Daffa mengusap wajahnya beberapa kali untuk mengusir
rasa kantuk yang kembali menyerang ketika tiba di depan pintu rumah Daniel, ia
tidak ingin terlihat seperti orang yang kelelahan di depan sahabatnya itu—meski
kenyataannya begitu—ia tidak ingin membuat Daniel semakin merasa tak enak hati.
Dan ia tidak ingin membuat Daniel terbebani dengan keadaannya yang kacau. Namun
matanya kembali menjadi segar ketika kakinya dilangkahkan masuk dan ia
mendapati sosok Daniel yang sedang asyik membaca novel di ruang tamu.
“Lho, Dan. Kok elo ada di sini sih?”
“Oh, hai Fa.” Daniel menutup novelnya, kemudian
tersenyum tipis pada sahabatnya. Namun senyum itu langsung memudar ketika
melihat keadaan Daffa yang kacau. Lagi-lagi
gue menyusahkan kalian, dan lagi-lagi gue buat keadaan kalian jadi kacau.
“Gimana keadaan lo?” Daffa langsung menghempaskan
tubuhnya di sebelah Daniel,”Udah baikan?”
Daniel mengangguk,”Seperti yang lo liat.”
Daffa menghela napas panjang,”Bagus deh kalau gitu.”
“Oh iya Fa, kok elo udah pulang sih? Ini kan baru
jam sepuluh.” Tanya Daniel, penasaran.
Daffa tersenyum tipis,”Gue ngantuk berat, ikut kelas
pun percuma karena nggak bakal ada yang nyangkut di otak. Jadi.. gue izin
pulang deh sama guru piket dengan alasan nggak enak badan. Eh iya, Vania mana
Dan? Kok nggak keliatan sih?”
“Vania udah tidur sejak setengah jam yang lalu. Gue
yang suruh sih, abis gue nggak tega soalnya dia udah keliatan ngantuk berat dan
kangen dunia mimpi kayaknya.” Daniel terkekeh,”Lo kalau mau tidur, tidur aja
gih sana.”
“Yakin lo nggak papa kalau gue tinggal tidur?” ada
rasa cemas yang mulai merayapi hati Daffa, ia tidak ingin meninggalkan
sahabatnya sendirian untuk yang kesekian kalinya. Alasannya hanya satu, apalagi
kalau bukan penyakit Daniel yang datang dan pergi seenak hati tanpa bilang
permisi?
“Udahlah Fa, kalau lo memang udah ngantuk berat
lebih baik tidur aja. Jangan terlalu memaksakan diri, nggak baik. Lagipula gue
nggak papa kali kalau lo tinggal, toh masih ada novel ini yang bakal menemani
gue.” Daniel melirik novel yang ada dalam pangkuannya.
“Yaudah deh sob, gue tidur dulu ya.”
Daniel mengamati punggung Daffa yang semakin menjauh
dengan tatapan sayu. Sorry Fa, gue udah
menyusahkan lo untuk yang kesekian kalinya.
***
Daniel menghela napas panjang yang kesekian kalinya untuk
mengusir rasa tidak nyaman yang mulai merambah dadanya. Entah kenapa
akhir-akhir ini kondisinya sering naik-turun seperti roller coaster, sebentar
membaik kemudian kembali memburuk. Mungkin karena kondisi jantungnya yang
semakin melemah dan mulai mengibarkan bendera putih pada kegiatan OSISnya yang
menggunung, atau mungkin karena malaikat maut yang sejak kecil menguntitnya
sudah tak sabar ingin mencabut nyawanya. Entahlah, ia tak tahu.
Helaan napas kembali dihembuskan dari bibirnya yang
mulai memucat, wajahnya yang semula mulus kini mulai dibanjiri oleh peluh-peluh
yang diproduksi oleh kelenjar keringatnya. Punggungnya yang semula tegak kini
mulai lemas, semakin bersandar pada sofa yang sejak tadi menjadi saksi bisu
kambuhnya penyakit sialan itu. Please...
jangan sekarang...
“Daniel!” suara maskulin itu menjadi penguat
kesadarannya yang hanya tersisa lima puluh persen.
“A-Ayah..” lirihnya dengan nada lemah.
“Kamu kenapa? Penyakitmu kambuh lagi? Sebelah mana
yang sakit?” gurat kecemasan tergambar jelas di wajah pria yang ada di hadapannya.
“Enggak yah, Daniel nggak papa.” sebuah garis tipis
melengkung di wajah pucatnya.
