So I lay my head back
down
And I lift my hands and
pray
To be only yours, I
pray
To be only yours,
I know now
You’re my only hope
Shinta
memeluk kedua lututnya, lagu only hope
yang mengalun lembut dari kamar adiknya benar-benar mewakili perasaannya
sekarang. Ia benar-benar galau, galau segalau-galaunya. Pacar yang selama ini
ia bangga-banggakan di hadapan semua teman-temannya tiba-tiba menghilang tanpa
jejak begitu saja, seperti di telan bulat-bulat oleh bumi. Shinta sudah puluhan
kali bahkan ratusan kali menelepon dan meng-sms pujaan hatinya itu, tetapi
hasilnya nihil. Ia tak tahu dimana keberadaan Martin, juga keadaannya. Apakah
ia sedang sakit, sedih, atau bahkan senang. Shinta sama sekali tak tahu. Yang
ia tahu hanyalah ia harus tetap berdoa supaya Martin selalu dalam lindungan
Yang Maha Kuasa.
♥♥♥♥
“Shin,
are you okay?” tanya Dista—teman
kerjanya dengan nada khawatir ketika melihat wajah Shinta yang seperti penderita
anemia.
Shinta
menangguk pelan,”Iya, aku tak apa.”
Bibir
Shinta memang bisa mengatakan hal itu dengan lancar dan fasih, namun tidak
halnya dengan sorot mata yang ia pancarkan. Sorot matanya terlihat seperti
orang yang sedang tertimpa masalah besar.
“Kalau
ada masalah, kamu bisa cerita padaku. Siapa tahu aku dapat membantu.” saran
Dista sambil terus mengetik pekerjaannya yang harus diserahkan ke bos dua jam
lagi.
Mata
Shinta mulai berkaca-kaca,”Martin, Ta. Martin… dia menghilang begitu aja tanpa
kabar. Aku udah coba telpon dan sms, tapi hasilnya nihil! Sepertinya dia udah
mengganti nomer handphonenya.”
Dista
berhenti mengetik,”Are you sure?
Kalian pasti lagi bertengkar ya?”
Shinta
menggeleng pelan,”Tidak, aku sedang tidak bertengkar dengannya. Hubungan kami
baik-baik aja seperti terakhir kali yang kamu liat.”
“Kalau
hubungan kalian baik-baik aja, kenapa Martin harus mengindarimu?” Dista
mengerutkan dahi.
“I don’t know.” Shinta mengangkat
bahunya.
C’mon, Shin. Kamu harus
bangkit, tak boleh terus-menerus terpuruk dalam kegalauan. Martin pasti
baik-baik aja, mungkin dia terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai-sampai dia
lupa untuk kasih kabar. Shinta menyuntikkan
semangat ke dalam dirinya sendiri.
Setelah
semangatnya kembali full, Shinta
langsung meraih beberapa berkas yang harus diketik ulang. Jemarinya menari
dengan lincah diatas keyboard
komputer. Saat sedang asyik mengetik, tiba-tiba atasannya datang dan membagikan
sebuah undangan pernikahan ke seluruh
staf pekerjanya. Yang akan menikah adalah salah satu anak kolega bosnya—begitu
yang tadi bosnya katakan.
Shinta
terhenyak begitu melihat nama ‘Martin’ yang tercetak pada undangan tersebut,
pikiran negatif langsung menggerayangi benaknya. Mungkinkah Martin yang akan
menikah itu adalah Martin-nya? Mungkinkah ini alasan Martin menghilang dari
hadapannya?
Karena
terdorong oleh rasa penasaran yang semakin bertambah dengan seiring
bertambahnya detik di jam dinding, akhirnya Shinta memberanikan diri untuk
membuka undangan tersebut dengan hati yang berdebar-debar. Matanya membulat tak
percaya ketika mendapati nama ‘Martin Adrian’ tercetak di bagian dalam undangan
tersebut. Awalnya ia mengira ini hanyalah fatamorgana yang disediakan oleh alam
mimpi saja, tetapi setelah ia mencubit kedua tangannya dengan kencang barulah
ia sadar kalau semua ini nyata. Bukan fatamorgana, bukan ilusi, dan bukan bunga
tidur.
