Tak ada
persahabatan yang sempurna dan abadi di dunia ini, yang ada hanyalah
orang-orang yang berusaha menyempurnakan dan mengukuhkan persahabatannya
***
“Lebih baik kamu pulang duluan aja deh, Ra. Aku
masih mau latihan paduan suara dulu. Kalau kamu menungguku pasti kamu akan
bosan deh, lagipula.. memangnya ada angkot yang lewat kalau kamu tetap keukeuh mau menungguku sampai selesai
latihan paduan suara?” ucap Keke ketika langkahnya bergema di lorong sekolah
yang sudah hampir kosong mengingat bel pulang baru saja berbunyi beberapa menit
yang lalu, di belakangnya ada sang sahabat yang setia mengekor—Kirana.
Kirana menghentikan langkahnya, terlihat berpikir
keras. Ucapan Keke barusan memang ada benarnya, namun ia tidak bisa begitu saja
meninggalkan sahabat semata wayangnya itu. Ia selalu terbiasa pulang dengan
Keke, rasanya akan sangat berbeda sekali jika ia pulang tanpa sosok Keke di
sampingnya. “Tapi.. bukankah aku udah terbiasa menunggumu? Lagipula... pulang
sendirian itu nggak enak, nggak ada yang biasa diajak mengobrol.”
“Tapi latihan kali ini akan sangat lama, karena
bulan depan paduan suara sekolah kita akan mengikuti lomba paduan suara yang
diadakan oleh SMA Garuda.” dengus Keke,”Nggak usah memikirkan bagaimana caranya
aku pulang, akan ada pak supir yang menjemputku nanti. Pikirkan aja dirimu
sendiri!” Keke kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terinterupsi,
meninggalkan Kirana dengan langkah cepat.
Yah, begitulah mereka. Kirana dan Kenisha. Dua sahabat
yang sifatnya saling bertolak belakang namun terikat menjadi satu kesatuan,
seperti sebuah koin yang memiliki dua sisi. Kirana, si kalem yang sangat
perhatian dan pengertian pada sahabatnya. Sehingga banyak yang menjulukinya
sebagai bayangan Keke, karena kemana Keke pergi di sanalah Kira mengekor. Dan
Keke, si aktif yang punya segudang kegiatan di sekolah yang selalu menyita
waktunya. Sehingga menimbulkan kesan bahwa ia dan Kirana tak cocok menjadi
sahabat, lebih cocok menjadi putri dan dayang. Karena Keke selalu memaksakan
kehendaknya pada Kirana, dan Si Kalem itu hanya bisa mengangguk dan mengabulkan
kehendak sahabatnya.
Kirana menatap nanar punggung Keke yang semakin lama
semakin menjauh, dia udah berubah...
***
“Kiraaa..” Kirana yang sedang asyik membaca buku
cetak geografinya mau tak mau harus menoleh kearah suara yang sudah sangat
dikenalnya itu—suara Keke,”hari ini aku duduk sama Hani ya?”
Belum sempat Kirana mengangguk dan mengucapkan
sepatah kata, Keke langsung mencubit gemas sebelah pipinya.
“Makasih Kiraa..” dan
si aktif itu langsung melesat ke tempat duduk barunya, meninggalkan Kirana yang
masih belum mengerti dengan sikap aneh sahabatnya itu.
Perasaan tadi
aku belum mengucapkan sepatah katapun deh,
Kirana menghela napas panjang. Dan ini
udah yang ke sembilan belas kalinya dia pindah tempat duduk dalam semester ini.
Kirana menutup buku cetak geografinya, iris coklat
gelapnya berputar dengan cepat demi mencari sosok gadis cantik nan enerjik yang
selalu ceria dan cerewet itu. Setelah berhasil menemukan sosok yang ia cari, pandangannya
langsung dipakukan pada sosok itu yang kini sedang asyik tertawa renyah dengan
teman sebangkunya yang baru. Meski ada rasa sedih yang mulai memenuhi dadanya,
namun ia terpaksa menyunggingkan senyum tipis. Berusaha ikut merasakan
kesenangan yang dirasakan sosok itu.
