Letting You Go—Second

Fa // Senin, 26 Mei 2014

Daffa mengusap wajahnya beberapa kali untuk mengusir rasa kantuk yang kembali menyerang ketika tiba di depan pintu rumah Daniel, ia tidak ingin terlihat seperti orang yang kelelahan di depan sahabatnya itu—meski kenyataannya begitu—ia tidak ingin membuat Daniel semakin merasa tak enak hati. Dan ia tidak ingin membuat Daniel terbebani dengan keadaannya yang kacau. Namun matanya kembali menjadi segar ketika kakinya dilangkahkan masuk dan ia mendapati sosok Daniel yang sedang asyik membaca novel di ruang tamu.

“Lho, Dan. Kok elo ada di sini sih?”

“Oh, hai Fa.” Daniel menutup novelnya, kemudian tersenyum tipis pada sahabatnya. Namun senyum itu langsung memudar ketika melihat keadaan Daffa yang kacau. Lagi-lagi gue menyusahkan kalian, dan lagi-lagi gue buat keadaan kalian jadi kacau.

“Gimana keadaan lo?” Daffa langsung menghempaskan tubuhnya di sebelah Daniel,”Udah baikan?”

Daniel mengangguk,”Seperti yang lo liat.”

Daffa menghela napas panjang,”Bagus deh kalau gitu.”

“Oh iya Fa, kok elo udah pulang sih? Ini kan baru jam sepuluh.” Tanya Daniel, penasaran.

Daffa tersenyum tipis,”Gue ngantuk berat, ikut kelas pun percuma karena nggak bakal ada yang nyangkut di otak. Jadi.. gue izin pulang deh sama guru piket dengan alasan nggak enak badan. Eh iya, Vania mana Dan? Kok nggak keliatan sih?”

“Vania udah tidur sejak setengah jam yang lalu. Gue yang suruh sih, abis gue nggak tega soalnya dia udah keliatan ngantuk berat dan kangen dunia mimpi kayaknya.” Daniel terkekeh,”Lo kalau mau tidur, tidur aja gih sana.”

“Yakin lo nggak papa kalau gue tinggal tidur?” ada rasa cemas yang mulai merayapi hati Daffa, ia tidak ingin meninggalkan sahabatnya sendirian untuk yang kesekian kalinya. Alasannya hanya satu, apalagi kalau bukan penyakit Daniel yang datang dan pergi seenak hati tanpa bilang permisi?

“Udahlah Fa, kalau lo memang udah ngantuk berat lebih baik tidur aja. Jangan terlalu memaksakan diri, nggak baik. Lagipula gue nggak papa kali kalau lo tinggal, toh masih ada novel ini yang bakal menemani gue.” Daniel melirik novel yang ada dalam pangkuannya.

“Yaudah deh sob, gue tidur dulu ya.”

Daniel mengamati punggung Daffa yang semakin menjauh dengan tatapan sayu. Sorry Fa, gue udah menyusahkan lo untuk yang kesekian kalinya.

***
Daniel menghela napas panjang yang kesekian kalinya untuk mengusir rasa tidak nyaman yang mulai merambah dadanya. Entah kenapa akhir-akhir ini kondisinya sering naik-turun seperti roller coaster, sebentar membaik kemudian kembali memburuk. Mungkin karena kondisi jantungnya yang semakin melemah dan mulai mengibarkan bendera putih pada kegiatan OSISnya yang menggunung, atau mungkin karena malaikat maut yang sejak kecil menguntitnya sudah tak sabar ingin mencabut nyawanya. Entahlah, ia tak tahu.

Helaan napas kembali dihembuskan dari bibirnya yang mulai memucat, wajahnya yang semula mulus kini mulai dibanjiri oleh peluh-peluh yang diproduksi oleh kelenjar keringatnya. Punggungnya yang semula tegak kini mulai lemas, semakin bersandar pada sofa yang sejak tadi menjadi saksi bisu kambuhnya penyakit sialan itu. Please... jangan sekarang...

“Daniel!” suara maskulin itu menjadi penguat kesadarannya yang hanya tersisa lima puluh persen.

“A-Ayah..” lirihnya dengan nada lemah.

“Kamu kenapa? Penyakitmu kambuh lagi? Sebelah mana yang sakit?” gurat kecemasan tergambar jelas di wajah pria yang ada di hadapannya.

“Enggak yah, Daniel nggak papa.” sebuah garis tipis melengkung di wajah pucatnya.

