Letting You Go—Third

Fa // Senin, 23 Juni 2014


Tadinya ia ingin bilang, ‘iya gue udah lama nunggu, elo lama banget sih’. Tapi yang keluar malah kalimat seperti ini,”Enggak kok, gue nggak kelamaan nunggu. Santai aja kali.”

Kakinya dilangkahkan mendekati cowok itu,”Oh iya, Dan. Jadi gimana keputusannya? Pemuda Bangsa jadi ikut Persada Championship minggu depan kan?”

Cowok itu—Daniel—mengangguk mantap,”Pasti jadi dong, lagipula Pak Kepala Sekolah udah kasih gue kekuasaan sepenuhnya untuk mengatur Pemuda Bangsa agar bisa maju dan jadi lebih baik lagi. Dan.. Persada Championship salah satunya.”

Ia hanya tersenyum tipis sebagai respon atas jawaban Daniel. Seperti biasa, Daniel memang paling bisa membuatnya terpesona. Meski hanya dengan sebaris kalimat ataupun seulas senyum. Rasanya semua kejadian tak terduga selama di sekolah tadi yang membebaninya mendadak lenyap ditelan bumi. Tergantikan oleh perasaan ringan yang tak mampu untuk ia jelaskan.

“Daniel.. Daffanya udah enggak marah lagi lhoo...” teriak Vania dengan nada girang sembari melangkahkan kaki menuju ruang OSIS, menghampiri sahabatnya. Sementara Daffa yang mengekor di belakang Vania hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan sahabatnya yang seperti bocah lima tahun.

“Dan—eh, ada Kira.” Vania sedikit tertegun ketika mendapati sosok anggun yang ada di hadapan Daniel, entah kenapa ada perasaan tidak rela yang mulai menyelimuti hatinya. Ia tidak rela melihat Daniel berduaan dengan cewek lain. Daniel itu miliknya! Miliknya!

Cewek itu—Kira—mengulas senyum tipis, ada perasaan aneh yang memenuhi dadanya. “Hai, Van. Apa kabar?”

Basa-basi, itulah sinyal pertama yang ditangkap oleh Vania ketika Kira menyapanya. Cewek itu memang hobi berbasa-basi atau memang ingin sok akrab dengannya sih? Karena jika dihitung-hitung, ini bukan kali pertama Kira berbasa-basi dengannya. “Gue? Gue baik kok, seperti yang lo liat.”

“Kalian rame banget sih dari luar.” komentar Daffa yang baru sampai di ruang OSIS,”Oh, ada Kira. Pantas aja.”

Dasar pengganggu, gerutu Kira dalam hati.

“Oh iya, karena udah dapat kepastian dari lo dan udah nggak ada yang perlu gue utarakan lagi.. jadi lebih baik gue pulang aja deh.” pamit Kira,”Bye, sampai jumpa minggu depan ya!”

Setelah yakin sosok Kira menjauh, Vania langsung melangkah mendekati Daniel. Berniat menginterogasi sahabatnya. “Kepastian? Kepastian apa yang dimaksud Kira?”

Daniel mengernyit, hah?

“Pasti tentang Persada Championship ya?” potong Daffa,”Pemuda Bangsa jadi ikut Dan?”

Thanks Fa, Daniel menghela napas lega.

Vania mematung,  jadi tentang itu?

“Jadilah, kan lumayan untuk menambah pengalaman tim basket, tim futsal, tim voli, dan tim bulutangkis.” Daniel memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana depannya,”Oh iya, Fa. Besok buat pengumuman untuk rapat sama semua ketua tim yang gue sebut tadi.”

“Hai, kak..” sebuah suara menyapa indra pendengaran mereka,”hari ini jadi rapat untuk bakti sosial bulan depan kan?”

Daniel mengangguk,”Masuk dek, jangan diambang pintu begitu. Oh iya, udah dapat dana tambahan untuk disumbang?”

Tsabita menggeleng,”Hah, boro-boro dana tambahan untuk sumbangan kak. Pakaian layak pakai sama buku-buku bekas aja enggak ada yang mau nyumbang. Bener-bener payah deh anak Pemuda Bangsa. Masa enggak mau berbagi sama yang nggak beruntung.”