“Tap—“
“KYAAA!” terdengar jeritan Vania yang cukup
memekakkan telinga.
Cewek enam belas tahun itu memegang erat selimut
yang menyelubungi tubuhnya dengan ekspresi tidak percaya bercampur takut,
sementara Daffa yang baru saja kembali dari dunia mimpi dan belum sepenuhnya
sadar hanya mengerjap malas.
“KYAA.. Daffa! Apa yang lo lakukan ke gue! Kenapa
gue tidur di sini?! Tadi kan gue lagi tidur di sofa!” napas Vania memburu.
“WHAT?!”
teriak Daffa tak mau kalah,”Harusnya gue yang bilang kayak gitu, sipit! Seingat
gue tadi elo..”
“Apa?! Gue apa?!” Vania melotot dengan mata
sipitnya,”Elo.. uhh elo itu manusia macam apa sih sebenarnya?! Masa sahabat
sendiri mau elo nodai juga?!”
“Heh sipit, dengar ya sejak tadi juga gue enggak
sadar kalau ternyata di sebelah gue itu ada elo karena gue terlalu capek. Kalau
gue tau di sebelah gue ada elo, gue pasti udah tidur di sofa.” dengus Daffa.
Vania mengernyit, sejak tadi gue udah tidur di sini? Lah, terus yang memindahkan gue
siapa dong? Daffa? Err.. kayaknya enggak mungkin deh. Jangan-jangan...
“Yah, lebih baik Ayah ke atas deh. Takutnya Vania
kenapa-napa.” napas Daniel mulai memburu.
“Tapi.. kalau Ayah ke atas, kamu gimana?” fokus pria
berkacamata itu pecah, terbagi menjadi dua. Ia dihadapkan pada pilihan yang
sulit, antara menyelamatkan nyawa putra sulungnya atau menyelamatkan putri
sahabatnya.
“Yah..” pinta Daniel dengan wajah memelas,”Daniel
enggak papa kok kalau Ayah tinggal cuma sebentar.”
Pria itu mengangguk pasrah, kemudian melesat menuju
lantai dua. Mencari tempat kejadian perkara di mana ia mendengar suara teriakan
itu. Ada rasa tak percaya yang terlukis di wajahnya ketika melihat pemandangan
yang ada di hadapannya, pikiran negatif pun mulai merasuki benaknya. Ia tak
menyangka jika kamar anaknya akan dijadikan tempat mesum oleh kedua remaja yang
kini sama-sama memasang tampang polos. Seolah tak terjadi apa-apa.
“Kalian..” kalimatnya menggantung, tak tahu kata apa
yang harus ia gunakan untuk melengkapi kalimatnya.
“Ngg.. Om, ini nggak seperti yang Om pikirkan kok.”
Vania berlari kecil mendekati sang tuan rumah,”Vania sama Daffa enggak
ngapa-ngapain kok Om, suwer deh. Enggak berbuat mesum juga. Ini.. ini cuma
salah paham aja.”
“Iya Om, ini nggak seperti yang Om pikirkan kok.”
tambah Daffa, berusaha ikut meyakinkan.
Kemudian keduanya menjelaskan kronologi awal
kesalah-pahaman yang terjadi, dari a sampai z. Tanpa di bubuhi bumbu-bumbu
penyedap yang malah akan semakin membuat satu-satunya orang dewasa di kamar itu
naik pitam. Setelah paham apa yang terjadi, pria itu menghela napas lega
sembari manggut-manggut. Ternyata semuanya hanyalah kesalah-pahaman belaka.
Vania menghela napas lega sembari menghempaskan
tubuhnya ke kasur,”Oh iya, Om. Daniel mana?”
Daniel eh? dahi pria itu berkerut. Astaga!
Ia langsung bangkit dari duduknya, berlari keluar
kamar secepat kilat dengan ekspresi wajah yang tak bisa digambarkan dengan
kata-kata. Daffa dan Vania saling lempar pandang dan mengangkat bahu dengan
kompak, kemudian keduanya ikut berlari mengejar pria itu.
“Daniel!” dengan napas terengah-engah pria itu
melangkah menghampiri putra sulungnya yang sedang memeluk lutut sambil
bersandar di dinding dekat tangga.
Yang dipanggil tidak menyahut, masih terfokus dengan
rasa sakit yang sedang asyik menjajah dadanya. Ia sengaja duduk dengan pose
memeluk lutut ketika kedua kakinya sudah tak sanggup untuk diajak kompromi, plus kepala ditundukkan. Alasannya hanya
satu, ia ingin menyembunyikan rasa sakitnya dari orang lain ketika orang-orang
yang ada di rumah ini mulai bersliweran mencari dirinya. Argh.. sakit..
