Only You

Fa // Senin, 20 Januari 2014


So I lay my head back down
And I lift my hands and pray
To be only yours, I pray
To be only yours,
I know now
You’re my only hope

Shinta memeluk kedua lututnya, lagu only hope yang mengalun lembut dari kamar adiknya benar-benar mewakili perasaannya sekarang. Ia benar-benar galau, galau segalau-galaunya. Pacar yang selama ini ia bangga-banggakan di hadapan semua teman-temannya tiba-tiba menghilang tanpa jejak begitu saja, seperti di telan bulat-bulat oleh bumi. Shinta sudah puluhan kali bahkan ratusan kali menelepon dan meng-sms pujaan hatinya itu, tetapi hasilnya nihil. Ia tak tahu dimana keberadaan Martin, juga keadaannya. Apakah ia sedang sakit, sedih, atau bahkan senang. Shinta sama sekali tak tahu. Yang ia tahu hanyalah ia harus tetap berdoa supaya Martin selalu dalam lindungan Yang Maha Kuasa.
♥♥♥♥
“Shin, are you okay?” tanya Dista—teman kerjanya dengan nada khawatir ketika melihat wajah Shinta yang seperti penderita anemia.

Shinta menangguk pelan,”Iya, aku tak apa.”

Bibir Shinta memang bisa mengatakan hal itu dengan lancar dan fasih, namun tidak halnya dengan sorot mata yang ia pancarkan. Sorot matanya terlihat seperti orang yang sedang tertimpa masalah besar.

“Kalau ada masalah, kamu bisa cerita padaku. Siapa tahu aku dapat membantu.” saran Dista sambil terus mengetik pekerjaannya yang harus diserahkan ke bos dua jam lagi.

Mata Shinta mulai berkaca-kaca,”Martin, Ta. Martin… dia menghilang begitu aja tanpa kabar. Aku udah coba telpon dan sms, tapi hasilnya nihil! Sepertinya dia udah mengganti nomer handphonenya.”

Dista berhenti mengetik,”Are you sure? Kalian pasti lagi bertengkar ya?”

Shinta menggeleng pelan,”Tidak, aku sedang tidak bertengkar dengannya. Hubungan kami baik-baik aja seperti terakhir kali yang kamu liat.”

“Kalau hubungan kalian baik-baik aja, kenapa Martin harus mengindarimu?” Dista mengerutkan dahi.

I don’t know.” Shinta mengangkat bahunya.

C’mon, Shin. Kamu harus bangkit, tak boleh terus-menerus terpuruk dalam kegalauan. Martin pasti baik-baik aja, mungkin dia terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai-sampai dia lupa untuk kasih kabar. Shinta menyuntikkan semangat ke dalam dirinya sendiri.

Setelah semangatnya kembali full, Shinta langsung meraih beberapa berkas yang harus diketik ulang. Jemarinya menari dengan lincah diatas keyboard komputer. Saat sedang asyik mengetik, tiba-tiba atasannya datang dan membagikan sebuah undangan pernikahan  ke seluruh staf pekerjanya. Yang akan menikah adalah salah satu anak kolega bosnya—begitu yang tadi bosnya katakan.

Shinta terhenyak begitu melihat nama ‘Martin’ yang tercetak pada undangan tersebut, pikiran negatif langsung menggerayangi benaknya. Mungkinkah Martin yang akan menikah itu adalah Martin-nya? Mungkinkah ini alasan Martin menghilang dari hadapannya?

Karena terdorong oleh rasa penasaran yang semakin bertambah dengan seiring bertambahnya detik di jam dinding, akhirnya Shinta memberanikan diri untuk membuka undangan tersebut dengan hati yang berdebar-debar. Matanya membulat tak percaya ketika mendapati nama ‘Martin Adrian’ tercetak di bagian dalam undangan tersebut. Awalnya ia mengira ini hanyalah fatamorgana yang disediakan oleh alam mimpi saja, tetapi setelah ia mencubit kedua tangannya dengan kencang barulah ia sadar kalau semua ini nyata. Bukan fatamorgana, bukan ilusi, dan bukan bunga tidur.