“Tap—“

“KYAAA!” terdengar jeritan Vania yang cukup memekakkan telinga.

Cewek enam belas tahun itu memegang erat selimut yang menyelubungi tubuhnya dengan ekspresi tidak percaya bercampur takut, sementara Daffa yang baru saja kembali dari dunia mimpi dan belum sepenuhnya sadar hanya mengerjap malas.

“KYAA.. Daffa! Apa yang lo lakukan ke gue! Kenapa gue tidur di sini?! Tadi kan gue lagi tidur di sofa!” napas Vania memburu.

WHAT?!” teriak Daffa tak mau kalah,”Harusnya gue yang bilang kayak gitu, sipit! Seingat gue tadi elo..”

“Apa?! Gue apa?!” Vania melotot dengan mata sipitnya,”Elo.. uhh elo itu manusia macam apa sih sebenarnya?! Masa sahabat sendiri mau elo nodai juga?!”

“Heh sipit, dengar ya sejak tadi juga gue enggak sadar kalau ternyata di sebelah gue itu ada elo karena gue terlalu capek. Kalau gue tau di sebelah gue ada elo, gue pasti udah tidur di sofa.” dengus Daffa.

Vania mengernyit, sejak tadi gue udah tidur di sini? Lah, terus yang memindahkan gue siapa dong? Daffa? Err.. kayaknya enggak mungkin deh. Jangan-jangan...

“Yah, lebih baik Ayah ke atas deh. Takutnya Vania kenapa-napa.” napas Daniel mulai memburu.

“Tapi.. kalau Ayah ke atas, kamu gimana?” fokus pria berkacamata itu pecah, terbagi menjadi dua. Ia dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara menyelamatkan nyawa putra sulungnya atau menyelamatkan putri sahabatnya.

“Yah..” pinta Daniel dengan wajah memelas,”Daniel enggak papa kok kalau Ayah tinggal cuma sebentar.”
Pria itu mengangguk pasrah, kemudian melesat menuju lantai dua. Mencari tempat kejadian perkara di mana ia mendengar suara teriakan itu. Ada rasa tak percaya yang terlukis di wajahnya ketika melihat pemandangan yang ada di hadapannya, pikiran negatif pun mulai merasuki benaknya. Ia tak menyangka jika kamar anaknya akan dijadikan tempat mesum oleh kedua remaja yang kini sama-sama memasang tampang polos. Seolah tak terjadi apa-apa.

“Kalian..” kalimatnya menggantung, tak tahu kata apa yang harus ia gunakan untuk melengkapi kalimatnya.

“Ngg.. Om, ini nggak seperti yang Om pikirkan kok.” Vania berlari kecil mendekati sang tuan rumah,”Vania sama Daffa enggak ngapa-ngapain kok Om, suwer deh. Enggak berbuat mesum juga. Ini.. ini cuma salah paham aja.”

“Iya Om, ini nggak seperti yang Om pikirkan kok.” tambah Daffa, berusaha ikut meyakinkan.

Kemudian keduanya menjelaskan kronologi awal kesalah-pahaman yang terjadi, dari a sampai z. Tanpa di bubuhi bumbu-bumbu penyedap yang malah akan semakin membuat satu-satunya orang dewasa di kamar itu naik pitam. Setelah paham apa yang terjadi, pria itu menghela napas lega sembari manggut-manggut. Ternyata semuanya hanyalah kesalah-pahaman belaka.

Vania menghela napas lega sembari menghempaskan tubuhnya ke kasur,”Oh iya, Om. Daniel mana?”

Daniel eh? dahi pria itu berkerut. Astaga!

Ia langsung bangkit dari duduknya, berlari keluar kamar secepat kilat dengan ekspresi wajah yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Daffa dan Vania saling lempar pandang dan mengangkat bahu dengan kompak, kemudian keduanya ikut berlari mengejar pria itu.

“Daniel!” dengan napas terengah-engah pria itu melangkah menghampiri putra sulungnya yang sedang memeluk lutut sambil bersandar di dinding dekat tangga.

Yang dipanggil tidak menyahut, masih terfokus dengan rasa sakit yang sedang asyik menjajah dadanya. Ia sengaja duduk dengan pose memeluk lutut ketika kedua kakinya sudah tak sanggup untuk diajak kompromi, plus kepala ditundukkan. Alasannya hanya satu, ia ingin menyembunyikan rasa sakitnya dari orang lain ketika orang-orang yang ada di rumah ini mulai bersliweran mencari dirinya. Argh.. sakit..

