Right Here, Waiting For YOU

Fa // Selasa, 21 Januari 2014


Gadis tujuh belas tahun itu memutar tubuhnya tiga ratus enam puluh derajat, membelakangi pemuda yang hampir dua tahun terakhir menjabat sebagai presiden hatinya. Iris hazelnya yang terbuka langsung mengatup sempurna, begitu juga dengan kurvanya. Barisan kalimat sederhana bermakna tajam yang dilontarkan si pemuda masih mengambang dalam benaknya, belum surut, belum mau beranjak dari benaknya meskipun benaknya sekarang penuh sesak dengan berbagai macam kalimat. Entah sampai kapan kalimat itu mau beranjak dari benaknya dan beralih ke benak orang lain, dan entah sampai kapan juga ia akan bertahan dengan pose seperti itu.

Right Here, Waiting for YOU

Sebuah sabit mini terbingkai di wajah manis sang gadis yang saat ini memakukan pandangannya pada cermin besar yang ada dihadapannya. Ada ekspresi canggung yang sesekali nampak di wajahnya, dan ia berhasil menaklukan ekspresi canggung itu dengan satu hembusan napas kecil. Satu hembusan yang bisa membuat dirinya tenang, dan satu hembusan yang membuat jantungnya kembali berdetak normal. Beberapa kali kepalanya di tolehkan sedemikian rupa agar dapat melihat jam kecil yang ada di atas meja riasnya.

Masih ada waktu satu jam lagi, bisiknya dalam hati dengan riang.

Hari ini adalah hari spesial untuknya. Hari di mana ia akan kembali mengulang sejarah percintaannya dengan pemuda yang selama empat tahun terakhir tak pernah bertatap muka secara langsung dengannya, hari di mana ia akan kembali menghirup aroma maskulin dari tubuh pemuda itu, dan hari di mana ia akan kembali tersipu dan menunjukkan ekspresi malu-malu sama seperti enam tahun yang lalu ketika pemuda itu berhasil menancapkan busur panah ke hatinya. Itulah sebabnya ia rela memakukan pandangannya pada cermin besar itu selama hampir satu jam hanya untuk memastikan apakah penampilannya sudah cocok dan pantas untuk bertemu dengan pemuda itu.

Tangan kanannya menyambar kursi kecil yang berada tak jauh dari tempatnya berpijak dan langsung menumpukan bobot tubuhnya pada kursi kecil itu. Sambil bertopang dagu, sebuah memori dari buku kenangannya kembali menguar ke permukaan. Bukan sebuah memori yang indah dan membuatnya tersenyum kecil saat mengingatnya, melainkan sebuah memori yang berhasil membuat lubang yang cukup besar pada hatinya.

*
*
*

Oppa[1], jika aku tak mengambil beasiswa ini... apa kau akan marah padaku?” suaranya bergetar, begitu pula dengan keduanya tangannya yang tengah menggenggam erat sebuah surat yang ditulis dalam Bahasa Inggris.

Tak ada sepatah katapun yang meluncur dari bibir pemuda yang duduk di sampingnya, yang ada hanyalah sebuah dengusan berat dan kedua buah tangan yang terkepal erat. Mulai sadar bahwa aura yang berpendar di sekitar mereka mulai berubah dan menjadi semakin buruk, akhirnya si gadis mulai buka suara. Berusaha menetralkan aura buruk yang semakin mendominasi.

“Ba-baiklah Oppa, aku... aku tak akan mengambil beasiswa ini kalau kau tak setuju. Da-dan a-aku akan masuk universitas yang sama denganmu saja, supaya kita bisa terus bersama.” si gadis  menghela napas panjang setelah berhasil mengutarakan niatnya.

Masih hening. Entah kenapa pemuda itu tak mau buka mulut, kurvanya masih mengatup sempurna. Seolah ada lem super lengket tak kasat mata yang membelenggu kurva itu. Si gadis semakin resah sembari melirik jam tangan yang melingkar manis di tangan kirinya beberapa kali. Satu jam lagi, waktunya untuk membatalkan aplikasi beasiswa itu hanya tersisa satu jam lagi. Jika lewat sedetik saja, itu tandanya ia merestui namanya tercantum dalam daftar mahasiswa di universitas impiannya tersebut.

“Aku tahu Oppa masih kesal padaku, tapi setidaknya Oppa harus menanggapi ucapanku. Tidak baik terus mengabaikan ucapan seseorang yang sedang terlibat pembicaraan denganmu!” si gadis mulai terlihat kesal, ia mulai mengumpulkan keberanian. Untuk mempertanyakan keseriusan si pemuda, dan untuk bangkit dari duduknya dan pergi dari tempat itu.