“Yaudahlah, Ta. Toh acaranya kan masih bulan depan, masih ada kesempatan untuk mengubah pola pikir anak-anak sini.” Vania menepuk pundak Tsabita.

“Minta bantuan sama anak PMR aja dek, setau gue sih anak PMR paling jago buat urusan sumbang-menyumbang kayak gini. Ingat nggak acara bakti sosial PMR bulan lalu? Dana sumbangannya hampir lima juta lho.” usul Daffa.

Tsabita mengangguk,”Oke, nanti gue bakal minta bantuan sama anak PMR.”

Satu-persatu anggota OSIS yang lain mulai berdatangan, menduduki kursi masing-masing di meja rapat yang mereka sebut meja sidang karena warna peliturnya yang sama seperti pelitur meja sidang.

***
“Tuh kan.. laba-ruginya enggak balance lagi...” teriak Vania frustasi sembari menatap tugas kertas kerja yang diberikan Bu Meyke. Pensil yang sedari tadi ada dalam genggamannya langsung dilempar keatas meja dengan kasar. Entah sudah teriakan yang keberapa kali, baik Vania, Daffa, maupun Daniel sama-sama tak ada yang ingat. Yang mereka ingat hanyalah nada teriakan Vania, bahkan Daffa sampai hapal diluar kepala.

Daffa melirik kertas kerja milik Vania, mencari bagian yang salah. Mungkin saja cewek sipit itu salah memasukkan perkiraan. Yang seharusnya ada di sebelah debet, malah ditaruh di sebelah kredit. “Dodol! Pantas aja enggak balance, elo salah masukin tau! Sejak kapan penjualan diterima di muka masuk ke neraca? Masuknya ke laba-rugi tau! Makanya, kalau punya buku cetak dibaca dong. Jangan cuma dijadiin pajangan aja.”

Vania manyun, merasa tak terima dengan kalimat Daffa. “Yaudah dong, santai aja bisa kali. Nggak usah pakai urat gitu. Kita kan lagi belajar bersama, bukan lagi buat bakso bersama!”

Daniel hanya terkekeh melihat kelakuan kedua sahabatnya yang seperti Tom and Jerry, sering bertengkar namun sebenarnya saling peduli dan saling menyayangi. Kemudian matanya melirik ke kertas kerja milik Daffa, ingin mengoreksi pekerjaan sahabatnya. “Punya lo juga salah tuh Fa, kalau kertas kerja yang pakai pendekatan HPP itu pembelian sama beban angkut pembelian harusnya nol. Lah, elo beban angkut pembeliannya masih ada. Mungkin jurnal penyesuaian lo salah juga kali, coba deh cek lagi.”

Vania mengulurkan lidahnya kearah Daffa, sendirinya aja salah!

“Oh iya, apa yang kalian pikirkan tentang kita dan.. kertas kerja?” tanya Vania. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak memainkan permainan ini.

“Nggak ada yang bisa gue pikirkan tentang kita dan kertas kerja, yang bisa gue pikirkan hanyalah tentang Vania dan kertas kerja.” jawab Daffa sekenanya,”Vania yang selalu salah masukin akun ke dalam kertas kerja, Vania yang selalu teriak-teriak frustasi saat kertas kerjanya enggak balance, dan Vania yang nggak akan pernah bisa menyelesaikan kertas kerjanya seorang diri.”

Vania menatap Daffa dengan tatapan membunuh, ia tak terima dengan kalimat Daffa yang seenaknya meluncur begitu saja tanpa ada pertimbangan terlebih dahulu. “Terus aja Fa, terus aja nyindir gue, terus aja pojokin gue!”

“Persahabatan kita seperti kertas kerja, kalau ada yang salah pasti akan langsung dikoreksi dan dihitung ulang. Jadi nggak akan timbul kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.” Daniel angkat suara sebelum adu mulut antara Daffa dan Vania mulai bergeser kearah adu lempar barang.