“Pagi anak-anak...” seorang wanita cantik dan modis
melangkah masuk ke dalam kelas.
“Pagi bu...” koor satu kelas kompak.
Dan mata pelajaran bahasa indonesia pun menjadi mata
pelajaran pembuka kali ini. Di tengah pelajaran, seorang pria setengah baya
menginterupsi materi tentang cerpen yang sedang diajarkan oleh Bu Nadia. Yang
paling terkejut dengan kehadiran pria itu adalah Kirana, ada tanda tanya yang
mulai bermunculan di dalam benaknya ketika melihat sosok yang sangat jarang ia
jumpai itu kini tiba-tiba datang ke sekolahnya.
Mungkinkah ada
sesuatu yang penting? Tapi apa?
“Kirana, cepat bereskan buku-buku dan peralatanmu.”
perintah Bu Nadia ketika perbincangannya dengan pria itu telah usai.
Ada apa ini?
Kirana mengangguk dan mulai memasukkan satu-persatu
peralatan sekolahnya ke dalam tas. Kemudian melangkah mendekati Bu Nadia dan
pria itu. Setelah pamit pada Bu Nadia, ia mengekor sang Om yang telah melangkah
mendahuluinya.
Kirana menghela napas panjang, hatinya mulai
diselimuti rasa gelisah. Sebenarnya ada
apa ini? Kenapa Om Rianto menjemputku secara mendadak begini?
***
“Om, kenapa Om menjemputku?” suara Kirana memecah
keheningan yang terjadi di dalam mobil sejak beberapa belas menit yang
lalu,”Ada apa memangnya? Lalu kenapa ayah dan bunda nggak ikut?”
Pria setengah baya itu masih bungkam, seperti ada
lem super lengket yang membelenggu kurvanya. Ia bungkam bukan karena ingin
fokus menyetir, melainkan karena tak tahu apa yang harus ia katakan pada keponakan
semata wayangnya itu. Ia masih kalut dengan kejadian tak terduga yang menimpa
abangnya, masih belum bisa memercayai semua kenyataan yang pada awalnya ia
anggap fatamorgana.
“Om... kenapa nggak menjawab pertanyaaan Kira?”
Kirana mendesah, sikap aneh Omnya yang satu itu semakin membuat hatinya
bertambah gelisah.
“Om..”
“Nah, sudah sampai.”
Bukan, bukan kalimat seperti itu yang ingin Kirana
dengar. Melainkan sebuah kalimat yang merupakan pasangan dari semua
pertanyaannya. Tapi yang meluncur dari bibir Om Rianto malah kalimat seperti
itu, kalimat yang membuat hati Kirana bertambah gelisah. Serta membuat kurvanya
dimajukan beberapa sentimeter. Khas seorang bocah saat sedang merajuk karena
permintaannya tidak dituruti.
“Kenapa nggak turun? Cepat sana turun.”
Kirana yang sedari tadi menundukkan wajah mau tak
mau harus mendongak, tapi dahinya langsung berkerut ketika melihat suasana
rumahnya yang begitu ramai. Tak seperti biasanya. Belum lagi dengan wajah-wajah
sendu yang keluar-masuk dari rumahnya. Dan.. bendera kuning!
“O-om.. ke-kenapa ada bendera kuning?” suaranya
mulai serak akibat menahan tangis, ada genangan air mata yang mulai terbendung
di pelupuk matanya. Om Rianto kembali bungkam, wajahnya ditundukkan sedemikian
rupa agar keponakannya tercinta tak melihat air mata yang sudah tak dapat ia
bendung lagi.
“O-om..”
Kesal.
Kirana kembali tak mendapatkan jawaban atas
pertanyaannya. Akhirnya ia memutuskan untuk turun dari mobil, berlari kecil
menuju rumahnya. Demi mendapatkan jawaban, jawaban yang tak pernah ia dapatkan
dari Om Rianto. Kakinya mendadak lemas, seperti tak memiliki tulang ketika
indra penglihatannya menangkap sebuah sosok yang telah terbujur kaku di tengah
ruangan. Kegelapan hampir merenggut penglihatannya, namun ia berusaha melawan
kegelapan itu. Tak jadi pingsan. Bendungan di pelupuk matanya sudah tak mampu
lagi menampung air matanya, bendungan itu jebol. Membentuk dua buah sungai
berarus deras yang membelah pipinya.