“Baiklah,” ujarnya sembari bangkit dari duduk,”kalau Oppa diam itu artinya Oppa tidak merestui undangan beasiswa ini. Aku sudah hapal dengan sikap dan sifatmu, jadi.. lebih baik aku mengonfirmasi pada pihak universitas bahwa aku membatalkan beasiswa ini. Annyonghi Gyeseyo[2].”

“Hani-ya, tunggu...”

Langkahnya langsung terhenti begitu mendengar interupsi yang mengomandani dirinya untuk berhenti melangkah, interupsi yang berasal dari kekasihnya. Namun ia masih belum berniat memutar tubuhnya dan  kembali ke sisi si pemuda, ia lebih memilih untuk tetap teguh pada pijakannya. Tak bergeser kemana-mana. 

Berusaha menguji kesetiaan si pemuda.

“Ka-kau...” si pemuda menghela napas sejenak,”kau boleh mengambil beasiswa itu. Pergilah ke sana, itu adalah universitas impianmu. Aku sadar jika aku sama sekali tak punya hak untuk membuatmu membatalkan beasiswa yang telah kau dapatkan dengan susah payah itu, karena aku bukan siapa-siapa. Derajatku dengan derajat kedua orangtuamu sangat berbanding jauh, sehingga aku tak bisa memaksakan kehendakku padamu, juga menghempas cita-citamu selama ini.”

Oppa...” bisik si gadis bernama Hani. Akhirnya ia memutar tubuhnya dan langsung menghamburkan diri ke dalam pelukan pemuda berdada bidang itu, mendekapnya dengan erat sembari menggumamkan kata ‘gomawo[3]’ beberapa kali.

Hani terperanjat kaget ketika si pemuda mendorong tubuhnya dengan kasar, dan ketika kedua iris hazelnya bertatapan dengan iris coklat tua milik si pemuda ia baru menyadari bahwa aura buruk kembali menghampiri mereka.

“Pergilah, bukankah lusa adalah hari keberangkatanmu? Tidakkah kau berpikir bahwa saat ini kau seharusnya mengurus keperluanmu dan mengemasi barang-barangmu ke dalam koper? Tapi kenapa sekarang kau masih di sini? Masih berdiri di hadapanku dengan ekspresi seperti itu?”

Oppa..”

“Pergilah! Aku hanya akan menjadi penghambat jika kau masih terus berada di sini. Jadi, sebaiknya kau pergi sebelum keputusanku beberapa menit yang lalu berubah.”

“Tap—“

“PERGI!” si pemuda memberikan tatapan tajam, tatapan tajam yang belum pernah ia berikan pada gadisnya selama ini.

Gadis tujuh belas tahun itu memutar tubuhnya tiga ratus enam puluh derajat, membelakangi pemuda yang hampir dua tahun terakhir menjabat sebagai presiden hatinya. Iris hazelnya yang terbuka langsung mengatup sempurna, begitu juga dengan kurvanya. Barisan kalimat sederhana bermakna tajam yang dilontarkan si pemuda masih mengambang dalam benaknya, belum surut, belum mau beranjak dari benaknya meskipun benaknya sekarang penuh sesak dengan berbagai macam kalimat. Entah sampai kapan kalimat itu mau beranjak dari benaknya dan beralih ke benak orang lain, dan entah sampai kapan juga ia akan bertahan dengan pose seperti itu.

*
*
*

Oppa...” gumam Hani sembari menggosok lengan kirinya menggunakan lengan kanannya yang bebas. Udara yang cukup dingin serta butiran-butiran salju yang masih tetap turun ke bumi tak menghalangi tekadnya untuk tetap menanti sang pujaan hati di tempat kenangan mereka. Tempat yang telah menggoreskan warna pada lembar percintaannya sehingga menjadi lebih indah, tempat rahasia di mana hanya ia dan sang kekasih saja yang tahu.

“Kau di mana? Kenapa belum datang juga?” gumamnya entah pada siapa, dengan kegelisahan yang menyesaki dadanya.

Hani langsung menoleh ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekat, namun senyumnya luntur ketika mengetahui kenyataan yang ada di hadapannya. Sosok yang baru saja datang bukanlah sosok maskulin sang pujaan hati, melainkan sosok feminim yang memiliki kemiripan garis wajah dengan kekasihnya.

“Seungri-ya..” lirihnya.

Annyeong[4], Eonni[5]...” gadis bernama Seungri itu membungkukkan tubuhnya empat puluh lima derajat, memberi salam pada Hani.

“Mana Oppamu? Mana Seungjo?” tanya Hani dengan nada gelisah, keabsenan kekasihnya pada hari yang sangat penting ini membuat pikiran negatif mulai menginvasi benaknya.

Oppa... Eonni, bisakah kita duduk di kursi itu dahulu?” tangan mulus Seungri menunjuk kursi taman yang berada tak jauh dari tempat mereka berpijak.

