebelum pertolongan datang, menggiringnya ke dalam dunia lain.

***
“Selamat pagi pangeran keras kepala yang hobinya menyiksa diri sendiri...” sapa Vania dengan nada girang plus menyindir ketika melihat kedua kelopak mata Daniel mulai terbuka perlahan.

Kedua mata Daniel masih belum bisa beradaptasi dengan sinar matahari yang masuk melalui jendela kamarnya, sehingga mata itu hanya terbuka setengahnya saja. Vania yang menyadari sikap Daniel langsung merapatkan gorden berwarna hijau muda yang berada tak jauh dari tempatnya berpijak. Kemudian membantu mendudukkan Daniel, ia tahu pasti punggung sahabatnya itu pegal karena terlalu lama dipakai berbaring.

Thanks.” sebuah garis tipis melengkung di wajah Daniel,”Oh iya, maksud ucapan lo apa ya Van?”

Vania mendengus frustasi, ini anak sebenarnya enggak peka atau memang terlalu polos sih darisananya? Bikin gue gemas aja!

“Nggak ada alasan buat lo untuk melupakan kejadian kemarin dan kejadian-kejadian sebelumnya, karena kepala lo nggak membentur apapun saat pingsan sehingga lo nggak menderita amnesia. Dan setau gue, penyakit jantung itu nggak pernah menyebabkan penderitanya jadi pikun deh.” Vania melipat kedua tangannya di dada, memasang tampang sebal.

Daniel terdiam, kepingan-kepingan puzzle tentang kejadian kemarin yang sempat tersebar kini mulai merapat dan mulai membentuk satu-kesatuan yang utuh. Ia ingat sekarang, ia ingat kejadian kemarin. Dan kini ia paham dengan maksud kalimat Vania.

“Jadi.. kalian...” terka Daniel.

“Iyalah! Kita balik lagi setelah mendengar jeritan lo, asal lo tau aja kemarin itu kita nggak bener-bener pulang dan meninggalkan lo sendirian kok. Kita sembunyi di luar ruang OSIS. Kalau nggak ada kita, mungkin sekarang elo lagi asyik bercengkrama sama malaikat penjaga kubur sembari ngopi-ngopi dan makan cemilan.” lanjut Vania.

“Nggak lucu.” dengus Daniel, matanya mengamati Vania dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seragam putih abu-abu masih melekat pada tubuhnya, dan ada lingkaran hitam di bagian kantung matanya. “Van, ini hari rabu kan?”

“Iya, ini hari rabu. Kenapa memangnya?” Vania menarik kursi belajar Daniel agar lebih dekat dengannya, kemudian duduk di atas kursi itu. “Mau tanya tentang proposal? Tenang aja, proposalnya udah selesai kok. Dan udah diserahin ke staff kesiswaan sama Daffa, OSIS juga udah dapat kucuran dana untuk acara bakti sosial itu.”

Daniel mengerjap beberapa kali, padahal bukan itu yang mau gue tanya! Eh, tapi itu juga masuk daftar pertanyaan gue sih.

“Bukan, bukan itu yang mau gue tanya.” desah Daniel,”Kenapa lo masih di sini? Memangnya lo nggak sekolah? Dan kenapa lo masih pakai seragam sekolah? Terus... Daffa mana?”

Vania tersentak, gue sok tau banget dong ya. Sok nerka-nerka pertanyaan Daniel padahal sebenarnya bukan itu yang mau ditanya, ah gue pAyah nih!

“Gue.. gue bolos. Eh, enggak bolos juga sih. Soalnya udah diizinin sama Daffa. Tadinya Om David nyuruh kita untuk bolos sekolah aja, tapi si Daffa ngotot mau masuk sekolah untuk kasih proposal itu ke staff kesiswaan. Jadi, subuh tadi dia balik ke rumah dan langsung cabut ke sekolah.” cerocos Vania panjang lebar,”Terus untuk masalah gue masih pakai seragam dan belum ganti baju, itu karena lo nggak punya baju cewek. Dan nggak lucu juga kalau gue harus pakai baju lo yang modelnya cowok banget, gue nggak suka.”