Ia tahu.
Ia telah menemukan benang merah.
Dan ia telah menemukan jawaban atas pertanyaannya
sendiri.
“A-ayah..” lirihnya dalam volume kecil.
“Kira..”
Kini ia berada dalam rengkuhan hangat bundanya,”Ayah
bun, ayah..”
***
Gadis tujuh belas tahun itu duduk sembari memeluk
kedua lututnya yang telah ditekuk. Ada butiran bening yang kembali meluncur
dari pelupuk matanya ketika mengingat kejadian kemarin. Bukan, bukannya tidak
mengikhlaskan kepergian ayahnya yang sangat mendadak akibat serangan jantung.
Melainkan kecewa pada sahabat semata wayangnya. Kemarin ia tak melihat sosok
Keke di antara puluhan murid-murid SMA Pemuda. Ada banyak tanda tanya yang
bernaung di benaknya. Kemanakah gerangan Keke kemarin? Mengapa gadis aktif itu tak
datang untuk sekedar berbela sungkawa dan menenangkan hatinya?
Entahlah, ia tak tahu.
“Kira,”
Air matanya langsung segera dihapus begitu mendengar
suara lembut yang berasal dari sang ibu menyapa gendang telinganya,”Ada apa bun?”
“Ada Kak Riko di ruang tamu, katanya mau ketemu kamu
tuh. Temui gih, kasihan dia. Kayaknya ada sesuatu yang mau dibicarakan
denganmu.”
Kepalanya dianggukan, tanda mengerti. Kemudian
kakinya melangkah menuju ruang tamu, menghampiri pemuda yang dua tahun lebih
tua darinya. “Kak Riko..”
“Eh, Kira. Kamu.. habis menangis ya?” selidik Riko.
“Enggak kok Kak.” sanggah Kirana.
“Sekuat apapun kamu menyangkal, tapi matamu yang
sembab nggak bisa menyembunyikannya. Udahlah, kalau kamu mau menangis, menangis
aja. Luapkan segala emosi dan kekecewaanmu, menangis itu salah satu jalan
terbaik untuk meluapkan emosi dan kekecewaan. Karena setelah itu, pasti kamu
akan merasa sangat lega.”
Tanpa komando dari siapapun, Kirana langsung melingkarkan
kedua lengannya di pinggang Riko serta mendekap erat dada bidang Riko. Meski
perubahan gestur Kira begitu cepat dan sedikit membuat Riko kaget, namun pemuda
itu sama sekali tak merasa risih. Ia memaklumi sikap Kirana. Setelah kurang
lebih setengah jam bertahan dengan pose seperti itu dan Kirana merasa bahwa air
matanya telah terkuras habis, akhirnya ia melepas pelukan itu.
“Maaf ya kak kalau Kira lancang dan main peluk Kakak
seenak hati.” Kirana menatap ujung sandal Hello Kitty yang menjadi alas
kakinya.
“Nggak papa kok, tapi sekarang perasaanmu udah lega
kan?”
Kirana mengangguk,”Oh iya, tadi kata bunda ada yang
mau Kakak bicarakan denganku. Apa itu Kak?”
Riko menggosok tengkuknya, merasa bingung harus
memulai dari mana. Dan merasa sangsi kalau gadis yang ada di hadapannya ini
akan menerima ajakannya dengan senang hati. Mengingat Kirana masih berada dalam
masa berkabung. “Err.. kamu tau kan kalau minggu depan sekolah akan mengadakan prom night
dalam rangka perayaan ulang tahun sekolah yang ke tiga puluh?”
Kirana tersenyum tipis—senyum yang dipaksakan,”Tau
kok Kak, kenapa memangnya? Kakak mau memintaku untuk menjadi pasangan prom?”
Eh? Riko semakin kikuk.
“Maaf ya Kak, tapi kan Kakak tau kalau aku nggak
tertarik sama acara semacam itu. Lebih baik Kakak cari pasangan lain aja ya..”
tolak Kirana dengan halus.
