(Bukan) Sahabat

Fa // Jumat, 17 Januari 2014


Tak ada persahabatan yang sempurna dan abadi di dunia ini, yang ada hanyalah orang-orang yang berusaha menyempurnakan dan mengukuhkan persahabatannya

***
“Lebih baik kamu pulang duluan aja deh, Ra. Aku masih mau latihan paduan suara dulu. Kalau kamu menungguku pasti kamu akan bosan deh, lagipula.. memangnya ada angkot yang lewat kalau kamu tetap keukeuh mau menungguku sampai selesai latihan paduan suara?” ucap Keke ketika langkahnya bergema di lorong sekolah yang sudah hampir kosong mengingat bel pulang baru saja berbunyi beberapa menit yang lalu, di belakangnya ada sang sahabat yang setia mengekor—Kirana.

Kirana menghentikan langkahnya, terlihat berpikir keras. Ucapan Keke barusan memang ada benarnya, namun ia tidak bisa begitu saja meninggalkan sahabat semata wayangnya itu. Ia selalu terbiasa pulang dengan Keke, rasanya akan sangat berbeda sekali jika ia pulang tanpa sosok Keke di sampingnya. “Tapi.. bukankah aku udah terbiasa menunggumu? Lagipula... pulang sendirian itu nggak enak, nggak ada yang biasa diajak mengobrol.”

“Tapi latihan kali ini akan sangat lama, karena bulan depan paduan suara sekolah kita akan mengikuti lomba paduan suara yang diadakan oleh SMA Garuda.” dengus Keke,”Nggak usah memikirkan bagaimana caranya aku pulang, akan ada pak supir yang menjemputku nanti. Pikirkan aja dirimu sendiri!” Keke kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terinterupsi, meninggalkan Kirana dengan langkah cepat.

Yah, begitulah mereka. Kirana dan Kenisha. Dua sahabat yang sifatnya saling bertolak belakang namun terikat menjadi satu kesatuan, seperti sebuah koin yang memiliki dua sisi. Kirana, si kalem yang sangat perhatian dan pengertian pada sahabatnya. Sehingga banyak yang menjulukinya sebagai bayangan Keke, karena kemana Keke pergi di sanalah Kira mengekor. Dan Keke, si aktif yang punya segudang kegiatan di sekolah yang selalu menyita waktunya. Sehingga menimbulkan kesan bahwa ia dan Kirana tak cocok menjadi sahabat, lebih cocok menjadi putri dan dayang. Karena Keke selalu memaksakan kehendaknya pada Kirana, dan Si Kalem itu hanya bisa mengangguk dan mengabulkan kehendak sahabatnya.

Kirana menatap nanar punggung Keke yang semakin lama semakin menjauh, dia udah berubah...

***
“Kiraaa..” Kirana yang sedang asyik membaca buku cetak geografinya mau tak mau harus menoleh kearah suara yang sudah sangat dikenalnya itu—suara Keke,”hari ini aku duduk sama Hani ya?”

Belum sempat Kirana mengangguk dan mengucapkan sepatah kata, Keke langsung mencubit gemas sebelah pipinya.

“Makasih Kiraa..” dan si aktif itu langsung melesat ke tempat duduk barunya, meninggalkan Kirana yang masih belum mengerti dengan sikap aneh sahabatnya itu.

Perasaan tadi aku belum mengucapkan sepatah katapun deh, Kirana menghela napas panjang. Dan ini udah yang ke sembilan belas kalinya dia pindah tempat duduk dalam semester ini.

Kirana menutup buku cetak geografinya, iris coklat gelapnya berputar dengan cepat demi mencari sosok gadis cantik nan enerjik yang selalu ceria dan cerewet itu. Setelah berhasil menemukan sosok yang ia cari, pandangannya langsung dipakukan pada sosok itu yang kini sedang asyik tertawa renyah dengan teman sebangkunya yang baru. Meski ada rasa sedih yang mulai memenuhi dadanya, namun ia terpaksa menyunggingkan senyum tipis. Berusaha ikut merasakan kesenangan yang dirasakan sosok itu.