“Daniel!”
Hanya itu kata terakhir yang mampu ia dengar sebelum
kegelapan mengambil alih pandangannya.
***
“Dan, kamu yakin mau sekolah hari ini?”
Daniel mengangguk mantap sembari menyesap susunnya,”Iyalah
yah, ada banyak urusan OSIS hari ini.”
“Udah bawa obat?”
Daniel mengangguk.
“Inhaler?”
Kali ini Daniel tak mengangguk, wajahnya mendadak
lesu. “Ayah nggak usah meledek gitu deh, Daniel kan penderita jantung, bukan
penderita asma. Nggak butuh inhaler.”
“Tapi ini untuk jaga-jaga, Dan. Nanti kalau penyakit
kamu kambuh lagi terus anfal gimana?”
Daniel memutar bola matanya, berusaha mencari alasan
yang tepat untuk menghentikan pembicaraan yang kini sudah menjurus kearah
ceramah gratis. “Ada tabung oksigen di UKS kok yah, dan ada banyak petugas PMR
dadakan yang akan menolong Daniel.”
Hening. Pasangan Ayah dan anak itu tenggelam dalam
pikiran masing-masing sembari menyantap sarapan mereka. Hingga akhirnya Daniel
buka suara. “Ehm, Yah.”
“Iya? Ada apa?’
“Err—“
“Daniel...” teriak Vania dari luar rumah.
Yaudahlah
kapan-kapan aja nanyanya.
Cewek manis itu berlari kecil menghampiri Daniel,”Ohayou gozaimasu...”[1]
“O-ohayou..”
balas Daniel singkat,”Kesambet apa lo tiba-tiba nyapa pakai bahasa Jepang?”
“Hehe..” Vania nyengir,”kayaknya gue terpengaruh
sama dorama yang gue tonton semalem.”
“Ck, dorama mulu.” Daniel berdecak.
“Kenapa memangnya? Elo cemburu kalau gue liat
cowok-cowok ganteng nan kece yang bersliweran di dorama?” Vania menyipitkan
matanya, membuatnya lucu dengan ekspresi seperti itu. Dan membuat Daniel
terkekeh pelan.
“Enggak, sama sekali enggak.” Daniel menggeleng
keras,”Buat apa gue cemburu, toh gue juga nggak kalah ganteng dari mereka kok.”
“Huu.. narsisnya kumat deh!” Vania memanyunkan
bibirnya,”Om, anak Om itu sebenarnya sakit jantung apa sakit narsis sih?”
“Ehm, mungkin keduanya.”
Jawaban singkat itu langsung sukses membuat Vania
tertawa bahagia, akhirnya orang lain yang berpendapat sama dengannya bertambah
seorang lagi.
“Bahagia di atas penderitaan orang itu nggak baik,
Van.” Daniel mulai bangkit dari duduknya,”Udah ah, berangkat yuk! Kasian si
Daffa nanti lumutan di dalam mobil cuma karena nunggu kita.” tangan kanannya
langsung menarik tangan kiri Vania,”Yah, Daniel berangkat dulu ya.”
“Om, kita berangkat dulu ya. Tenang Om, nanti kalau
Daniel bandel nggak mau minum obat bakalan Vania cecokin kok.”
“Dan, lepasin dong..” rengek Vania sembari memukul
pelan tangan Daniel menggunakan sebelah tangannya yang bebas sejak semenit yang
lalu, entah itu rengekan dan pukulan yang ke berapa kali, ia lupa. “Sakit
nih...”
Daniel menghentikan langkahnya, kemudian langsung
melepas genggaman tangannya. Salah, bukan genggaman. Karena sejujurnya ia sama
sekali tak menggenggam tangan Vania, ia menarik tangan cewek itu. Vania
memanyunkan bibirnya saat melihat ada lingkaran merah di pergelangan tangannya,
kemudian melangkah menuju mobil Daffa. Masih dengan bibir yang dimajukan, yang
sukses membuat Daffa tertawa terbahak-bahak. Karena menurutnya Vania tak ada
bedanya dengan Donald Duck.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, ketiga sahabat
itu sama sekali tak saling sapa apalagi meluncurkan kalimat-kalimat bernada
menyindir mengenai guru-guru mereka di sekolah seperti yang biasa mereka lakukan
untuk mencairkan suasana. Yang ada hanyalah rasa canggung dan gengsi dari
Daniel yang belum mau meluncurkan kata maaf pada Vania, dengusan frustasi Daffa
atas suasana yang tercipta, serta kikikan pelan Vania yang sedang asyik
bermonolog ria dengan tablet pc
miliknya.