“Daniel!”

Hanya itu kata terakhir yang mampu ia dengar sebelum kegelapan mengambil alih pandangannya.

***

“Dan, kamu yakin mau sekolah hari ini?”

Daniel mengangguk mantap sembari menyesap susunnya,”Iyalah yah, ada banyak urusan OSIS hari ini.”

“Udah bawa obat?”

Daniel mengangguk.

Inhaler?”

Kali ini Daniel tak mengangguk, wajahnya mendadak lesu. “Ayah nggak usah meledek gitu deh, Daniel kan penderita jantung, bukan penderita asma. Nggak butuh inhaler.”

“Tapi ini untuk jaga-jaga, Dan. Nanti kalau penyakit kamu kambuh lagi terus anfal gimana?”

Daniel memutar bola matanya, berusaha mencari alasan yang tepat untuk menghentikan pembicaraan yang kini sudah menjurus kearah ceramah gratis. “Ada tabung oksigen di UKS kok yah, dan ada banyak petugas PMR dadakan yang akan menolong Daniel.”

Hening. Pasangan Ayah dan anak itu tenggelam dalam pikiran masing-masing sembari menyantap sarapan mereka. Hingga akhirnya Daniel buka suara. “Ehm, Yah.”

“Iya? Ada apa?’

“Err—“

“Daniel...” teriak Vania dari luar rumah.

Yaudahlah kapan-kapan aja nanyanya.

Cewek manis itu berlari kecil menghampiri Daniel,”Ohayou gozaimasu...”[1]

O-ohayou..” balas Daniel singkat,”Kesambet apa lo tiba-tiba nyapa pakai bahasa Jepang?”

“Hehe..” Vania nyengir,”kayaknya gue terpengaruh sama dorama yang gue tonton semalem.”

“Ck, dorama mulu.” Daniel berdecak.

“Kenapa memangnya? Elo cemburu kalau gue liat cowok-cowok ganteng nan kece yang bersliweran di dorama?” Vania menyipitkan matanya, membuatnya lucu dengan ekspresi seperti itu. Dan membuat Daniel terkekeh pelan.

“Enggak, sama sekali enggak.” Daniel menggeleng keras,”Buat apa gue cemburu, toh gue juga nggak kalah ganteng dari mereka kok.”

“Huu.. narsisnya kumat deh!” Vania memanyunkan bibirnya,”Om, anak Om itu sebenarnya sakit jantung apa sakit narsis sih?”

“Ehm, mungkin keduanya.”

Jawaban singkat itu langsung sukses membuat Vania tertawa bahagia, akhirnya orang lain yang berpendapat sama dengannya bertambah seorang lagi.

“Bahagia di atas penderitaan orang itu nggak baik, Van.” Daniel mulai bangkit dari duduknya,”Udah ah, berangkat yuk! Kasian si Daffa nanti lumutan di dalam mobil cuma karena nunggu kita.” tangan kanannya langsung menarik tangan kiri Vania,”Yah, Daniel berangkat dulu ya.”

“Om, kita berangkat dulu ya. Tenang Om, nanti kalau Daniel bandel nggak mau minum obat bakalan Vania cecokin kok.”

“Dan, lepasin dong..” rengek Vania sembari memukul pelan tangan Daniel menggunakan sebelah tangannya yang bebas sejak semenit yang lalu, entah itu rengekan dan pukulan yang ke berapa kali, ia lupa. “Sakit nih...”

Daniel menghentikan langkahnya, kemudian langsung melepas genggaman tangannya. Salah, bukan genggaman. Karena sejujurnya ia sama sekali tak menggenggam tangan Vania, ia menarik tangan cewek itu. Vania memanyunkan bibirnya saat melihat ada lingkaran merah di pergelangan tangannya, kemudian melangkah menuju mobil Daffa. Masih dengan bibir yang dimajukan, yang sukses membuat Daffa tertawa terbahak-bahak. Karena menurutnya Vania tak ada bedanya dengan Donald Duck.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, ketiga sahabat itu sama sekali tak saling sapa apalagi meluncurkan kalimat-kalimat bernada menyindir mengenai guru-guru mereka di sekolah seperti yang biasa mereka lakukan untuk mencairkan suasana. Yang ada hanyalah rasa canggung dan gengsi dari Daniel yang belum mau meluncurkan kata maaf pada Vania, dengusan frustasi Daffa atas suasana yang tercipta, serta kikikan pelan Vania yang sedang asyik bermonolog ria dengan tablet pc miliknya.