“Tapi Ra.. kalau nggak pergi sama aku itu artinya
aku harus pergi sama gadis centil itu.” terdengar nada kecewa yang terselip di
kalimat Riko.
“Gadis centil? Maksudnya Kak Melody?” kedua alis
Kirana bertautan.
Riko mengangguk,”Masa kamu tega sih membiarkan dua
jam berhargaku yang seharusnya menyenangkan menjadi dua jam yang menyiksa lahir
dan batin?”
Kirana mematung, memangnya
nggak ada gadis lain yang bisa dan mau diajak ke prom apa?
“Nggak ada, mereka menolaknya mentah-mentah dengan
ekspresi takut. Entahlah, mungkin Melody udah mengancam mereka.” jawab Riko
enteng, seolah-olah ia bisa membaca pikiran Kirana.
“Apa Kak Melody nggak akan mencak-mencak saat
melihat Kakak berduaan denganku di prom?”
tanya Kirana, sekedar iseng.
“Nggak, dia nggak akan marah. Jadi.. kamu mau kan?”
Akhirnya Kirana mengangguk dengan pasrah.
***
Iris coklat gelap Kirana tak kenal lelah mengekor
sosok Keke yang sedari tadi berpindah dari kerumunan yang satu menuju kerumunan
yang lainnya, tak seperti dirinya. Hanya duduk di atas sofa beludru berwarna
merah yang ada di salah satu sudut ruangan yang di sesaki para muda-mudi yang
terlihat sangat menikmati detik demi detik jalannya acara prom ini. Tiba-tiba dadanya terasa sesak, bukan karena serangan
jantung karena sang ayah tercinta tak menurunkan penyakit itu pada dirinya.
Melainkan sesak yang akan kau rasakan ketika kau dan sahabatmu bertengkar dan
mulai berjauhan dalam kurun waktu yang lama, dan akibat gengsi yang terlalu
tinggi tak ada yang mau mengalah sehingga masalah yang semula hanya sebesar
butiran beras kini menjelma menjadi sebesar gunung Kilimanjaro.
“Ra, ini. Minum dulu.” seorang pemuda yang
mengenakan setelan jas berwarna hitam lengkap dengan sepatu pantofelnya yang berwarna
senada menyodorkan segelas jus jeruk tepat di depan wajahnya, siapa lagi bukan
Riko yang hari ini mendaulat dirinya sebagai pasangan prom night.
Sebuah garis tipis melengkung di wajahnya,”Makasih
Kak.”
Riko langsung menghempaskan tubuhnya di sebelah
Kirana. Mengamati gadis yang kini duduk di sampingnya dengan seksama dan detil,
mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Cantik, hanya kata itu yang mampu
menggambarkan sosok Kirana saat ini. Strapless
dress selutut berwarna coklat gelap
dengan flower printed berwarna putih gading di bagian bawah dress terlihat begitu pas dan begitu mengekspos kemolekan tubuh
seorang Kirana Larasati, belum lagi flat
shoes putih gading dengan aksen pita
kecil di bagian depan dan rambut hitamnya yang sengaja dibuat curly serta make up yang begitu
natural. Membuat semua mata kaum adam tersihir oleh pesonanya yang begitu luar
biasa.
“Kak..”
Riko tak menyahut, naluri lelakinya masih asyik
memandangi pemandangan indah dan gratis yang ada di sampingnya.
“Kak...”
Lagi-lagi Riko tak menyahut. Belum kembali ke dunia
nyata.
“Kak Riko..”
Karena kesal, akhirnya Kirana melayangkan satu
cubitan gemas ke pinggang Riko. Yang langsung membuat pemuda itu menggeliat
pelan dan tersadar dari dunia khayalannya. Riko hanya bisa memasang cengiran
khasnya ketika Kirana menatapnya tajam, sebagai tanda permintaan maaf.
“Kak.. kenapa ya akhir-akhir ini aku merasa kalau
persahabatanku dengan Keke itu nggak seperti persahabatan anak lain.” Kira
menghela napas berat, kemudian menyesap jus jeruknya perlahan.