“Ehm, Van, Dan. Kalian berdua kenapa sih? Lagi ada
masalah?” tanya Daffa yang sudah tidak ahan lagi dengan suasana di dalam
mobilnya,”Nggak biasanya kalian saling acuh gini, biasanya cekikikan bareng.”
Vania menghentikan monolognya sejenak,”Gue? Gue lagi
nggak ada masalah kok, tapi enggak tau deh sama manusia yang ada di sebelah lo
itu.”
Daniel menghela napas,”Oke, gue salah karena udah
seenak jidat main tarik tangan lo. Dan gue mau minta maaf.”
Daffa tersenyum simpul, okesip masalah selesai!
“Permintaan maaf diterima!” teriak Vania dengan nada
girang, kemudian kedua tangannya melingkari leher Daniel dengan tangan kiri
yang masih memegang tablet pc.
Daniel agak tersentak dengan perpindahan gestur
Vania yang begitu cepat, ini maksudnya
apa?!
Bukan hanya Daniel yang tersentak dan memasang
ekspresi takut serta kaget, Daffa yang tadinya sedang asyik menyetir pun ikut
melengos. Tidak biasanya Vania seagresif ini pada lawan jenis, terlebih pada
sahabat sendiri. Ia menyangsikan kalau cewek yang sedang melingkarkan lengan ke
leher Daniel itu benar-benar Davania Salsabila, si sipit yang masuk dalam
jaring persahabatannya dengan Daniel sejak dua tahun lalu.
“Liat ini deh!” seru Vania sembari menunjukkan tablet pc miliknya tepat di depan wajah Daniel,”Gue yang buat loh! Lucu
nggak?”
Daniel mengernyit, kedua matanya masih mengamati
pemandangan yang tersaji di hadapannya. Sebuah potret dirinya, Vania, dan Daffa
dalam bentuk dua dimensi. Tetapi bukan potret itu yang membuatnya mematung,
melainkan pakaian yang melekat pada ketiga gambar itu. “Err, Van, ini—“
“Iyalah, gue yang buat. Memangnya menurut lo siapa
lagi yang berani menyentuh tablet pc milik gue tanpa seizin pemiliknya?”
potong Vania,”Komennya dong! Kan capek tau buatnya!”
Daniel menggosok tengkuknya,”Mmm.. lucu kok, tapi
kasian Daffanya elo nistain kayak gini.”
Daffa mengernyit, gue? Dinistain?
“Liat dong...” rajuk Daffa sembari curi-curi pandang
kearah tablet pc milik Vania.
Daniel memiringkan tablet pc Vania sedemikian rupa agar Daffa tidak bisa curi-curi
pandang lagi,”Enggak sekarang Fa, nanti kalau lo liat sekarang bisa-bisa kita
langsung masuk UGD lagi. Udah, elo fokus nyetir aja.”
Daffa mendengus, masuk
UGD? Maksudnya apa sih?!
***
Kini giliran Daffa yang memanyunkan bibirnya sesaat
setelah mereka turun dari mobil dan Daffa langsung melihat tablet pc Vania. Ia tak
habis pikir dengan Vania yang seenak dahi menggambar dirinya dalam bentuk dua
dimensi yang memakai pakaian pengawal kerajaan, sungguh derajat yang sangat
jauh jika dibandingkan dengan gambar dua dimensi Daniel yang memakai pakaian
pangeran dan gambar dua dimensi Vania yang memakai pakaian putri. Dan ia tidak
mengerti dengan jalan pikiran cewek sipit itu.
“Daffa kenapa? Ngambek nih ceritanya?” goda Vania
sembari mencolek pipi tirus sahabatnya.
“Masa pengawalnya marah sama pangeran dan putri sih?
Itu kan nggak ada dalam dongeng.” Daniel ikut menggoda Daffa sembari melingkarkan
sebelah lengannya ke pundak Daffa,”Mau bikin dongeng dengan jalan cerita yang
baru ya, Mas?”
“Lepas, nggak lucu tau!” Daffa berusaha melepaskan
lengan Daniel yang masih bertengger di pundaknya. Setelah berhasil, kedua
kakinya melangkah dalam irama cepat menuju kelas. Meninggalkan kedua sahabatnya
yang sudah sukses membuat mood-nya
anjlok pagi ini.