“Nah, itu dia jawaban bermutu yang mau gue dengar! Nggak kayak jawabannya Daffa.” Vania mengacungkan kedua ibu jari tangannya pada Daniel,”Daniel memang paling bisa jawab yang beginian.”
Kini giliran Daffa yang menatap kedua sahabatnya dengan tatapan membunuh, ada rasa aneh yang menyelimuti hatinya ketika Vania selalu memuji Daniel. Mungkin perasaan iri, atau mungkin.. perasaan cemburu kah? Cemburu atas dasar apa? Ahh.. ia sungguh tak mengerti dengan perasaan itu.

***
Kira menutup buku sosiologinya dengan kasar, kemudian menidurkan kepalanya di atas tangan yang telah ia sedekapkan di atas meja. Pertemuan singkat dengan Daniel dua hari yang lalu benar-benar belum memuaskan hatinya, semua skenario yang telah ia susun dengan apik gagal total akibat terinterupsi oleh Vania dan Daffa. Dan ia ingin bertemu lagi dengan Daniel, berbincang dengan cowok itu untuk mengenalnya lebih jauh lagi. Tapi ia tak punya alasan untuk kembali menjejakkan kaki di SMA Pemuda Bangsa karena semua urusan dengan sang ketua OSIS telah selesai.

“Gue payah banget ya..” gumamnya entah pada siapa, diiringi dengan dengusan singkat.

Payah, ia memang payah. Sudah dua tahun terakhir ia menyimpan rasa pada Daniel sejak pertemuan tak terduga mereka di sebuah perlombaan yang diadakan oleh Dinas Pendidikan, namun ia dan Daniel belum menjabat sebagai ketua OSIS saat itu. Namun sampai sekarang ia belum berani melepas sinyal-sinyal suka pada Daniel.

“Ra, Bu Dara manggil kita di ruangannya. Katanya sih mau tanya tentang persiapan Persada Championship yang udah tinggal menghitung hari.” suara Luna membuyarkkan lamunannya.

“Eh, i-iya.”

“Elo kenapa sih, Ra? Akhir-akhir ini hobi banget melamun, memangnya apa sih yang elo lamunkan?” tanya Salvia penasaran di tengah perjalanan mereka menuju ruang kepala sekolah,”Ehm, jangan-jangan elo lagi melamun tentang Daniel ya? Ketua OSIS Pemuda Bangsa itu.”

Sontak pipi Kira bersemu,”Eh, enggak kok. Siapa juga yang melamun tentang Daniel. Gue lagi melamun tentang Persada Championship kok.”

Sekuat apapun Kira menyangkal, namun Salvia masih bisa mencium aroma kebohongan yang sengaja ditutup-tutupi oleh sahabatnya itu. “Udahlah, nggak perlu bohong sama gue. Gue kan sahabat lo.”

“E-eh, enggak kok. Jangan sok tau deh!” sangkal Kira.

“Ya ampun, Ra. Kalau tadi elo memang lagi melamun tentang Persada Championship, kenapa pipi lo merah gitu?” selidik Salvia,”Udahlah, akuin aja kalau tadi itu elo lagi melamun tentang Daniel.”

Kira menghentikan langkahnya,”Stop it, Sal! Kita memang sahabat, tapi nggak semua rahasia yang gue punya itu elo mesti, kudu, harus, dan wajib tau. Ada kalanya elo nggak terlalu perlu mencampuri rahasia gue!” Kira melanjutkan langkahnya dalam irama super cepat.

“Lho, Ra. Kok marah sih?” Salvia mengejar langkah Kira.

***
“Daniel.. bangun dong!” Vania mengerucutkan kurvanya, jemarinya yang sedang iseng dan tak ada kerjaan—karena tablet pc miliknya lowbat mendadak dan ia lupa membawa charger—diketukkan beberapa kali dengan irama asal ke lantai keramik yang sedang ia duduki. Setengah jam yang lalu ia memang sedang duduk di atas kursi yang ada di samping ranjang rumah sakit tempat Daniel terbaring, namun beberapa menit yang lalu ia sengaja duduk di lantai. Selain untuk meluruskan kaki jenjangnya yang mulai digerayangi rasa pegal, juga untuk mengusir rasa bosan yang sudah mencapai batas maksimum.

“Van,” suara Daffa membuat Vania mau tak mau mendongakkan wajah,”Daniel belum sadar juga?”