Tak terasa butir demi butir air bening mengucur deras dari sudut matanya, membuat dua buat sungai kecil yang mengalir deras di kedua pipinya. Ia sama sekali tak akan menyangka kalau kejadian menyakitkan ini akan terjadi padanya. Sekarang ia baru menyadari, tak semua kisah yang berawal dengan indah akan berakhir dengan indah pula. Karena ini adalah dunia nyata, akhir yang bahagia, tragis, tak jelas, menyedihkan, semuanya bisa terjadi di dunia nyata. Tidak seperti dunia dongeng yang biasanya hanya menyuguhkan satu akhir saja, yaitu bahagia.
♥♥♥♥

Shinta melangkah gontai mendekati pelaminan dengan seorang pria berbalut kemeja putih gading dan seorang wanita berbalut gaun pengantin dengan warna senada sebagai pusatnya. Kaki jenjangnya yang berbalut high heels berwarna hitam melangkah ragu mendekati sepasang insan yang sedang berbahagia diatas penderitaannya itu. Shinta tak mampu memberikan ucapan selamat ketika sampai pada gilirannya untuk menemui sepasang insan yang sedang berbahagia, hanya sebuah senyum kepedihan yang dapat ia suguhkan.

Lagu itu mengalun lagi dari seorang wedding singer yang disewa oleh penyelenggara acara, lagu only hope yang pernah membawanya larut dalam kegalauan dengan sukses kini kembali membuatnya larut dalam kegalauan. Red wine yang ada ditangan kanannya langsung diteguk habis, tak menyisakan setetes pun.

“Shinta…” panggil sebuah suara yang sudah sangat ia kenal, karena sang pemilik suara telah menemani hari-harinya dua tahun terakhir. Sebelum istana kebahagiaan mereka tersapu oleh ganasnya ombak kehancuran.
Shinta menatap wajah itu dengan semua perasaan yang bercampur aduk,”Apa?” balasnya dengan nada super dingin.

”Maafkan aku karena telah menghilang begitu saja dari sisimu, inilah alasannya mengapa aku meninggalkanmu.”
Shinta bergeming selama beberapa saat,”Karena kamu telah menemukan wanita lain dan kamu berniat untuk menikahinya, benar kan?”

“Bukan, bukan itu alasannya. Aku terpaksa menikah dengan Steffany karena umurnya sudah tak lama lagi, dia penderita leukemia stadium akhir. Orang tuanya memintaku untuk segera menikahinya karena ternyata dia sangat mencintaiku dan tergila-gila padaku sejak lama, mereka ingin membuat putri semata wayang mereka bahagia disisa akhir hidupnya. Dan aku juga tidak ingin membuat perasaan wanita yang sudah menderita semakin menderita karena impiannya untuk menikah denganku kandas.” aku Martin,”Kuharap kamu mau memahami dan menerima keputusanku untuk meninggalkanmu.”

“Apakah kamu memikirkan perasaanku ketika kamu memutuskan untuk meninggalkanku dan lebih memilih untuk menikah dengan wanita itu?!” emosi Shinta mulai meluap, kesedihan dan kemarahan yang ia sembunyikan sudah tak dapat dibendung lagi.

Martin menggeleng.

“Kalau begitu, sampai kapanpun aku tak akan pernah memahami dan menerima keputusanmu sampai kapanpun!” Shinta langsung melepas cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya, cincin itu langsung ia letakkan ke dalam telapak tangan Martin.

“Ini, kukembalikan cincin pemberianmu!” Shinta membalikkan tubuhnya, membelakangi Martin. Bersiap untuk meninggalkan mantan pacar yang sangat ia cintai.

“Jangan pernah menghubungiku lagi! Aku tak sudi bertemu denganmu lagi!” kata Shinta dengan suara bergetar, butiran bening yang sedari tadi terkumpul di sudut matanya sudah tak dapat ia bendung lagi.

Shinta melangkah meninggalkan pesta dengan sedih, kacau, hancur, dan patah hati. Maaf, aku memang sengaja membuatmu membenciku. Aku tidak ingin mengusik rumah tangga kalian, tapi satu hal yang perlu kamu tahu, Martin. Aku akan selalu mencintai sampai kapanpun, hanya kamulah satu-satunya yang menjajah hatiku.

0 Commentary

Review please.. :)