“Pagi anak-anak...” seorang wanita cantik dan modis melangkah masuk ke dalam kelas.

“Pagi bu...” koor satu kelas kompak.

Dan mata pelajaran bahasa indonesia pun menjadi mata pelajaran pembuka kali ini. Di tengah pelajaran, seorang pria setengah baya menginterupsi materi tentang cerpen yang sedang diajarkan oleh Bu Nadia. Yang paling terkejut dengan kehadiran pria itu adalah Kirana, ada tanda tanya yang mulai bermunculan di dalam benaknya ketika melihat sosok yang sangat jarang ia jumpai itu kini tiba-tiba datang ke sekolahnya.

Mungkinkah ada sesuatu yang penting? Tapi apa?

“Kirana, cepat bereskan buku-buku dan peralatanmu.” perintah Bu Nadia ketika perbincangannya dengan pria itu telah usai.

Ada apa ini?

Kirana mengangguk dan mulai memasukkan satu-persatu peralatan sekolahnya ke dalam tas. Kemudian melangkah mendekati Bu Nadia dan pria itu. Setelah pamit pada Bu Nadia, ia mengekor sang Om yang telah melangkah mendahuluinya.

Kirana menghela napas panjang, hatinya mulai diselimuti rasa gelisah. Sebenarnya ada apa ini? Kenapa Om Rianto menjemputku secara mendadak begini?

***
“Om, kenapa Om menjemputku?” suara Kirana memecah keheningan yang terjadi di dalam mobil sejak beberapa belas menit yang lalu,”Ada apa memangnya? Lalu kenapa ayah dan bunda nggak ikut?”

Pria setengah baya itu masih bungkam, seperti ada lem super lengket yang membelenggu kurvanya. Ia bungkam bukan karena ingin fokus menyetir, melainkan karena tak tahu apa yang harus ia katakan pada keponakan semata wayangnya itu. Ia masih kalut dengan kejadian tak terduga yang menimpa abangnya, masih belum bisa memercayai semua kenyataan yang pada awalnya ia anggap fatamorgana.

“Om... kenapa nggak menjawab pertanyaaan Kira?” Kirana mendesah, sikap aneh Omnya yang satu itu semakin membuat hatinya bertambah gelisah.

“Om..”

“Nah, sudah sampai.”

Bukan, bukan kalimat seperti itu yang ingin Kirana dengar. Melainkan sebuah kalimat yang merupakan pasangan dari semua pertanyaannya. Tapi yang meluncur dari bibir Om Rianto malah kalimat seperti itu, kalimat yang membuat hati Kirana bertambah gelisah. Serta membuat kurvanya dimajukan beberapa sentimeter. Khas seorang bocah saat sedang merajuk karena permintaannya tidak dituruti.

“Kenapa nggak turun? Cepat sana turun.”

Kirana yang sedari tadi menundukkan wajah mau tak mau harus mendongak, tapi dahinya langsung berkerut ketika melihat suasana rumahnya yang begitu ramai. Tak seperti biasanya. Belum lagi dengan wajah-wajah sendu yang keluar-masuk dari rumahnya. Dan.. bendera kuning!

“O-om.. ke-kenapa ada bendera kuning?” suaranya mulai serak akibat menahan tangis, ada genangan air mata yang mulai terbendung di pelupuk matanya. Om Rianto kembali bungkam, wajahnya ditundukkan sedemikian rupa agar keponakannya tercinta tak melihat air mata yang sudah tak dapat ia bendung lagi.

“O-om..”

Kesal.

Kirana kembali tak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Akhirnya ia memutuskan untuk turun dari mobil, berlari kecil menuju rumahnya. Demi mendapatkan jawaban, jawaban yang tak pernah ia dapatkan dari Om Rianto. Kakinya mendadak lemas, seperti tak memiliki tulang ketika indra penglihatannya menangkap sebuah sosok yang telah terbujur kaku di tengah ruangan. Kegelapan hampir merenggut penglihatannya, namun ia berusaha melawan kegelapan itu. Tak jadi pingsan. Bendungan di pelupuk matanya sudah tak mampu lagi menampung air matanya, bendungan itu jebol. Membentuk dua buah sungai berarus deras yang membelah pipinya.