“Ehm, Van, Dan. Kalian berdua kenapa sih? Lagi ada masalah?” tanya Daffa yang sudah tidak ahan lagi dengan suasana di dalam mobilnya,”Nggak biasanya kalian saling acuh gini, biasanya cekikikan bareng.”
Vania menghentikan monolognya sejenak,”Gue? Gue lagi nggak ada masalah kok, tapi enggak tau deh sama manusia yang ada di sebelah lo itu.”

Daniel menghela napas,”Oke, gue salah karena udah seenak jidat main tarik tangan lo. Dan gue mau minta maaf.”

Daffa tersenyum simpul, okesip masalah selesai!

“Permintaan maaf diterima!” teriak Vania dengan nada girang, kemudian kedua tangannya melingkari leher Daniel dengan tangan kiri yang masih memegang tablet pc.

Daniel agak tersentak dengan perpindahan gestur Vania yang begitu cepat, ini maksudnya apa?!

Bukan hanya Daniel yang tersentak dan memasang ekspresi takut serta kaget, Daffa yang tadinya sedang asyik menyetir pun ikut melengos. Tidak biasanya Vania seagresif ini pada lawan jenis, terlebih pada sahabat sendiri. Ia menyangsikan kalau cewek yang sedang melingkarkan lengan ke leher Daniel itu benar-benar Davania Salsabila, si sipit yang masuk dalam jaring persahabatannya dengan Daniel sejak dua tahun lalu.

“Liat ini deh!” seru Vania sembari menunjukkan tablet pc miliknya tepat di depan wajah Daniel,”Gue yang buat loh! Lucu nggak?”

Daniel mengernyit, kedua matanya masih mengamati pemandangan yang tersaji di hadapannya. Sebuah potret dirinya, Vania, dan Daffa dalam bentuk dua dimensi. Tetapi bukan potret itu yang membuatnya mematung, melainkan pakaian yang melekat pada ketiga gambar itu. “Err, Van, ini—“

“Iyalah, gue yang buat. Memangnya menurut lo siapa lagi yang berani menyentuh tablet pc milik gue tanpa seizin pemiliknya?” potong Vania,”Komennya dong! Kan capek tau buatnya!”

Daniel menggosok tengkuknya,”Mmm.. lucu kok, tapi kasian Daffanya elo nistain kayak gini.”

Daffa mengernyit, gue? Dinistain?

“Liat dong...” rajuk Daffa sembari curi-curi pandang kearah tablet pc milik Vania.

Daniel memiringkan tablet pc Vania sedemikian rupa agar Daffa tidak bisa curi-curi pandang lagi,”Enggak sekarang Fa, nanti kalau lo liat sekarang bisa-bisa kita langsung masuk UGD lagi. Udah, elo fokus nyetir aja.”

Daffa mendengus, masuk UGD? Maksudnya apa sih?!

***
Kini giliran Daffa yang memanyunkan bibirnya sesaat setelah mereka turun dari mobil dan Daffa langsung melihat tablet pc Vania. Ia tak habis pikir dengan Vania yang seenak dahi menggambar dirinya dalam bentuk dua dimensi yang memakai pakaian pengawal kerajaan, sungguh derajat yang sangat jauh jika dibandingkan dengan gambar dua dimensi Daniel yang memakai pakaian pangeran dan gambar dua dimensi Vania yang memakai pakaian putri. Dan ia tidak mengerti dengan jalan pikiran cewek sipit itu.

“Daffa kenapa? Ngambek nih ceritanya?” goda Vania sembari mencolek pipi tirus sahabatnya.

“Masa pengawalnya marah sama pangeran dan putri sih? Itu kan nggak ada dalam dongeng.” Daniel ikut menggoda Daffa sembari melingkarkan sebelah lengannya ke pundak Daffa,”Mau bikin dongeng dengan jalan cerita yang baru ya, Mas?”

“Lepas, nggak lucu tau!” Daffa berusaha melepaskan lengan Daniel yang masih bertengger di pundaknya. Setelah berhasil, kedua kakinya melangkah dalam irama cepat menuju kelas. Meninggalkan kedua sahabatnya yang sudah sukses membuat mood-nya anjlok pagi ini.