Hening. 

Kamar Daniel berubah menjadi hening kembali ketika kedua insan yang ada di dalamnya sudah kehabisan topik pembicaraan. Akhirnya keduanya lebih memilih untuk berkelana ke dunia imajinasi masing-masing, yang semakin menambah keheningan kamar itu. Suara batuk Daniel menjadi penyadar Vania untuk segera kembali ke dunia nyata, ada gurat kecemasan yang terlukis di wajahnya.

“Dan, elo nggak papa kan?” tanya Vania.

Daniel menggeleng pelan, memberi kode bahwa ia tidak apa-apa. Meski sebenarnya kode itu hanyalah pengecoh semata, ia tidak ingin membuat cewek yang ada di sampingnya menjadi panik. Dan ia tidak ingin merepotkan cewek itu untuk yang kesekian kalinya. Vania menguap beberapa kali sembari mengusap sebelah matanya, memberi kode pada Daniel bahwa tubuhnya sudah tidak sanggup untuk terus-menerus berada di dunia nyata. Demi apapun juga, saat ini ia rindu kasur empuk serta bantal kesayangannya. Ingin segera pulang, ingin segera merebahkan tubuh sembari memeluk erat bantal itu. Tetapi ia tak mungkin meninggalkan Daniel sendirian, ia tak ingin kejadian kemarin kembali terulang.

Daniel menghela napas panjang, ia tahu kalau sahabatnya yang satu itu sudah tidak sabar untuk pergi ke dunia mimpi. “Van, kalau elo memang udah ngantuk berat tidur aja gih. Gue nggak tega ngeliat mata panda itu terus bertengger di sana.”

“Tapi.. kalau elo kenapa-napa pas gue lagi tidur gimana?” Vania menggigit bibir bagian bawahnya.

“Kan masih ada Bi Surti, elo tenang aja.”

Vania memutar kedua bola matanya dengan cepat, berpikir sejenak. Sedetik kemudian ia mengangguk setuju dan mulai melangkah menuju sofa yang ada di salah satu sudut kamar Daniel.

“Kenapa lo tidur di sofa? Kenapa nggak di tempat tidur aja? Sebelah gue masih kosong nih.” tanya Daniel ketika Vania akan memejamkan kedua matanya.

“Nggak, kita bukan muhrim. Kata Pak Andra, cewek sama cowok yang bukan muhrim itu nggak boleh tidur bareng. Nanti bakalan ada setan yang bisikin untuk berbuat macam-macam.” Vania menggeleng keras.

“Kenapa mikir sampai kesana sih?” Daniel terkikik pelan,”Gue kan sahabat lo, mana mungkin gue tega ngapa-ngapain lo. Lagipula.. elo lupa ya kalau dari kecil kita udah sering tidur bareng?”

Pertanyaan Daniel sukses membuat pipi Vania bersemu merah jambu. Tapi itu kan dulu! Waktu kita masih bocah!

“Dan nggak terjadi apa-apa juga kan waktu itu?” lanjut Daniel,”Jadi ken—“

“Ah, udahlah. Gue capek, nggantuk! Mau tidur!” dengus Vania, tubuhnya dimiringkan ke sebelah kanan untuk membelakangi Daniel. Tidak butuh waktu lama bagi Vania untuk segera bermigrasi ke dunia mimpi karena ia terlalu lelah.

Daniel menghela napas panjang, kamarnya kembali menjadi hening. Sesekali matanya melirik Vania yang sudah tertidur pulas, ada rasa tak tega yang menggerayangi hatinya. Tidak seharusnya cewek itu tidur di sofa, karena hanya akan menyebabkan pegal-pegal. Hanya akan semakin menambah rasa lelah setelah cewek itu begadang semalaman. Akhirnya ia memutuskan untuk membopong tubuh Vania dan memindahkannya di tempat tidur. Kemudian ia menuju ruang tamu untuk membaca sebuah novel yang belum sempat ia tuntaskan. Untuk membunuh rasa sepi sembari menunggu kedatangan Daffa.

0 Commentary

Review please.. :)