Ia tahu.

Ia telah menemukan benang merah.

Dan ia telah menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri.

“A-ayah..” lirihnya dalam volume kecil.

“Kira..”

Kini ia berada dalam rengkuhan hangat bundanya,”Ayah bun, ayah..”

***
Gadis tujuh belas tahun itu duduk sembari memeluk kedua lututnya yang telah ditekuk. Ada butiran bening yang kembali meluncur dari pelupuk matanya ketika mengingat kejadian kemarin. Bukan, bukannya tidak mengikhlaskan kepergian ayahnya yang sangat mendadak akibat serangan jantung. Melainkan kecewa pada sahabat semata wayangnya. Kemarin ia tak melihat sosok Keke di antara puluhan murid-murid SMA Pemuda. Ada banyak tanda tanya yang bernaung di benaknya. Kemanakah gerangan Keke kemarin? Mengapa gadis aktif itu tak datang untuk sekedar berbela sungkawa dan menenangkan hatinya?
Entahlah, ia tak tahu.

“Kira,”

Air matanya langsung segera dihapus begitu mendengar suara lembut yang berasal dari sang ibu menyapa gendang telinganya,”Ada apa bun?”

“Ada Kak Riko di ruang tamu, katanya mau ketemu kamu tuh. Temui gih, kasihan dia. Kayaknya ada sesuatu yang mau dibicarakan denganmu.”

Kepalanya dianggukan, tanda mengerti. Kemudian kakinya melangkah menuju ruang tamu, menghampiri pemuda yang dua tahun lebih tua darinya. “Kak Riko..”

“Eh, Kira. Kamu.. habis menangis ya?” selidik Riko.

“Enggak kok Kak.” sanggah Kirana.

“Sekuat apapun kamu menyangkal, tapi matamu yang sembab nggak bisa menyembunyikannya. Udahlah, kalau kamu mau menangis, menangis aja. Luapkan segala emosi dan kekecewaanmu, menangis itu salah satu jalan terbaik untuk meluapkan emosi dan kekecewaan. Karena setelah itu, pasti kamu akan merasa sangat lega.”

Tanpa komando dari siapapun, Kirana langsung melingkarkan kedua lengannya di pinggang Riko serta mendekap erat dada bidang Riko. Meski perubahan gestur Kira begitu cepat dan sedikit membuat Riko kaget, namun pemuda itu sama sekali tak merasa risih. Ia memaklumi sikap Kirana. Setelah kurang lebih setengah jam bertahan dengan pose seperti itu dan Kirana merasa bahwa air matanya telah terkuras habis, akhirnya ia melepas pelukan itu.

“Maaf ya kak kalau Kira lancang dan main peluk Kakak seenak hati.” Kirana menatap ujung sandal Hello Kitty yang menjadi alas kakinya.

“Nggak papa kok, tapi sekarang perasaanmu udah lega kan?”

Kirana mengangguk,”Oh iya, tadi kata bunda ada yang mau Kakak bicarakan denganku. Apa itu Kak?”

Riko menggosok tengkuknya, merasa bingung harus memulai dari mana. Dan merasa sangsi kalau gadis yang ada di hadapannya ini akan menerima ajakannya dengan senang hati. Mengingat Kirana masih berada dalam masa berkabung. “Err.. kamu tau kan kalau minggu depan sekolah akan mengadakan prom night dalam rangka perayaan ulang tahun sekolah yang ke tiga puluh?”

Kirana tersenyum tipis—senyum yang dipaksakan,”Tau kok Kak, kenapa memangnya? Kakak mau memintaku untuk menjadi pasangan prom?”

Eh? Riko semakin kikuk.

“Maaf ya Kak, tapi kan Kakak tau kalau aku nggak tertarik sama acara semacam itu. Lebih baik Kakak cari pasangan lain aja ya..” tolak Kirana dengan halus.