“Kamu baru sadar?”
Eh?
Jujur, ia tak mengerti dengan ucapan Riko barusan.
“Maksudnya?”
“Hhh.. ternyata kamu nggak peka juga ya. Pesahabatan
kalian itu memang aneh sejak awal, sifat kalian memang berbeda dan saling
melengkapi. Terlihat begitu cocok dan sempurna dari luar, tetapi jika ditelisik
lebih jauh lagi ternyata persahabatan kalian nggak secocok dan sesempurna yang
terlihat. Ada saja masalah sepele yang dibesar-besarkan, ditambah lagi dengan
sifat Keke yang suka memaksakan kehendak serta semaunya sendiri dan sifatmu
yang begitu penurut serta penuh pengertian dan perhatian. Jadilah Keke semakin
semaunya sendiri dan bertambah egois. Coba deh, kamu pikir lagi. Apa benar Keke
itu sahabatmu? Apa dia benar-benar tau dan hapal di luar kepala mengenai
dirimu? Dan.. apakah dia selalu sependapat denganmu? Atau malah sebaliknya?”
Kirana mematung setelah mendengar ceramah gratis
dari Riko. Ceramah Riko itu ada benarnya juga. Keke belum hapal di luar kepala
mengenai dirinya. Bahkan Keke tak tahu bahwa sebenarnya ia alergi pada sandwich ikan tuna yang selalu menjadi
bekal makan siang Keke dan dirinya. Pendiriannya mulai goyah, mungkinkah selama
ini ia salah memilih sahabat?
“Kak..” panggil Kirana dengan suara yang bergetar
akibat menahan bulir-bulir air mata yang mulai terkumpul di sudut matanya agar
tak mengalir.
“Ya?”
“Boleh pinjam bahunya sebentar? Kira butuh
sandaran.”
Riko mengangguk kecil disertai senyum tipis. Kirana
langsung meletakkan kepalanya di bahu kiri Riko. Ia tak peduli lagi dengan make up
yang mulai luntur akibat tersapu aliran sungai kecil yang membelah pipinya, ia tak
peduli lagi dengan ratusan pasang mata yang memandangnya dengan tatapan aneh,
bahkan ia juga tak peduli lagi dengan seringai ganas pak kepala sekolah yang
dialamatkan padanya. Demi apapun ia tak peduli lagi dengan itu semua! Ia lebih
peduli dengan perasaannya yang berkecamuk. Ia ingin membersihkan perasaannya,
dengan cara menangis. Bukankah seminggu yang lalu Riko menyuruhnya untuk
menangis agar perasaannya menjadi lega?
Di antara ratusan tatapan aneh, ada sepasang tatapan
tidak suka yang berasal dari seorang gadis yang terlihat sangat anggun dengan one shoulder
little black dress yang melekat
di tubuh indahnya. Segelas jus jeruk yang sedari tadi ada dalam genggamannya
langsung ia letakkan sembarang di atas meja yang berada paling dekat dengan
tempatnya berpijak. Setelah itu ia langsung melangkah dalam irama cepat menuju
pemandangan yang membuatnya muak.
“Dasar pemuda menyebalkan! Apa yang kamu lakukan
pada sahabatku sampai dia menangis begitu?” kedua lengannya langsung ditolakkan
ke pinggang begitu sampai di tempat kejadian perkara. Belum cukup untuk
mengusir rasa muaknya, gadis itu langsung merebut jus jeruk milik Kirana dan
menumpahkan isinya tepat di atas kepala Riko. Membuat wajah tampan pemuda itu
ternodai oleh jus jeruk.
“Keke! Apa yang kamu lakukan, hah?!” Kirana langsung
bangkit dari duduknya, merasa tak terima dengan pelecehan yang baru saja
diterima oleh Riko. “Nggak seharusnya kamu melakukan hal ini!”
“Lho, Ra. Aku kan mau menolongmu dari pemuda
menyebalkan yang telah membuat sahabatku menangis, kenapa kamu malah
mencak-mencak?” Keke merasa jengkel karena sahabatnya lebih memilih pemuda
menyebalkan itu dibanding dirinya.