Vania mengangguk pelan, kemudian mengetukkan kembali jemarinya ke lantai. Daffa melangkah mendekati sofa yang ada di sudut ruangan, menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk itu. Kepalanya direbahkan di atas kedua tangannya yang telah dilipat sedemikian rupa, menatap langit-langit kamar rumah sakit dengan tatapan kosong. Keadaan mendadak hening, lama sekali. Hingga sebuah langkah kaki mendekat.

”Kak Daniel!”

Vania dan Daffa menoleh secara kompak kearah pemilik suara yang sedang berdiri di balik pintu, seorang cewek dengan rambut lurus sepunggung dan poni belah tengah khasnya. “Adel?!” ucap keduanya, kompak.

Sang oknum hanya tersenyum salah tingkah mendengar kalimat yang keluar dari dua orang yang ada di dalam kamar, kemudian melangkah masuk. “Hai Kak Vania, hai Kak Daffa.”

“Hai, Del.” balas Vania ramah. Sementara Daffa membalas sapaan itu dengan ogah-ogahan, itupun setelah mendapat tatapan tajam dari Vania. Karena sejujurnya ia malas berbincang-bincang dengan cewek itu, meskipun kenyataannya cewek itu adalah adik dari sahabatnya. Namun ada masa lalu yang kelam antara ia dan gadis itu, yang membuatnya bersikap seperti sekarang ini.

“Tumben kesini, dalam rangka apa nih?” tanya Daffa dengan nada yang tidak mengenakkan hati.

“Kak Daffa kok gitu sih nanyanya, memangnya salah ya kalau gue jenguk Kak Daniel? Apapun yang terjadi kan Kak Daniel tetap kakak kandung gue, DNA gue dan Kak Daniel yang bilang begitu.” Adel ikut meluruskan kaki jenjangnya di sebelah Vania.

“Nggak usah mengalihkan pembicaraan deh, jawab aja pertanyaan gue.” balas Daffa tidak santai.

“Dalam rangka pindah sekolah.” jawab Adel singkat.

“Pindah sekolah? Memangnya kenapa sama sekolah lama lo di Bandung? Elo bermasalah ya di sana? Atau... elo udah nggak betah tinggal sama Bunda lo? Jadi elo memutuskan untuk tinggal sama Ayah lo dan Daniel?” tanya Daffa panjang lebar, yang kedengarannya malah seperti sedang menginterogasi.

Adel menghela napas panjang,”Elo kenapa sih Kak? Gitu banget nanyanya. Masih dendam sama gue gara-gara kejadian tiga tahun yang lalu? Move on dong Kak, jangan terjebak dan dikejar masa lalu terus!”
Keadaan kembali hening.

“Tapi pindah sekolah bukan satu-satunya alasan gue datang kesini.” suara Adel memecah keheningan di antara mereka.

Vania menoleh kearah Adel dengan tatapan terus-apa-lagi-dong-alasan-lo. “Keadaan Kak Daniel.” Adel menghela napas sejenak,”Kemarin gue nggak sengaja menguping pembicaraan Ayah dan Bunda tentang Kak Daniel di telepon. Keadaan Kak Daniel semakin memburuk, dan gue merasa jadi adik paling durhaka dan nggak peduli sama kakak sendiri. Karena gue nggak pernah ada di samping Kak Daniel sewaktu dia butuh gue. Jadi.. gue minta izin ke Bunda untuk tinggal sama Ayah dan Kak Daniel, untuk menebus semua kesalahan dan waktu yang nggak pernah gue luangkan buat Kak Daniel. Gue mau terus ada di dekat Kak Daniel sampai dia menghembuskan napas terakhirnya, gue nggak mau punya sedikit kenangan tentang Kak Daniel.”

Daffa membisu, satu-satunya cewek yang paling muda di antara mereka kini telah berubah. Tidak lagi seperti dahulu yang egoisnya setengah mati dan manjanya melebihi kucing peliharaan neneknya. Ada rasa kagum yang ia selipkan dalam hati untuk cewek itu.

“Oh iya, rencananya elo mau pindah sekolah kemana?” tanya Vania penasaran.

“Jangan bilang elo mau pindah ke SMA Pemuda Bangsa!” terka Daffa.

Adel tersenyum tipis,”Bukan gue yang bilang lho ya, tapi elo. Yah, meskipun kenyataannya begitu sih.”