“Tapi Ra.. kalau nggak pergi sama aku itu artinya aku harus pergi sama gadis centil itu.” terdengar nada kecewa yang terselip di kalimat Riko.

“Gadis centil? Maksudnya Kak Melody?” kedua alis Kirana bertautan.

Riko mengangguk,”Masa kamu tega sih membiarkan dua jam berhargaku yang seharusnya menyenangkan menjadi dua jam yang menyiksa lahir dan batin?”

Kirana mematung, memangnya nggak ada gadis lain yang bisa dan mau diajak ke prom apa?

“Nggak ada, mereka menolaknya mentah-mentah dengan ekspresi takut. Entahlah, mungkin Melody udah mengancam mereka.” jawab Riko enteng, seolah-olah ia bisa membaca pikiran Kirana.

“Apa Kak Melody nggak akan mencak-mencak saat melihat Kakak berduaan denganku di prom?” tanya Kirana, sekedar iseng.

“Nggak, dia nggak akan marah. Jadi.. kamu mau kan?”

Akhirnya Kirana mengangguk dengan pasrah.

***
Iris coklat gelap Kirana tak kenal lelah mengekor sosok Keke yang sedari tadi berpindah dari kerumunan yang satu menuju kerumunan yang lainnya, tak seperti dirinya. Hanya duduk di atas sofa beludru berwarna merah yang ada di salah satu sudut ruangan yang di sesaki para muda-mudi yang terlihat sangat menikmati detik demi detik jalannya acara prom ini. Tiba-tiba dadanya terasa sesak, bukan karena serangan jantung karena sang ayah tercinta tak menurunkan penyakit itu pada dirinya. Melainkan sesak yang akan kau rasakan ketika kau dan sahabatmu bertengkar dan mulai berjauhan dalam kurun waktu yang lama, dan akibat gengsi yang terlalu tinggi tak ada yang mau mengalah sehingga masalah yang semula hanya sebesar butiran beras kini menjelma menjadi sebesar gunung Kilimanjaro.

“Ra, ini. Minum dulu.” seorang pemuda yang mengenakan setelan jas berwarna hitam lengkap dengan sepatu pantofelnya yang berwarna senada menyodorkan segelas jus jeruk tepat di depan wajahnya, siapa lagi bukan Riko yang hari ini mendaulat dirinya sebagai pasangan prom night.

Sebuah garis tipis melengkung di wajahnya,”Makasih Kak.”

Riko langsung menghempaskan tubuhnya di sebelah Kirana. Mengamati gadis yang kini duduk di sampingnya dengan seksama dan detil, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Cantik, hanya kata itu yang mampu menggambarkan sosok Kirana saat ini. Strapless dress selutut berwarna coklat gelap dengan flower printed berwarna putih gading di bagian bawah dress terlihat begitu pas dan begitu mengekspos kemolekan tubuh seorang Kirana Larasati, belum lagi flat shoes putih gading dengan aksen pita kecil di bagian depan dan rambut hitamnya yang sengaja dibuat curly serta make up yang begitu natural. Membuat semua mata kaum adam tersihir oleh pesonanya yang begitu luar biasa.

“Kak..”

Riko tak menyahut, naluri lelakinya masih asyik memandangi pemandangan indah dan gratis yang ada di sampingnya.

“Kak...”

Lagi-lagi Riko tak menyahut. Belum kembali ke dunia nyata.

“Kak Riko..”

Karena kesal, akhirnya Kirana melayangkan satu cubitan gemas ke pinggang Riko. Yang langsung membuat pemuda itu menggeliat pelan dan tersadar dari dunia khayalannya. Riko hanya bisa memasang cengiran khasnya ketika Kirana menatapnya tajam, sebagai tanda permintaan maaf.

“Kak.. kenapa ya akhir-akhir ini aku merasa kalau persahabatanku dengan Keke itu nggak seperti persahabatan anak lain.” Kira menghela napas berat, kemudian menyesap jus jeruknya perlahan.