“Kamu nggak mengerti apa-apa, Ke! Jadi jangan ikut
campur!” Kirana menahan emosinya agar tak meledak,”Lagipula aku menangis bukan
karena Kak Riko, aku menangis karena persahabatan kita. Persahabatanku,
persahabatanmu.”
Kedua alis Keke bertautan,”Persahabatan kita?
Maksudnya apa?”
“Aku baru sadar, ternyata selama ini persahabatan
kita itu nggak secocok dan sesempurna yang terlihat dari luar. Kamu nggak
memperlakukanku aku sebagai sahabatmu, Ke. Kamu selalu memperlakukanku seperti
dayang yang harus selalu menuruti perintah tuan putrinya! Kamu nggak pernah memerhatikan
dan mengerti perasaanku, padahal selama ini aku selalu memerhatikan dan
mengerti perasaanmu. Persahabatan kita nggak seimbang!” sungai kecil yang
membelah pipi Kirana semakin bertambah deras.
“Tapi bukankah itu gunanya sahabat? Menyeimbangkan
dan saling melengkapi? Aku tau kalau aku punya banyak kekurangan. Aku egois,
aku semaunya sendiri, dan aku—“
“Apa? Kamu apa?! Sekarang aku tanya, kamu tau semua
tentang diriku? Kamu tau makanan kesukaanku? Kamu tau minuman kesukaanku? Kamu
tau kalau aku benci binatang berbulu? Kamu tau itu semua?! Aku rasa jawabannya
ENGGAK! Bahkan kamu nggak tau kalau aku alergi seafood, termasuk sandwich
ikan tuna yang selalu menjadi bekal makan siang kita.” jeda sejenak, iris
coklat gelapnya menatap Keke yang masih mematung dengan pandangan yang
dilemparkan sembarang. “Kamu enggak tau kan, Ke? Padahal aku tau semua tentang
kamu. Aku tau kalau kamu sangat suka bernyanyi, aku tau kalau kamu tergila-gila
pada salah satu member Super Junior dan selalu berandai-andai pergi ke Korea
hanya untuk bertemu dengannya. Dan.. aku juga tau kalau kamu benci upacara
pemakaman.”
Kedua mata Keke terasa panas, belum lagi dengan rasa
sesak yang mulai menghimpit dadanya. Ia sadar kalau selama ini Kirana selalu
mendapat perlakuan buruk darinya, ia sadar kalau Kirana selalu meringis sembari
menyembunyikan kedua lengannya di balik punggung sesaat setelah menyantap sandwich ikan tuna, dan ia sadar kalau
selama ini ia bukan sahabat yang baik untuk Kirana. Ia terlalu jahat, terlalu
egois, dan terlalu semaunya sendiri untuk seorang Kirana Larasati yang lembut,
penuh pengertian, dan penuh perhatian.
“Kira.. maaf kalau aku nggak datang ke pemakaman
ayahmu. Aku..” Keke tak mampu lagi meneruskan kalimatnya, suaranya mendadak
parau akibat menahan tangis sedari tadi.
“Nggak perlu, kamu nggak perlu minta maaf padaku. Karena
nggak ada yang salah dan nggak ada yang perlu dimaafkan. Lagipula, ayahku nggak
terlalu mengenalmu. Nggak masalah jika arwahnya nggak melihat sahabat yang
putri semata wayangnya selalu banggakan.” Kirana tersenyum miring,”Dan maaf
kalau aku udah berbicara lancang seperti ini pada tuan putri Kenisha Shirine, lain
kali aku nggak akan berbicara selancang ini lagi. Maaf, aku harus pergi.”
Kirana melangkah menjauh, tetapi langkahnya
terhenti. Tubuhnya diputar tiga ratus enam puluh derajat,”Lain kali jangan
pernah melecehkan Kak Riko. Kak Riko itu Kakak sepupuku, kamu akan berhadapan
denganku kalau berani melecehkannya lagi.”
“Kira!” Keke ingin mengejar sosok Kirana yang sudah
tak tertangkap lagi oleh indra penglihatannya, namun tangannya ditahan Riko.