“Lho, Fa. Jangan marah dong! Kan cuma bercanda tau..” teriak Vania, berusaha mengejar ketertinggalannya.

Bukannya berhenti, Daffa malah semakin cepat melangkah. Bahkan kali ini langkahnya berubah menjadi lari kecil. Ia ngambek, benar-benar ngambek pada kedua sahabatnya.

***
Vania menenggelamkan wajahnya di balik lengan yang ia sedekapkan di atas meja, kemudian mengetukkan jemarinya dengan irama asal. Masa bodoh dengan materi tentang lembaga sosial yang tengah diajarkan Bu Daniar. Berusaha mendengarkan pun akan percuma, karena fokusnya telah menguap entah kemana sejak kejadian di parkiran tadi.

Selalu aja begini, dengusnya frustasi.

Sesekali matanya melirik kearah Daffa yang sedang serius mendengarkan ocehan Bu Daniar, dan ia bisa melihat ada kekecewaan di sudut mata cowok itu. Oke, ia akui kalau ia memang salah. Tapi ayolah.. gambar itu hanyalah sekedar keisengan jemarinya saja. Dan biasanya Daffa juga akan memaklumi keisengan jemarinya, tapi kenapa sekarang cowok itu tak bisa memaklumi keisengan jemarinya? Seperti bukan Daffa Wirayudha yang telah ia kenal sejak dua tahun yang lalu. Kemudian pandangannya dialihkan pada Daniel yang duduk di sebelahnya, cowok itu tak kalah serius dengan Daffa. Tiba-tiba bibirnya mengulas senyum tipis, entah apa alasannya. Ia tak tahu.

“Ehm, Davania Salsabila.”

Tubuhnya langsung ditegakkan seperti semula, kedua matanya dipejamkan untuk menyiapkan mental. Kalau Bu Daniar sudah memanggil namanya, itu artinya sebentar lagi Bu Daniar akan meluncurkan pertanyaan padanya. Dan ia belum siap karena sejak tadi tak ada kalimat Bu Daniar yang tersangkut di otaknya, semua materi itu hanya menumpang lewat saja. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

“Apa yang dimaksud dengan internalisasi?”

Vania menggigit bibir bawahnya, sesekali matanya melirik kearah Daniel. Berusaha meminta bantuan pada sahabatnya. Tetapi Daniel malah membalasnya dengan tatapan gue-enggak-berani-kasih-tau-sorry-lo-tau-sendiri-kan-Bu-Daniar-itu-kayak-gimana. Vania menghela napas pasrah. Angkat tangan, ia sudah benar-benar angkat tangan pada pertanyaan yang diluncurkan oleh Bu Daniar.

“Ayo cepat jawab, jangan buang-buang waktu.”

“Err... proses pemasukan?” jawab Vania sekenanya yang langsung disambut gelak tawa oleh teman sekelasnya.

“Salah, jawabanmu itu salah. Makanya, lain kali kalau Ibu lagi jelasin materi kamu harus mendengarkan. Bukannya malah melirik Daniel terus senyum-senyum sendiri.”

Eh, pipi Vania bersemu. Ja-jadi...

“Ciee.. pipinya Vania merah lho..” goda Gendis yang duduk di depannya.

Kalimat Gendis semakin mengundang sindiran-sindiran dari satu kelas. Dan itu semakin membuat Vania gelagapan menyangkal tuduhan demi tuduhan yang dilemparkan pada dirinya.

“Sudah-sudah, hentikan! Kita lanjutkan lagi materinya.”

***
Cewek itu memainkan ponselnya untuk menghilangkan rasa bosan. Meski bel pulang telah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu, namun tetap saja yang ditunggu tak menunjukkan batang hidungnya. Padahal masih ada banyak pekerjaan yang menunggunya seusai pertemuan singkat ini. Tahu begini, lebih baik ia mengutus anggotanya saja untuk datang kemari. Bukannya malah datang seorang diri. Tapi.. ah, jika ia mengutus anggotanya itu artinya ia tak akan bisa melihat senyum manis itu. Juga mata sayu yang selalu membuat jantungnya berdegup tak normal.

“Hai, Ra.” sebuah suara menyapa indra pendengarannya,”Sorry, gue abis dari ruang guru. Elo kelamaan nunggu ya?”



[1] Selamat pagi

0 Commentary

Review please.. :)