“Kamu baru sadar?”

Eh?

Jujur, ia tak mengerti dengan ucapan Riko barusan. “Maksudnya?”

“Hhh.. ternyata kamu nggak peka juga ya. Pesahabatan kalian itu memang aneh sejak awal, sifat kalian memang berbeda dan saling melengkapi. Terlihat begitu cocok dan sempurna dari luar, tetapi jika ditelisik lebih jauh lagi ternyata persahabatan kalian nggak secocok dan sesempurna yang terlihat. Ada saja masalah sepele yang dibesar-besarkan, ditambah lagi dengan sifat Keke yang suka memaksakan kehendak serta semaunya sendiri dan sifatmu yang begitu penurut serta penuh pengertian dan perhatian. Jadilah Keke semakin semaunya sendiri dan bertambah egois. Coba deh, kamu pikir lagi. Apa benar Keke itu sahabatmu? Apa dia benar-benar tau dan hapal di luar kepala mengenai dirimu? Dan.. apakah dia selalu sependapat denganmu? Atau malah sebaliknya?”

Kirana mematung setelah mendengar ceramah gratis dari Riko. Ceramah Riko itu ada benarnya juga. Keke belum hapal di luar kepala mengenai dirinya. Bahkan Keke tak tahu bahwa sebenarnya ia alergi pada sandwich ikan tuna yang selalu menjadi bekal makan siang Keke dan dirinya. Pendiriannya mulai goyah, mungkinkah selama ini ia salah memilih sahabat?

“Kak..” panggil Kirana dengan suara yang bergetar akibat menahan bulir-bulir air mata yang mulai terkumpul di sudut matanya agar tak mengalir.

“Ya?”

“Boleh pinjam bahunya sebentar? Kira butuh sandaran.”

Riko mengangguk kecil disertai senyum tipis. Kirana langsung meletakkan kepalanya di bahu kiri Riko. Ia tak peduli lagi dengan make up yang mulai luntur akibat tersapu aliran sungai kecil yang membelah pipinya, ia tak peduli lagi dengan ratusan pasang mata yang memandangnya dengan tatapan aneh, bahkan ia juga tak peduli lagi dengan seringai ganas pak kepala sekolah yang dialamatkan padanya. Demi apapun ia tak peduli lagi dengan itu semua! Ia lebih peduli dengan perasaannya yang berkecamuk. Ia ingin membersihkan perasaannya, dengan cara menangis. Bukankah seminggu yang lalu Riko menyuruhnya untuk menangis agar perasaannya menjadi lega?

Di antara ratusan tatapan aneh, ada sepasang tatapan tidak suka yang berasal dari seorang gadis yang terlihat sangat anggun dengan one shoulder little black dress yang melekat di tubuh indahnya. Segelas jus jeruk yang sedari tadi ada dalam genggamannya langsung ia letakkan sembarang di atas meja yang berada paling dekat dengan tempatnya berpijak. Setelah itu ia langsung melangkah dalam irama cepat menuju pemandangan yang membuatnya muak.

“Dasar pemuda menyebalkan! Apa yang kamu lakukan pada sahabatku sampai dia menangis begitu?” kedua lengannya langsung ditolakkan ke pinggang begitu sampai di tempat kejadian perkara. Belum cukup untuk mengusir rasa muaknya, gadis itu langsung merebut jus jeruk milik Kirana dan menumpahkan isinya tepat di atas kepala Riko. Membuat wajah tampan pemuda itu ternodai oleh jus jeruk.

“Keke! Apa yang kamu lakukan, hah?!” Kirana langsung bangkit dari duduknya, merasa tak terima dengan pelecehan yang baru saja diterima oleh Riko. “Nggak seharusnya kamu melakukan hal ini!”

“Lho, Ra. Aku kan mau menolongmu dari pemuda menyebalkan yang telah membuat sahabatku menangis, kenapa kamu malah mencak-mencak?” Keke merasa jengkel karena sahabatnya lebih memilih pemuda menyebalkan itu dibanding dirinya.