“Jangan kejar, Kirana lagi kacau. Dia sedang ingin
sendiri, kalau kamu kejar masalahnya akan semakin bertambah rumit.”
Keke mengangguk pasrah.
***
Sudah tiga hari belakangan Kirana absen, tanpa
keterangan yang jelas pula. Dan selama tiga hari itu juga hubungannya dengan
Kirana belum membaik, masih seperti bulatan benang kusut yang susah diurai. Ia
terlalu gengsi untuk meminta maaf pada Kirana, meskipun hati kecilnya berbisik
bahwa dirinyalah yang bersalah dan sudah
seharusnya ia meminta maaf pada Kirana. Namun hati kecilnya kalah telak oleh
rasa gengsinya.
Aku.. haruskah
aku meminta maaf pada Kirana?
Keke menatap ujung sepatunya saat melangkah menuju mobil buatan Jerman yang
terparkir manis tak jauh darinya. Sepertinya
begitu, agar masalahnya selesai.
“Pak, ke rumah Kirana dulu ya!” pinta Keke pada
supir pribadinya, sang supir hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan sang
majikan.
Dahinya mengernyit, kenapa rumahnya sepi? Aneh.
Ada sedikit keraguan yang menyapa hatinya ketika
kedua kakinya dilangkahkan perlahan menuju pintu rumah modern minimalis yang
ada di hadapannya. Ia harus menyiapkan perasaannya, kalau-kalau Kirana masih
marah dan menolak untuk bertemu dengannya.
Pintu diketuk perlahan, tak ada jawaban.
Keke tak mau menyerah, ia kembali mengetuk. Setelah
menunggu hampir setengah jam akhirnya pintu dibuka, memunculkan sesosok wanita
dengan wajah muram. Keke tersenyum tipis pada wanita itu, kemudian menanyakan
sosok Kirana yang absen selama tiga hari di sekolah. Keke semakin penasaran
dengan keberadaan Kirana. Karena bukannya menyuruh masuk dan menunggu Kirana di
ruang tamu, Tante Gina malah menutup dan mengunci pintu rumahnya. Kemudian
tersnyum miris,”Ayo ikut Tante.”
Ini terasa aneh! batin Keke mulai memberontak.
Dan keanehan itu membuat dahinya semakin berkerut. Terlebih
ketika Tante Gina membawanya ke areal pemakaman. Ia tidak mengerti mengapa
Tante Gina membawanya kemari, namun akal sehatnya berbisik ‘mungkin aja Kira
lagi di makam ayahnya’. Tetapi bisikan akal sehatnya berbohong, kenyataan yang
ada di hadapannya tak seperti itu. Ia sama sekali tak melihat sosok manis dan
lembut yang ia kenali sebagai Kira, melainkan sebuah makam dengan nisan yang
terukir nama Kira. Keke melirik Tante Gina dengan mata yang mulai berkaca-kaca,
berusaha meminta penjelasan atas semua ini. Semua yang tidak ia mengerti, dan
semua yang terasa seperti mimpi baginya.
“Kira meninggal, Ke. Korban tabrak lari tiga ratus
meter dari area sekolah. Meski sempat di bawa ke rumah sakit dan sempat kritis,
tapi dokter udah angkat tangan dengan kondisi Kira yang semakin memburuk.
Hingga akhirnya Kira menghembuskan napas terakhir kemarin pagi.” bulir-bulir
air mata yang menumpuk di sudut mata Tante Gina mulai meluap, membentuk dua
buah sungai kecil yang membelah pipi tirusnya. Kaki Keke mendadak lemas, membuatnya jatuh terduduk
di hadapan makam sahabat semata wayangnya.
“Ke-kenapa Tante nggak bilang?
Kenapa Tante nggak kasih kabar ke Keke?” tanyanya dengan suara parau.
“Maaf, Ke. Tante kira kamu udah tau dari teman-teman
sekolahmu.” Tante Gina membungkukkan tubuhnya agar sejajar dengan Keke,
kemudian memeluk pundak cewek aktif itu. Berusaha menenangkannya.
“Jadi.. teman-teman di sekolah udah tau kalau Kira meninggal?”