Hani mengangguk setuju, kemudian mengekor Seungri yang melangkah lebih dulu menuju kursi itu. Ia sudah tak sabar untuk menanyakan keabsenan Seungjo pada calon adik iparnya itu. Ada kekhawatiran yang mulai menelusup masuk ke dalam hatinya ketika melihat gurat kebimbangan di wajah Seungri, namun ia tak bisa megartikan gurat itu sebelum sang pemilik kurva buka suara.

Eonni..” Hani tersenyum kecil ketika Seungri memutuskan untuk buka suara,”ada sesuatu yang perlu Eonni ketahui, ini tentang.. ini tentang Oppa.”

“Tentang Seungjo?” iris hazelnya mulai berbinar, tak sabar mendengar berita yang akan ia dapatkan dari calon adik iparnya.

Seungri mengangguk sambil tersenyum lemah, ia semakin tenggelam dalam kebimbangan. Haruskah ia memberi tahu calon kakak iparnya sekarang? Dan haruskah ia melihat sungai kecil yang akan mengalir deras di kedua pipi calon kakak iparnya? Ehm, sebetulnya panggilan calon kakak ipar sudah tak berlaku lagi setelah ia menyampaikan semuanya. Semua rahasia yang selama dua tahun terakhir terkubur jauh di dasar hatinya, semua rahasia yang hampir membuatnya putus asa dan hampir gila, dan semua rahasia yang telah tersusun apik di halaman belakang lembar kehidupannya.

Eonni.. Oppa..” Seungri tak mampu melanjutkan kalimatnya, akhirnya ia memutuskan untuk menyerahkan sepucuk surat yang sedari tadi ada dalam tasnya pada Hani.

*
*
*

Iris hazel itu menatap nanar gundukan tanah basah yang ada di hadapannya, masih ditemani dengan dua buah sungai kecil berarus deras yang membelah kedua pipinya. Tubuhnya yang semula tegak mendadak lemas, kedua kakinya tak lagi mampu menopang beban tubuhnya ketika melirik sebuah nama yang terukir di nisan berwarna putih. Kedua tangan Seungri tak henti-hentinya mengusap pundak Hani, memberi kekuatan pada gadis itu agar sabar menghadapi berita mendadak ini. Kalimat kecewa Hani masih berdengung di telinganya.

“Kenapa kau—“

“Gomawo, Eonni. Oppa yang menginginkannya, aku tak bisa menolak amanah Oppa...”

“Tapi seharusnya...”

Seungri menggeleng cepat, ia tak ingin mengingat kalimat itu lagi. Mengingat kalimat itu hanya akan membuatnya semakin bersalah dan semakin ikut terpuruk.

Eonni..”

Hani mulai menghapus air matanya. Kau jahat, Oppa! Kenapa tak memberitahuku tentang semuanya sejak dua tahun yang lalu? Kenapa kau menyembunyikannya dariku? Kau pikir, dengan menyembunyikan hal itu dariku, aku tidak akan merasa sedih, begitu maksudmu? Kau salah, Oppa! Kau salah!

Eonni, sudahlah...” Seungri mendekatkan kurvanya ke telinga Hani,”Oppa benci melihatmu menitikkan air mata, Oppa benci saat kau menunjukkan ekspresi sedihmu. Tersenyumlah, untuk Oppa. Kurasa Oppa masih ada di sekitar sini, untuk melihatmu. Untuk melihat senyummu, bukan untuk melihat air matamu. Jadi tersenyumlah untuk Oppa, yang terakhir kalinya.”

Hani mematung, membenarkan ucapan Seungri. Seharusnya ia tak seperti ini, Seungjo pasti sedih jika melihatnya dalam keadaan terpuruk seperti ini. Jika pemuda itu masih ada, mungkin ia akan langsung diceramahi habis-habisan. Kurvanya yang semula terkatup, kini mulai ditarik sedikit. Membentuk sebuah garis lengkung tipis.

Kau terlihat sangat cantik hari ini, aku suka melihat senyummu.

Sebuah suara bergema lemah di telinga kirinya. Sebuah suara yang sudah sangat ia kenal, suara Seungjo.

Oppa, kaukah itu?

Tak ada balasan. Hanya ada desir angin yang berhembus. Ah, mungkin suara yang baru saja ia dengar hanya fatamorgana belaka. Tidak mungkin seseorang yang sudah berbeda dunia dengannya dapat melakukan komunikasi dua arah macam tadi.

Oppa, aku telah mengikhlaskanmu. Semoga kau bahagia di sana.



[1] Kakak laki-laki (diucapkan oleh perempuan) atau dalam kondisi tertentu bisa juga diartikan sebagai pacar
[2] Selamat tinggal (informal)
[3] Terima kasih (informal)
[4] Halo
[5] Kakak perempuan (diucapkan oleh perempuan)

0 Commentary

Review please.. :)