“Kamu nggak mengerti apa-apa, Ke! Jadi jangan ikut campur!” Kirana menahan emosinya agar tak meledak,”Lagipula aku menangis bukan karena Kak Riko, aku menangis karena persahabatan kita. Persahabatanku, persahabatanmu.”

Kedua alis Keke bertautan,”Persahabatan kita? Maksudnya apa?”

“Aku baru sadar, ternyata selama ini persahabatan kita itu nggak secocok dan sesempurna yang terlihat dari luar. Kamu nggak memperlakukanku aku sebagai sahabatmu, Ke. Kamu selalu memperlakukanku seperti dayang yang harus selalu menuruti perintah tuan putrinya! Kamu nggak pernah memerhatikan dan mengerti perasaanku, padahal selama ini aku selalu memerhatikan dan mengerti perasaanmu. Persahabatan kita nggak seimbang!” sungai kecil yang membelah pipi Kirana semakin bertambah deras.

“Tapi bukankah itu gunanya sahabat? Menyeimbangkan dan saling melengkapi? Aku tau kalau aku punya banyak kekurangan. Aku egois, aku semaunya sendiri, dan aku—“

“Apa? Kamu apa?! Sekarang aku tanya, kamu tau semua tentang diriku? Kamu tau makanan kesukaanku? Kamu tau minuman kesukaanku? Kamu tau kalau aku benci binatang berbulu? Kamu tau itu semua?! Aku rasa jawabannya ENGGAK! Bahkan kamu nggak tau kalau aku alergi seafood, termasuk sandwich ikan tuna yang selalu menjadi bekal makan siang kita.” jeda sejenak, iris coklat gelapnya menatap Keke yang masih mematung dengan pandangan yang dilemparkan sembarang. “Kamu enggak tau kan, Ke? Padahal aku tau semua tentang kamu. Aku tau kalau kamu sangat suka bernyanyi, aku tau kalau kamu tergila-gila pada salah satu member Super Junior dan selalu berandai-andai pergi ke Korea hanya untuk bertemu dengannya. Dan.. aku juga tau kalau kamu benci upacara pemakaman.”

Kedua mata Keke terasa panas, belum lagi dengan rasa sesak yang mulai menghimpit dadanya. Ia sadar kalau selama ini Kirana selalu mendapat perlakuan buruk darinya, ia sadar kalau Kirana selalu meringis sembari menyembunyikan kedua lengannya di balik punggung sesaat setelah menyantap sandwich ikan tuna, dan ia sadar kalau selama ini ia bukan sahabat yang baik untuk Kirana. Ia terlalu jahat, terlalu egois, dan terlalu semaunya sendiri untuk seorang Kirana Larasati yang lembut, penuh pengertian, dan penuh perhatian.

“Kira.. maaf kalau aku nggak datang ke pemakaman ayahmu. Aku..” Keke tak mampu lagi meneruskan kalimatnya, suaranya mendadak parau akibat menahan tangis sedari tadi.

“Nggak perlu, kamu nggak perlu minta maaf padaku. Karena nggak ada yang salah dan nggak ada yang perlu dimaafkan. Lagipula, ayahku nggak terlalu mengenalmu. Nggak masalah jika arwahnya nggak melihat sahabat yang putri semata wayangnya selalu banggakan.” Kirana tersenyum miring,”Dan maaf kalau aku udah berbicara lancang seperti ini pada tuan putri Kenisha Shirine, lain kali aku nggak akan berbicara selancang ini lagi. Maaf, aku harus pergi.”

Kirana melangkah menjauh, tetapi langkahnya terhenti. Tubuhnya diputar tiga ratus enam puluh derajat,”Lain kali jangan pernah melecehkan Kak Riko. Kak Riko itu Kakak sepupuku, kamu akan berhadapan denganku kalau berani melecehkannya lagi.”

“Kira!” Keke ingin mengejar sosok Kirana yang sudah tak tertangkap lagi oleh indra penglihatannya, namun tangannya ditahan Riko.