“Lho, Fa. Jangan marah dong! Kan cuma bercanda
tau..” teriak Vania, berusaha mengejar ketertinggalannya.
Bukannya berhenti, Daffa malah semakin cepat
melangkah. Bahkan kali ini langkahnya berubah menjadi lari kecil. Ia ngambek,
benar-benar ngambek pada kedua sahabatnya.
***
Vania menenggelamkan wajahnya di balik lengan yang
ia sedekapkan di atas meja, kemudian mengetukkan jemarinya dengan irama asal. Masa
bodoh dengan materi tentang lembaga sosial yang tengah diajarkan Bu Daniar.
Berusaha mendengarkan pun akan percuma, karena fokusnya telah menguap entah
kemana sejak kejadian di parkiran tadi.
Selalu aja
begini, dengusnya frustasi.
Sesekali matanya melirik kearah Daffa yang sedang
serius mendengarkan ocehan Bu Daniar, dan ia bisa melihat ada kekecewaan di
sudut mata cowok itu. Oke, ia akui kalau ia memang salah. Tapi ayolah.. gambar
itu hanyalah sekedar keisengan jemarinya saja. Dan biasanya Daffa juga akan
memaklumi keisengan jemarinya, tapi kenapa sekarang cowok itu tak bisa
memaklumi keisengan jemarinya? Seperti bukan Daffa Wirayudha yang telah ia
kenal sejak dua tahun yang lalu. Kemudian pandangannya dialihkan pada Daniel
yang duduk di sebelahnya, cowok itu tak kalah serius dengan Daffa. Tiba-tiba bibirnya
mengulas senyum tipis, entah apa alasannya. Ia tak tahu.
“Ehm, Davania Salsabila.”
Tubuhnya langsung ditegakkan seperti semula, kedua
matanya dipejamkan untuk menyiapkan mental. Kalau Bu Daniar sudah memanggil
namanya, itu artinya sebentar lagi Bu Daniar akan meluncurkan pertanyaan
padanya. Dan ia belum siap karena sejak tadi tak ada kalimat Bu Daniar yang
tersangkut di otaknya, semua materi itu hanya menumpang lewat saja. Masuk telinga
kanan, keluar telinga kiri.
“Apa yang dimaksud dengan internalisasi?”
Vania menggigit bibir bawahnya, sesekali matanya melirik kearah Daniel. Berusaha meminta bantuan pada sahabatnya. Tetapi Daniel malah membalasnya dengan tatapan gue-enggak-berani-kasih-tau-sorry-lo-tau-sendiri-kan-Bu-Daniar-itu-kayak-gimana. Vania menghela napas pasrah. Angkat tangan, ia sudah benar-benar angkat tangan pada pertanyaan yang diluncurkan oleh Bu Daniar.
“Ayo cepat jawab, jangan buang-buang waktu.”
“Err... proses pemasukan?” jawab Vania sekenanya yang langsung disambut gelak tawa oleh teman sekelasnya.
“Salah, jawabanmu itu salah. Makanya, lain kali kalau Ibu lagi jelasin materi kamu harus mendengarkan. Bukannya malah melirik Daniel terus senyum-senyum sendiri.”
Eh, pipi Vania bersemu. Ja-jadi...
“Ciee.. pipinya Vania merah lho..” goda Gendis yang duduk di depannya.
Kalimat Gendis semakin mengundang sindiran-sindiran dari satu kelas. Dan itu semakin membuat Vania gelagapan menyangkal tuduhan demi tuduhan yang dilemparkan pada dirinya.
“Sudah-sudah, hentikan! Kita lanjutkan lagi materinya.”
***
Cewek itu memainkan ponselnya untuk menghilangkan
rasa bosan. Meski bel pulang telah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu,
namun tetap saja yang ditunggu tak menunjukkan batang hidungnya. Padahal masih
ada banyak pekerjaan yang menunggunya seusai pertemuan singkat ini. Tahu
begini, lebih baik ia mengutus anggotanya saja untuk datang kemari. Bukannya
malah datang seorang diri. Tapi.. ah, jika ia mengutus anggotanya itu artinya
ia tak akan bisa melihat senyum manis itu. Juga mata sayu yang selalu membuat
jantungnya berdegup tak normal.
“Hai, Ra.” sebuah suara menyapa indra pendengarannya,”Sorry, gue abis dari ruang guru. Elo kelamaan nunggu ya?”
0 Commentary
Review please.. :)