Tak
terasa butir demi butir air bening mengucur deras dari sudut matanya, membuat
dua buat sungai kecil yang mengalir deras di kedua pipinya. Ia sama sekali tak
akan menyangka kalau kejadian menyakitkan ini akan terjadi padanya. Sekarang ia
baru menyadari, tak semua kisah yang berawal dengan indah akan berakhir dengan
indah pula. Karena ini adalah dunia nyata, akhir yang bahagia, tragis, tak
jelas, menyedihkan, semuanya bisa terjadi di dunia nyata. Tidak seperti dunia
dongeng yang biasanya hanya menyuguhkan satu akhir saja, yaitu bahagia.
♥♥♥♥
Shinta
melangkah gontai mendekati pelaminan dengan seorang pria berbalut kemeja putih
gading dan seorang wanita berbalut gaun pengantin dengan warna senada sebagai
pusatnya. Kaki jenjangnya yang berbalut high
heels berwarna hitam melangkah ragu
mendekati sepasang insan yang sedang berbahagia diatas penderitaannya itu.
Shinta tak mampu memberikan ucapan selamat ketika sampai pada gilirannya untuk
menemui sepasang insan yang sedang berbahagia, hanya sebuah senyum kepedihan
yang dapat ia suguhkan.
Lagu
itu mengalun lagi dari seorang wedding
singer yang disewa oleh penyelenggara
acara, lagu only hope yang pernah membawanya larut dalam kegalauan dengan sukses
kini kembali membuatnya larut dalam kegalauan. Red wine yang ada
ditangan kanannya langsung diteguk habis, tak menyisakan setetes pun.
“Shinta…”
panggil sebuah suara yang sudah sangat ia kenal, karena sang pemilik suara
telah menemani hari-harinya dua tahun terakhir. Sebelum istana kebahagiaan
mereka tersapu oleh ganasnya ombak kehancuran.
Shinta
menatap wajah itu dengan semua perasaan yang bercampur aduk,”Apa?” balasnya
dengan nada super dingin.
”Maafkan
aku karena telah menghilang begitu saja dari sisimu, inilah alasannya mengapa
aku meninggalkanmu.”
Shinta
bergeming selama beberapa saat,”Karena kamu telah menemukan wanita lain dan
kamu berniat untuk menikahinya, benar kan?”
“Bukan,
bukan itu alasannya. Aku terpaksa menikah dengan Steffany karena umurnya sudah
tak lama lagi, dia penderita leukemia stadium akhir. Orang tuanya memintaku
untuk segera menikahinya karena ternyata dia sangat mencintaiku dan
tergila-gila padaku sejak lama, mereka ingin membuat putri semata wayang mereka
bahagia disisa akhir hidupnya. Dan aku juga tidak ingin membuat perasaan wanita
yang sudah menderita semakin menderita karena impiannya untuk menikah denganku
kandas.” aku Martin,”Kuharap kamu mau memahami dan menerima keputusanku untuk
meninggalkanmu.”
“Apakah
kamu memikirkan perasaanku ketika kamu memutuskan untuk meninggalkanku dan
lebih memilih untuk menikah dengan wanita itu?!” emosi Shinta mulai meluap,
kesedihan dan kemarahan yang ia sembunyikan sudah tak dapat dibendung lagi.
Martin
menggeleng.
“Kalau
begitu, sampai kapanpun aku tak akan pernah memahami dan menerima keputusanmu
sampai kapanpun!” Shinta langsung melepas cincin yang melingkar di jari manis
tangan kirinya, cincin itu langsung ia letakkan ke dalam telapak tangan Martin.
“Ini,
kukembalikan cincin pemberianmu!” Shinta membalikkan tubuhnya, membelakangi
Martin. Bersiap untuk meninggalkan mantan pacar yang sangat ia cintai.
“Jangan
pernah menghubungiku lagi! Aku tak sudi bertemu denganmu lagi!” kata Shinta
dengan suara bergetar, butiran bening yang sedari tadi terkumpul di sudut
matanya sudah tak dapat ia bendung lagi.
Shinta
melangkah meninggalkan pesta dengan sedih, kacau, hancur, dan patah hati. Maaf, aku memang sengaja membuatmu
membenciku. Aku tidak ingin mengusik rumah tangga kalian, tapi satu hal yang
perlu kamu tahu, Martin. Aku akan selalu mencintai sampai kapanpun, hanya
kamulah satu-satunya yang menjajah hatiku.
0 Commentary
Review please.. :)