“Jangan kejar, Kirana lagi kacau. Dia sedang ingin sendiri, kalau kamu kejar masalahnya akan semakin bertambah rumit.”

Keke mengangguk pasrah.

***
Sudah tiga hari belakangan Kirana absen, tanpa keterangan yang jelas pula. Dan selama tiga hari itu juga hubungannya dengan Kirana belum membaik, masih seperti bulatan benang kusut yang susah diurai. Ia terlalu gengsi untuk meminta maaf pada Kirana, meskipun hati kecilnya berbisik bahwa dirinyalah yang  bersalah dan sudah seharusnya ia meminta maaf pada Kirana. Namun hati kecilnya kalah telak oleh rasa gengsinya.
Aku.. haruskah aku meminta maaf pada Kirana? Keke menatap ujung sepatunya saat melangkah menuju mobil buatan Jerman yang terparkir manis tak jauh darinya. Sepertinya begitu, agar masalahnya selesai.

“Pak, ke rumah Kirana dulu ya!” pinta Keke pada supir pribadinya, sang supir hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan sang majikan.

Dahinya mengernyit, kenapa rumahnya sepi? Aneh.

Ada sedikit keraguan yang menyapa hatinya ketika kedua kakinya dilangkahkan perlahan menuju pintu rumah modern minimalis yang ada di hadapannya. Ia harus menyiapkan perasaannya, kalau-kalau Kirana masih marah dan menolak untuk bertemu dengannya.

Pintu diketuk perlahan, tak ada jawaban.

Keke tak mau menyerah, ia kembali mengetuk. Setelah menunggu hampir setengah jam akhirnya pintu dibuka, memunculkan sesosok wanita dengan wajah muram. Keke tersenyum tipis pada wanita itu, kemudian menanyakan sosok Kirana yang absen selama tiga hari di sekolah. Keke semakin penasaran dengan keberadaan Kirana. Karena bukannya menyuruh masuk dan menunggu Kirana di ruang tamu, Tante Gina malah menutup dan mengunci pintu rumahnya. Kemudian tersnyum miris,”Ayo ikut Tante.”

Ini terasa aneh! batin Keke mulai memberontak.

Dan keanehan itu membuat dahinya semakin berkerut. Terlebih ketika Tante Gina membawanya ke areal pemakaman. Ia tidak mengerti mengapa Tante Gina membawanya kemari, namun akal sehatnya berbisik ‘mungkin aja Kira lagi di makam ayahnya’. Tetapi bisikan akal sehatnya berbohong, kenyataan yang ada di hadapannya tak seperti itu. Ia sama sekali tak melihat sosok manis dan lembut yang ia kenali sebagai Kira, melainkan sebuah makam dengan nisan yang terukir nama Kira. Keke melirik Tante Gina dengan mata yang mulai berkaca-kaca, berusaha meminta penjelasan atas semua ini. Semua yang tidak ia mengerti, dan semua yang terasa seperti mimpi baginya.

“Kira meninggal, Ke. Korban tabrak lari tiga ratus meter dari area sekolah. Meski sempat di bawa ke rumah sakit dan sempat kritis, tapi dokter udah angkat tangan dengan kondisi Kira yang semakin memburuk. Hingga akhirnya Kira menghembuskan napas terakhir kemarin pagi.” bulir-bulir air mata yang menumpuk di sudut mata Tante Gina mulai meluap, membentuk dua buah sungai kecil yang membelah pipi tirusnya. Kaki Keke mendadak lemas, membuatnya jatuh terduduk di hadapan makam sahabat semata wayangnya. 

“Ke-kenapa Tante nggak bilang? Kenapa Tante nggak kasih kabar ke Keke?” tanyanya dengan suara parau.

“Maaf, Ke. Tante kira kamu udah tau dari teman-teman sekolahmu.” Tante Gina membungkukkan tubuhnya agar sejajar dengan Keke, kemudian memeluk pundak cewek aktif itu. Berusaha menenangkannya.