Keke berusaha mengatur napasnya yang berantakan akibat menangis,”Kenapa mereka
nggak ada yang memberi tau Keke?! Ini nggak adil, Tan. Nggak adil! Padahal yang
sahabatnya Kira itu Keke, bukan mereka. Tapi kenapa mereka yang tau lebih dulu
tentang kematian Kira?! Kenapa?!”
“Ke.. udah..”
“Kira.. maaf, selama ini aku bukan sahabat yang baik
buatmu. Maaf..” tulus, Keke benar-benar mengucapkannya dengan tulus.
“Ah iya, Tante hampir lupa. Semalam saat beres-beres
kamar Kira, Tante menemukan sebuah kotak yang ada nama kamu di salah satu
sudutnya. Apa itu kotak milikmu yang tertinggal di kamar Kira saat kalian
sedang mengadakan sesi curhat rahasia?”
Keke menggeleng, sudah dua minggu terakhir ia jarang
bermain dengan Kira. Apalagi sampai masuk ke dalam kamarnya dan mengadakan sesi
curhat rahasia seperti yang dikatakan Tante Gina.
“Benarkah?” Tanten Gina mengernyit,”Ada baiknya kamu
lihat dulu kotaknya, mungkin benar itu kotak milikmu.”
Keke mengangguk pasrah.
***
Keke memeluk kedua lututnya, iris hazelnya masih
menatap kotak yang memiliki luas empat ratus sentimeter yang ada di hadapannya.
Kotak itu masih rapi, masih tertutup rapat. Sama seperti tiga hari lalu saat
Tante Gina menyerahkan kotak itu padanya. Tetapi ia belum memiliki keberanian
untuk membuka tutup kotak itu dan mengobrak-abrik isinya. Ia masih terlalu
takut. Bukan takut akan bom yang disembunyikan di dalam kotak itu, melainkan
takut akan menangis lagi. Sungguh, ia sudah terlalu lelah menangis selama tiga
hari terakhir ini. Rasa-rasanya stok air mata yang ia miliki seperti terkuras
habis.
“Ra, apa yang kamu simpan di dalam kotak itu? Kenapa
ada namaku di salah satu sudutnya? Apakah kotak itu untukku? Tapi kenapa kamu
memberikannya untukku? Padahal selama ini sikapku nggak baik padamu.” gumam
Keke, yang kelihatannya malah seperti orang tidak waras yang berbicara pada
teman tak terlihatnya.
Haruskah aku
membukanya?
Tangan Keke yang semula ragu untuk membuka tutup
kotak, kini malah bertengger tepat di salah satu sudut tutup kotak. Helaan beberapa
napas pendek terdengar dari hidungnya untuk mengusir rasa gelisah yang mulai
menghampiri. Dan ia sedikit terkejut mendapati isi kotak tersebut, isi yang tak
pernah ia bayangkan sebelumnya. Foto-foto dan semua bendanya bersama Kira,
serta sebuah buku kecil berwarna biru muda. Yang ia sinyalir sebagai buku
harian milik Kira.
Tangan kanannya mengambil buku harian milik Kira,
karena hanya benda itu yang menarik perhatiannya. Lagipula, ia begitu penasaran
dengan sikap Kira yang penuh perhatian dan pengertian padanya. Dan ia ingin tau
isi hati Kira tentang dirinya, tentang persahabatan mereka. Di antara puluhan
halaman, ada satu halaman yang membuatnya tersentak. Bukan karena barisan
kalimat bernada makian yang ditulis tangan oleh Kira, melainkan isi hati Kira
yang sesungguhnya. Yang dituangkan ke dalam sebuah cerita pendek namun bermakna
dalam.
Air matanya kembali mengalir, padahal tadi pagi ia
kira stok air matanya telah habis. Ternyata masih ada. Seperti kata pepatah,
penyesalan selalu datang terlambat. Kini ia menyesal telah menyia-nyiakan Kira,
sahabat terbaik yang Tuhan kirim untuknya. Sehingga Tuhan memanggil Kira
terlebih dahulu akibat rasa tidak bersyukurnya karena dikaruniai sahabat macam
Kira yang sangat limited edition.
0 Commentary
Review please.. :)