Daffa memandang dengan tatapan aneh. Triple D sudah tidak akan sama lagi dengan Trio Harry Potter dengan kedatangan Adel! Dan semuanya pasti akan berubah, berubah tiga ratus enam puluh derajat. Jungkir balik. Kehidupannya tak akan sama lagi dengan kemarin, sehari sebelumnya, dan hari-hari sebelum kedatangan Adel. Kehidupannya tiga tahun yang lalu mungkin akan kembali terulang.

Adel terkekeh melihat perubahan ekspresi Daffa yang terlihat sangat lucu di matanya,”Temen lo kenapa sih Kak?” siku kirinya menyenggol lengan kanan Vania.

Vania hanya bisa mengangkat bahu,”Entahlah, mungkin penyakit ajaibnya lagi kambuh.”

Kekehan Adel langsung berubah menjadi tawa ringan setelah mendengar jawaban Vania. Dan tawa itu langsung berhenti ketika suara erangan kecil menyapu indra pendengaran mereka, ketiganya langsung melesat menghampiri Daniel. Ketika membuka kelopak mata, Daniel langsung disuguhi dengan tiga wajah yang sudah sangat ia kenal. Plus ekspresi cemas yang menghiasi wajah-wajah itu. “Vania? Daffa?.. Adel?!”

Dahinya berkerut, Adel?! Ini bukan khayalan kan?

Adel mengangguk,”Iya Kak. Ini gue, Dandelia Zaradiva, adik lo yang paling manis dan paling cantik.”

“Nggak usah narsis bisa nggak sih? Ck, enggak kakaknya, enggak adiknya, dua-duanya sama-sama narsis!” Vania menggembungkan kedua pipinya, kemudian mengempiskannya kembali.

“Dan, gue panggil Om David dulu ya?” pamit Daffa, kemudian langsung melesat ke ruangan Ayah Daniel.

“Van, bisa bantu gue duduk nggak? Punggung gue pegel banget nih.” pinta Daniel dengan tampang memelas.

Vania terkekeh pelan, kemudian membantu Daniel duduk. “Gimana punggung lo nggak pegel, Dan. Elo kan udah tiga hari koma dan terbaring di ranjang rumah sakit terus. Gue panggilin, elonya enggak bangun-bangun.”

Lah, elonya dodol. Orang koma dipanggil-panggil, mana bisa dengarlah! Lanjut Daniel dalam hati.

“Tiga hari? Berarti lusa Persada Championship ya?” tanya Daniel.

Vania mengangguk, kurvanya yang telah terbuka langsung ditutup rapat lagi. Karena sudah ada yang lebih dulu menginterupsi.

“Tapi kamu belum boleh keluar rumah sakit, Dan.”

Suara maskulin itu membuat semangat Daniel yang sudah terkumpul begitu mengingat Persada Championship mendadak surut lagi. “Tapi Yah...”

“Nggak ada tapi-tapian, sekali enggak tetap enggak. Kecuali kalau keadaan kamu udah stabil, baru kamu boleh keluar dari rumah sakit.”

Daniel memasang ekspresi lucu saat sang Ayah memeriksa keadaannya, benar-benar lucu sehingga membuat Daffa, Vania, dan Adel terkikik. Benar-benar lucu karena mereka sama sekali belum pernah melihat Daniel dengan ekspresi seperti itu, dan benar-benar lucu karena mereka tak habis pikir kalau ketua OSIS Pemuda Bangsa yang biasanya memasang ekspresi keren saat di sekolah ternyata menyimpan ekspresi seperti itu. Dengan bibir yang dimajukan, tatapan yang dipincingkan entah kemana, dahi yang berkerut, alis yang bertautan, dan ditambah dengan kedua tangan yang dilipat di dada. Membuatnya seperti bocah lima tahun yang kehilangan lolipop!

***
Daniel menatap langit-langit kamar rumah sakit dengan tatapan kosong, percakapan antara Ayahnya dan Dokter Pram yang kebetulan juga satu spesialis dengan Ayahnya kembali terngiang. Percakapan yang kembali menggiringnya ke dunia lain untuk yang kesekian kalinya.

0 Commentary

Review please.. :)