“Jadi.. teman-teman di sekolah udah tau kalau Kira meninggal?” Keke berusaha mengatur napasnya yang berantakan akibat menangis,”Kenapa mereka nggak ada yang memberi tau Keke?! Ini nggak adil, Tan. Nggak adil! Padahal yang sahabatnya Kira itu Keke, bukan mereka. Tapi kenapa mereka yang tau lebih dulu tentang kematian Kira?! Kenapa?!”

“Ke.. udah..”

“Kira.. maaf, selama ini aku bukan sahabat yang baik buatmu. Maaf..” tulus, Keke benar-benar mengucapkannya dengan tulus.

“Ah iya, Tante hampir lupa. Semalam saat beres-beres kamar Kira, Tante menemukan sebuah kotak yang ada nama kamu di salah satu sudutnya. Apa itu kotak milikmu yang tertinggal di kamar Kira saat kalian sedang mengadakan sesi curhat rahasia?”

Keke menggeleng, sudah dua minggu terakhir ia jarang bermain dengan Kira. Apalagi sampai masuk ke dalam kamarnya dan mengadakan sesi curhat rahasia seperti yang dikatakan Tante Gina.

“Benarkah?” Tanten Gina mengernyit,”Ada baiknya kamu lihat dulu kotaknya, mungkin benar itu kotak milikmu.”

Keke mengangguk pasrah.

***
Keke memeluk kedua lututnya, iris hazelnya masih menatap kotak yang memiliki luas empat ratus sentimeter yang ada di hadapannya. Kotak itu masih rapi, masih tertutup rapat. Sama seperti tiga hari lalu saat Tante Gina menyerahkan kotak itu padanya. Tetapi ia belum memiliki keberanian untuk membuka tutup kotak itu dan mengobrak-abrik isinya. Ia masih terlalu takut. Bukan takut akan bom yang disembunyikan di dalam kotak itu, melainkan takut akan menangis lagi. Sungguh, ia sudah terlalu lelah menangis selama tiga hari terakhir ini. Rasa-rasanya stok air mata yang ia miliki seperti terkuras habis.

“Ra, apa yang kamu simpan di dalam kotak itu? Kenapa ada namaku di salah satu sudutnya? Apakah kotak itu untukku? Tapi kenapa kamu memberikannya untukku? Padahal selama ini sikapku nggak baik padamu.” gumam Keke, yang kelihatannya malah seperti orang tidak waras yang berbicara pada teman tak terlihatnya.

Haruskah aku membukanya?

Tangan Keke yang semula ragu untuk membuka tutup kotak, kini malah bertengger tepat di salah satu sudut tutup kotak. Helaan beberapa napas pendek terdengar dari hidungnya untuk mengusir rasa gelisah yang mulai menghampiri. Dan ia sedikit terkejut mendapati isi kotak tersebut, isi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Foto-foto dan semua bendanya bersama Kira, serta sebuah buku kecil berwarna biru muda. Yang ia sinyalir sebagai buku harian milik Kira.

Tangan kanannya mengambil buku harian milik Kira, karena hanya benda itu yang menarik perhatiannya. Lagipula, ia begitu penasaran dengan sikap Kira yang penuh perhatian dan pengertian padanya. Dan ia ingin tau isi hati Kira tentang dirinya, tentang persahabatan mereka. Di antara puluhan halaman, ada satu halaman yang membuatnya tersentak. Bukan karena barisan kalimat bernada makian yang ditulis tangan oleh Kira, melainkan isi hati Kira yang sesungguhnya. Yang dituangkan ke dalam sebuah cerita pendek namun bermakna dalam.

Air matanya kembali mengalir, padahal tadi pagi ia kira stok air matanya telah habis. Ternyata masih ada. Seperti kata pepatah, penyesalan selalu datang terlambat. Kini ia menyesal telah menyia-nyiakan Kira, sahabat terbaik yang Tuhan kirim untuknya. Sehingga Tuhan memanggil Kira terlebih dahulu akibat rasa tidak bersyukurnya karena dikaruniai sahabat macam Kira yang sangat limited edition.

0 Commentary

Review please.. :)